Nasi menjadi sumber karbohidrat utama masyarakat Indonesia. Bagi banyak orang, kalau belum makan nasi dianggap belum makan “berat”.
Padahal, ada banyak sumber karbohidrat lain seperti kentang, ubi, atau jagung. Lalu, mengapa nasi bisa menjadi makanan pokok utama di Indonesia?
Alasannya tidak lepas dari sejarah, budaya, dan perjalanan politik bangsa.
Secara geografis, iklim tropis Indonesia dengan tanahnya yang subur serta curah hujan tinggi sangat ideal untuk budidaya padi sawah.
Teknik persawahan basah yang dipengaruhi oleh pedagang dari Tiongkok dan India kemudian diadopsi dan berkembang pesat di Nusantara.
Jauh sebelum masa kolonial, pada era Kerajaan Mataram, beras memiliki nilai simbolis yang tinggi dan menjadi representasi kemakmuran.
Dalam kepercayaan Jawa dan Bali, beras dianggap anugerah dari Dewi Sri (Dewi Kesuburan dan Panen), sehingga posisinya tidak hanya sebagai pangan, tetapi juga bagian dari spiritualitas.
Pengaruh kolonial juga memperkuat peran beras. VOC menjadikan beras sebagai komoditas perdagangan penting, memonopoli distribusinya, bahkan mengirimkannya ke berbagai wilayah Indonesia.
Di daerah seperti Maluku yang makanan pokoknya dulu sagu, beras kemudian dipandang lebih bergengsi karena identik dengan kekuasaan.
Memasuki era Orde Baru (1966–1998), pemerintah di bawah Presiden Soeharto menjadikan swasembada beras sebagai prioritas pembangunan pertanian.
Kebijakan pro-beras diterapkan melalui program seperti Bimas dan Imas, yang berfokus pada peningkatan produksi padi.
Keberhasilan swasembada beras pada 1984 dijadikan simbol keberhasilan pembangunan serta stabilitas politik dan ekonomi, sehingga konsumsi nasi dipromosikan secara besar-besaran.
Akibatnya, pangan lokal seperti ubi, jagung, dan sagu perlahan dipandang sebagai makanan “kampungan” atau makanan orang miskin, sedangkan beras dianggap lebih modern dan prestisius.
Seiring waktu, kebiasaan makan nasi mengakar kuat sebagai jati diri masyarakat. Ungkapan “belum makan kalau belum makan nasi” menunjukkan betapa nasi telah menjadi standar dan definisi “makan” itu sendiri, menjadikannya sulit digantikan hanya dengan kebijakan apa pun.
Jurnalis: Adiybah Fawziyyah
Editor: Muhammad Faizin
