Saat tahun baru tiba, kuil dan vihara di Jepang dipenuhi oleh masyarakat yang datang untuk melakukan hatsumode, atau kunjungan pertama ke tempat ibadah di awal tahun.
Di tengah suasana yang tenang dan itu, selembar kertas kecil bernama omikuji menjadi salah satu hal yang paling dinantikan!
Bukan sekadar ramalan nasib, omikuji telah menjadi tradisi turun-temurun yang mengiringi langkah masyarakat Jepang dalam menyambut awal tahun.
Omikuji adalah kertas ramalan keberuntungan yang biasanya diambil di kuil Shinto maupun vihara Buddha.
Pengunjung akan mengocok tabung kayu atau mengambil kertas secara acak, lalu menerima pesan yang berisi gambaran peruntungan mereka di berbagai aspek kehidupan, mulai dari kesehatan, pekerjaan, cinta, bahkan pendidikan.
Meski berisi ramalan, omikuji lebih sering dipandang sebagai bentuk refleksi dan pengingat agar lebih berhati-hati sekaligus bersyukur dalam menjalani hidup.
Omikuji memiliki beberapa tingkatan keberuntungan yang ditulis dengan istilah khusus. Tingkatan ini tidak selalu sama di setiap kuil, tetapi secara umum dibagi sebagai berikut:
Dai-kichi (大吉)
Merupakan tingkat keberuntungan tertinggi. Omikuji ini melambangkan nasib yang sangat baik dan harapan akan kelancaran dalam berbagai aspek kehidupan di masa mendatang.
Chū-kichi (中吉)
Menandakan keberuntungan yang cukup baik. Hasil ini sering dimaknai sebagai tanda bahwa usaha yang dilakukan akan membuahkan hasil, meskipun membutuhkan kesabaran.
Shō-kichi (小吉)
Keberuntungan kecil yang mengisyaratkan hasil positif, namun bersifat bertahap. Pemilik omikuji ini biasanya dianjurkan untuk tetap berhati-hati dan tidak tergesa-gesa.
Kichi (吉)
Melambangkan keberuntungan secara umum. Tidak terlalu besar, tetapi cukup stabil untuk menjalani tahun dengan optimisme.
Kyō (凶)
Menandakan nasib kurang baik. Meski sering dianggap menakutkan, kyō justru dimaknai sebagai peringatan agar lebih waspada dalam mengambil keputusan.
Dai-kyō (大凶)
Tingkat nasib terburuk dalam omikuji. Meski terdengar mengkhawatirkan, dai-kyō justru dimaknai sebagai peringatan agar lebih berhati-hati, menahan diri dalam mengambil keputusan, dan menjadikan awal tahun sebagai momen introspeksi.
Di beberapa kuil, terdapat pula tingkat tambahan seperti sue-kichi, shō-kyō atau han-kyō, namun intinya tetap sama: omikuji bukan untuk ditakuti, melainkan dipahami sebagai nasihat simbolis.
Jika seseorang mendapatkan omikuji dengan hasil kurang baik, terdapat tradisi untuk mengikat kertas omikuji tersebut di pohon atau tempat khusus yang disediakan di kuil, biasanya disebut musubidokoro.
Tindakan tersebut dilakukan dengan harapan agar kesialan tertinggal di tempat suci dan tidak dibawa pulang.
Sementara itu, omikuji dengan hasil baik biasanya disimpan sebagai pengingat dan penyemangat sepanjang tahun.
Hingga kini, omikuji tetap menjadi bagian penting dari perayaan tahun baru di Jepang. Di tengah perubahan zaman dan modernisasi, tradisi ini justru bertahan sebagai simbol harapan, refleksi diri, dan kepercayaan bahwa setiap awal selalu membawa kesempatan baru. (*)
Jurnalis: Athaya Khaisyah Azira
Editor: Rahmat Rifadin
