Setiap 25 November, sekolah-sekolah di berbagai kota dipenuhi aroma kue, tumpukan kado, serta ucapan selamat dan terima kasih yang bergaung di sepanjang koridor.
Hari Guru selalu menjadi momen paling sentimental dalam kalender pendidikan, saat murid dan orang tua berlomba menunjukkan rasa hormat kepada sosok yang mereka anggap berjasa.
Namun di balik suasana haru itu, selalu ada satu pertanyaan yang muncul pelan-pelan, seperti bisikan yang enggan terdengar jelas: sebenarnya, bolehkah guru menerima hadiah?
Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi di ruang guru, grup WhatsApp wali murid, hingga ruang rapat sekolah, diskusinya tidak pernah benar-benar selesai. Ada guru yang merasa tersentuh saat menerima mug bergambar, scrapbook buatan murid, atau bahkan tas hasil patungan kelas.
Ada pula yang justru gelisah, terutama saat hadiah yang datang tidak lagi berupa barang kecil, melainkan voucher, alat elektronik, atau hampers bernilai ratusan ribu.
Di sinilah konsep modal sosial dari Pierre Bourdieu mulai terasa relevan, bukan sebagai teori berat dari bangku kuliah, tetapi sebagai kacamata untuk melihat bagaimana hubungan antara guru, murid, dan orang tua sebenarnya bekerja di balik layar.
Dalam pandangan Bourdieu, hubungan sosial tidak pernah netral. Setiap interaksi, termasuk pemberian hadiah, selalu membawa kemungkinan menjadi sebuah ‘investasi’, upaya tidak langsung untuk membangun jaringan relasi yang menguntungkan.
Bagi sebagian orang tua, hadiah Hari Guru memang murni bentuk rasa terima kasih. Tidak ada permintaan, tidak ada harapan lebih. Namun bagi sebagian lainnya, hadiah menjadi bentuk ‘penjagaan relasi’.
Sebuah cara halus untuk memastikan bahwa komunikasi dengan guru lebih lancar, perhatian kepada anak lebih besar, atau sekadar agar nama keluarga mereka dikenali secara positif. Tidak ada yang mengatakannya secara terang-terangan, tapi guru cukup peka untuk merasakannya.
Keganjilan seperti itu muncul karena hadiah, entah betapapun kecilnya, tidak berdiri sendiri. Dalam struktur pendidikan, guru memiliki modal simbolik: otoritas, kehormatan, dan kuasa untuk memberikan nilai.
Orang tua melihat guru sebagai figur berpengaruh dalam perkembangan akademik anak. Kombinasi ini membuat hadiah berubah bentuk: dari tanda terima kasih menjadi potensi ‘titipan harapan’.
Itulah yang membuat isu gratifikasi masih menjadi isu yang simpang siur. Secara aturan, guru memang tidak boleh menerima gratifikasi yang berpotensi memengaruhi objektivitas. Namun dalam budaya Indonesia, memberi hadiah kepada tokoh yang dihormati adalah tradisi yang telah berlangsung puluhan tahun.
Bourdieu menyebut relasi seperti ini sebagai jaringan modal sosial yang terpelihara lewat gestur-gestur kecil, sebuah sistem timbal balik yang tidak selalu disengaja, tapi tetap punya kekuatan mengikat.
Pada akhirnya, benarkah setiap hadiah memuat maksud tertentu? Tentu tidak! Banyak murid memberi bunga dengan uang jajan seadanya, menulis surat dari sobekan buku latihan, atau memilih cokelat murah di minimarket paling dekat sekolah. Tidak ada kepentingan apa pun di balik itu; hanya ketulusan yang sangat sederhana.
Namun masalahnya, baik hadiah tulus maupun hadiah berkepentingan tetap berputar dalam ruang sosial yang sama: ruang yang mudah menimbulkan salah paham.
Karena itu, Hari Guru selalu menjadi momen yang menggugah sekaligus mengundang dilema. Di satu sisi, guru adalah figur yang pantas dirayakan. Di sisi lain, semakin besar dan semakin sering hadiah diberikan, semakin kabur batas antara rasa hormat dan gratifikasi.
Maka pertanyaan itu pun kembali mengambang: “apakah guru boleh menerima hadiah di Hari Guru?” Jawabannya tidak lagi sesimple ‘boleh’ atau ‘tidak boleh’. Hal ini tergantung pada niat, konteks, nilai, dan dampaknya pada relasi sosial di kelas.
Yang jelas, setiap kotak hadiah yang dibawa ke sekolah selalu membawa cerita dan terkadang, justru membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Jurnalis: Athaya Khaisyah Azira
Editor: Fisca Tanjung
