Pesantren dan Sekolah Ketangguhan: Santri Belajar Hidup, Kyai Menanamkan Nilai

9 November 2025 20:57 9 Nov 2025 20:57

Thumbnail Pesantren dan Sekolah Ketangguhan: Santri Belajar Hidup, Kyai Menanamkan Nilai
Suasana belajar mengajar di salah satu Pondok Pesantren, (Foto: Ketik.com)

KETIK, MALANG – Pagi belum benar-benar terang, tapi suara lantunan ayat suci sudah menggema dari langgar kecil di pojok pesantren. Para santri berduyun-duyun menuju tempat wudhu, sebagian masih mengantuk, sebagian sudah semangat membuka kitab kuning yang mulai lusuh dipegang. Dari sinilah, ketangguhan dan kesabaran santri ditempa pelan, tapi pasti.

Di saat banyak anak muda mudah menyerah menghadapi tekanan, para santri justru ditempa dalam lingkungan yang menumbuhkan ketangguhan. Mereka belajar sabar, disiplin, dan setia pada ilmu semua berawal dari keteladanan Kyai.

Data Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren menunjukkan, pada tahun 2020/2021, Indonesia punya lebih dari 4,37 juta santri yang belajar di 30.494 pesantren. Jumlah ini bisa lebih banyak lagi, sebab tidak semua pesantren tercatat resmi. Fakta ini membuktikan bahwa pesantren masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam mendidik anak-anaknya.

Salah satu yang meneliti kehidupan santri lebih dalam adalah Urin Laila Sa’adah. Ia Berhasil mempertahankan hasil penelitiannya di hadapan para penguji pada Program Doktor Psikologi Universitas Negeri Malang pada akhir Agustus lalu. Dosen Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim ini meneliti ketahanan mental santri di sejumlah pesantren salaf di Jawa Timur seperti Lirboyo, Ploso, dan Langitan serta beberapa pondok salaf lainnya.

Foto Suasana belajar mengajar di salah satu Pondok Pesantren, (Foto: Ketik.com)Suasana belajar mengajar di salah satu Pondok Pesantren, (Foto: Ketik.com)

Menurutnya, ketangguhan santri bukan kebetulan. Ia lahir dari sistem pendidikan pesantren yang menekankan adab, cinta ilmu, dan hubungan batin yang hangat antara santri dan Kyai. Menurut Laila, santri adalah potret ketangguhan belajar. Mereka hidup di lingkungan yang keras tapi penuh kasih, di bawah bimbingan Kyai yang menjadi sosok sentral: bukan sekadar guru, tapi juga pengasuh spiritual, panutan moral, sekaligus “orang tua kedua”.

“Kyai itu figur yang memberi kekuatan batin bagi santri. Kadang cukup lewat doa, nasihat singkat, atau kehadiran beliau di majelis kitab, sudah jadi energi luar biasa bagi mereka untuk bertahan,” ujar Laila.

Konselor pada Komunitas Perlindungan Perempuan dan Anak Nusantara ini menepis pandangan yang menyebut pesantren sebagai lembaga feodal. Menurutnya, hubungan santri dan Kyai bukan karena takut, tapi karena hormat dan cinta ilmu. “Ada hierarki, tapi yang tumbuh justru kasih sayang dan keikhlasan,” tambahnya.

Keteladanan Kyai menjadi sumber inspirasi utama. Tapi faktor dukungan teman sebaya juga tak kalah penting. Hidup bareng bertahun-tahun, dari latar belakang keluarga dan bahasa yang berbeda, membuat santri belajar empati dan mengelola konflik dengan dewasa. 

“Santri itu bukan cuma bisa ngaji, tapi juga tangguh secara mental. Mereka terbiasa menghadapi tantangan tanpa banyak mengeluh,” kata Laila yang juga alumni MAK Bahrul Ulum Tambakberas Jombang dan PMII Sunan Ampel Malang.

Bagi Laila, pesantren telah menjadi laboratorium kehidupan. Dari kesederhanaan dan kedisiplinan, lahirlah generasi yang sabar, tahan banting, dan siap mengabdi. “Santri yang kuat bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang selalu bangkit dengan doa dan keyakinan,” ujarnya menutup. (*)

Tombol Google News

Tags:

Pesantren santri Urin Laila Sa’adah penelitian santri Program Doktor Psikologi UM Universitas Negeri Malang