Umumnya, pemuda desa itu senang sekali kalau di waktu senggangnya bisa kumpul bermain dan berekspresi, entah dalam bentuk kegiatan olahraga, kesenian, dan lain-lain. Sayangnya, ada lapangan desa, tetapi tidak ada aktivitas. Lapangan memang ada, tapi sarana prasarana tidak ada. Ingin bermain tapi tidak mau mengeluarkan duit untuk membeli peralatannya. Lantas muncul curhatan tentang bagaimana pemerintah desa tidak peduli pada kemajuan olahraga dan aktivitas seni-budaya masyarakat khususnya kaum mudanya.
Ini adalah masalah klasik. Bukan berarti pemerintah desa memang tidak mau memfasilitasi. Bisa jadi kurang ada komunikasi antara anak-anak muda yang punya keinginan dengan pemerintah desanya. Apalagi jika pemerintah desa hanya menuggu aspirasi anak-anak mudanya, bukan menggerakkan mereka yang memang kadang harus digerakkan—atau dimotivasi. Fungsi menggerakkan dan mengarahkan (diecting), juga memotivasi (motivating), adalah pilar kepemimpinan (leadership) yang penting—apalagi untuk sebuah desa.
Kita boleh membayangkan, jika tiap sore ada permainan dan pertandingan (latihan), kemungkinan akan banyak bibit potensial dari desa untuk atlit olahraga, entah sepakbola, sepaktakraw, bola volley, dan lain-lainnya. Belum ada pemimpin desa yang menyadari secara penuh tentang potensi social masyarakatnya terutama di bidang olahraga dan seni budaya.
Sementara kita seringkali melihat, hanya orang-orang elit dan kaya di aula balai desa yang "gampekan" mencari keringat secara rutin dengan pertandingan olahraga Badminton kesukaannya yang memang tergolong lebih elit. Para elit dari desa, termasuk di antaranya pejabat desa, melakukan aktivitas olahraga demi kesehatan tubuh mereka sendiri. Sedangkan para remaja dan pemuda-pemudi desa di satu sisi juga butuh “diolahragakan”. Aksi “mengolahraakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga” tampaknya juga menarik diambil sebagai kegiatan pembangunan—bukan hanya semuanya pembangunan fisik saja.
Mungkin di desa Anda, masih dapat Anfa jumpai ada olahraga Sepaktakrow atau bola volley di setiap sore. Tapi mungkin mereka melakukannya di halaman rumah yang disulap jadi lapangan. Karena letak lapangannya dekat rumah-rumah, akhirnya setelah ‘samplukan’ bola takrow memecahkan genteng dan kaca, pemilik rumah tak memperbolehkan halamannya jadi lapangan olahraga.
Kita tahu, jenis olahraga amatlah banyak. Bahkan cabang olahraga yang dilombakan di berbagai level (mulai kabupaten hingga nasional) itu juga banyak sekali. Sekali lagi, bibit-bibit atlitnya sebenarnya ada di desa. Kenapa? Sebab orang desa itu rata-rata masih kuat tubuhnya, karena sering berhadapan dengan alam melalui kegiatan yang menggunakan olah tubuh.
Lalu bagaimana dengan keseniannya? Sejauh ini ternyata, masyarakat desa juga hanya konsumen karya seni kaum seniman-selebritis dari kota. Hanya sebagai pendengar dan penonton. Sedangkan orang-orang elitnya di kota dan desa tak sedikit yang punya waktu luang untuk bernyanyi, baik dengan iringan musiknya sendiri, elekton, atau pergi ke tempat karaoke. Meski sayangnya, untuk tempat karaoke biasanya bapak-bapak yang punya duit, bahkan para pejabat birokrasi dan wakil rakyat.
Sementara mayoritas warga desa bagaimana? Kadang saya sedih melihat orang-orang desa hanya sebagai penikmat, pendengar dan penonton saja. Pada hal tiap orang itu seharusnya hak berekspresi-nya juga dikeluarkan. Kita bisa melihat tiap habis magrib mereka hanya mengagumi acara Akademi Dangdut di TV. Tidakkah mereka juga ingin berdendang?
Nah, ini sudah agak sulit terutama untuk orang-orang "sepuh" yang sejak kecil tak punya waktu luang berekspresi. Menginjak berkeluarga dan punya anak, mereka semakin kehilangan waktu luang, harus merawat ladang, sawah, binatang ternak. Mendengarkan suara penyanyi di TV tentu jadi alternatif selain mendengarkan bunyi hujan, angin, suara binatang ternak yang teriak minta makan, atau ocehan kemarahan anggota keluarga akibat ketertekanan kondisi yang ada. Mereka ini, terutama yang sudah “sepuh” itu tak bisa menyanyi, tapi hanya suka menikmati sajian musik. Silahkan dicek, acara Dangdut Akademi adalah acara favorit mereka (selain telenovela produksi Ram Punjabi atau sinetron Impor dari India).
Juga di luar TV yang sekarang sudah banyak diganti layar smartphone, ada pentas-pentas hiburan music seperti elekton (kadang plus). Kebanyakan masyarakat juga hanya menikmati. Kebanyakan dalam acara “hajatan”. Yang punya musik yang diputar keras-keras lewat sound, juga hiburan—biasanya Elekton (kadang plus) itu tadi. Nah, sementara itu tadi bicara soal orang tua atau yang dewasa, bagaimana dengan anak-anak dan remaja kita? Bukankah mereka sebenarnya banyak yang punya bakat? Saya pikir, anak anak, remaja dan kaum mudalah yang masih punya kesempatan untuk dikembangkan bakat seninya.
Itu tadi soal musik. Bagaimana dengan seni lainnya, misalnya tari, jaranan, sastra, dan lain-lain? Bagamana nasib musik tradisi kita seperti Karawitan? Bagaimana musik lain yang khas Indonesia seperti keroncong. Sudahkah banyak orang di desa yang memikirkan pentingnya sanggar-sanggar untuk berlatih kesenian? "Orang desa" yang saya maksud adalah bisa pemerintah desa dan bisa non-pemerintah alias warga yang peduli dan mau memulai.
Pembangunan Seni Budaya di Desa
Untuk mengetahui apa saja yang bisa dilakukan Pemerintah Desa dengan Dana Desa di bidang Seni dan Budaya (khususnya kesenian), bisa kita lihat di Peraturan Menteri Desa Nomor 11 tahun 2019 pada Pasal 11 Ayat (6) menyatakan bahwa peningkatan pelayanan publik bidang pendidikan dan kebudayaan di Desa paling sedikit meliputi: penyelenggaraan pendidikan anak usia dini (PAUD); penanganan anak usia sekolah yang tidak sekolah, putus sekolah karena ketidakmampuan ekonomi; dan pengembangan kebudayaan Desa sesuai dengan kearifan lokal.
Selanjutnya di bagian lampiran Peraturan Menteri tersebut juga dijelaskan bahwa pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana prasarana pendidikan dan kebudayaan antara lain: Taman bacaan masyarakat; Pembangunan atau renovasi sarana olahraga Desa; Bangunan perpustakaan Desa; Buku/bahan bacaan; Balai pelatihan/kegiatan belajar masyarakat; Gedung sanggar seni/ruang ekonomi kreatif; Film dokumenter; Peralatan kesenian dan kebudayaan; Pembuatan galeri atau museum Desa; Sarana prasarana pendidikan dan kebudayaan lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah Desa.
Juga ada pengelolaan kegiatan pelayanan pendidikan dan kebudayaan antara lain: Pelatihan dan penyelengaraan kursus seni budaya; Bantuan pemberdayaan bidang seni, budaya, agama, olahraga, dan pendidikan non formal lainnya; Pelatihan pembuatan film dokumenter, jurnalis, pembuatan dan penggunaan media, blog, dan internet (film, foto, tulisan, vlog, dan media lainnya); Pelatihan alat musik khas daerah setempat atau modern; Platihan penggunaan perangkat produksi barang/jasa kreatif, seperti mesin jahit, alat ukir, kamera, komputer, mesin percetakan;
Pelatihan kepada pelaku ekonomi kreatif untuk berpromosi baik di media online atau offline; Pelatihan pelaku ekonomi kreatif pemula bagi masyarakat Desa; Pelatihan cara konservasi produk/karya kreatif bagi para pelaku kreatif, misalnya cara pendokumentasian melalui tulisan dan visual; Kegiatan pengelolaan pendidikan dan kebudayaan lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah Desa.
Memang, dengan UU Desa dan transfer dana desa, kalau bicara pemerintah desa, potensinya lebih besar. Bisa dilihat pula dari peraturan turunan di atas tadi. Mereka punya tempat latihan. Mereka punya anggaran sekarang, dengan keberadaan dana desa. Balai desa yang hampir semuanya punya aula, bahkan pendopo bagus dengan lantai yang mulus dan luas. Ketika kita lewat di depannya suatu sore, tak ada aktivitas apa-apa. Di sini berarti balai desa masih belum menjadi pusat kegiatan kebudayaan masyarakatnya...!
Setelah UU Pemajuan Budaya disahkan, seharusnya harus didorong ada Perda Seni-Budaya di pemerintah daerah yang mempunyai ayat yang mengharuskan pemerintah Desa mengurusi serius urusan Seni-Budaya ini. Setiap pemerintah Desa setidaknya menganggarkan dari APBDes-nya untuk kegiatan kesenian, mulai pelatihan hingga pementasan. Setiap pemerintah desa harus mendirikan Sanggar Seni-Budaya. Aula Balai Desa atau Pendopo Balai Desa bisa jadi pusat aktivitas pengembangan Seni-Budaya tersebut. Aktivitas pengembangan seni-budaya dilakukan dengan mendatangkan para pelatih kesenian dan budayawan yang kompeten di bidangnya.
*) Nurani Soyomukti, pendiri Institute Demokrasi dan Keberdesaan (INDEK), sedang nyantri di pasca-sarjana Akidah Filsafat Islam UIN (Iniversitas Islam Negeri) Tulungagung
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)