Mari kita mulai dari kisah ketika warga desa mulai akan memberikan suaranya untuk memilih pemimpin desa (Kades). Tentunya, juga ada para calon yang akan berkontestasi. Terkait keberadaan calon, dalam pandangan saya, biasanya akan muncul beberapa tipe calon. Pertama ada warga yang mencalonkan diri karena keinginannya sendiri. Kedua, ada yang dicalonkan orang lain. Ketiga, ada perpaduan keduanya.
Tentunya tidak ada masalah pada ketiga tipe itu. Memang, kalau keinginan mencalonkan diri itu muncul dari seseorang, kesannya ia adalah calon yang ambisius. Sedangkan, jika ada calon yang maju karena keinginan orang lain atau orang banyak, kesannya tidak ambisius dan malah terkesan diinginkan banyak orang.
Sebenarnya masalahnya di sini adalah bukan apakah seorang itu nyalon karena keinginannya sendiri atau karena keinginan orang lain. Bukan itu masalahnya. Toh, keduanya juga tak melanggar undang-undang. Karena setiap warga memang boleh mencalonkan diri, karena itu adalah hak tiap warga untuk mencalonkan diri atau mengusung calon.
Yang harus dilihat sebenarnya pada “personality” calon itu sendiri. Bukan pada bagaimana ia mencalonkan. Meskipun demikian, ambisi untuk mencalonkan diri itu kadang juga menjadi bagian ‘personality’ dari calon. Umumnya orang yang ambisius itu tidak disukai di daerah pedesaan. Orang pedesaan lebih suka sosok yang tidak ambisius.
Ambisius sebenarnya bukan watak yang terpisah dari karakter lain. Orang pasti akan melihat apakah orang yang ambisius ini memang membawa misi besar yang akan diperjuangkan yang berbasis pada karakter kebersamaan (kerakyatan), ataukah hanyalah ambisi pribadi untuk merebut kekuasaan.
Orang juga akan menilai apakah orang yang ambisius ini ada tanda-tanda akan bisa menjalankan kekuasaan dengan baik berdasarkan pada pemahamannya akan aturan-aturan untuk menjalankan kekuasaan, serta apakah ia akan menggunakan kekuasaan untuk dibuka dan dibagi untuk kepentingan orang banyak. Ataukah ia suka kekuasaan karena biar ingin naik kelas saja, memanfaatkan jabatan untuk mengambil posisi berbeda dari kebanyakan rakyat banyak.
Sebab, jujur saja, rata-rata masyarakat desa masih menganggap bahwa kekuasaan dan jabatan itu dipandang hanya pantas diduduki oleh orang-orang tertentu yang dianggap ditakdirkan untuk mendapatkannya. Dan mereka berpikir bahwa memang jabatan dan kekuasaan itu pantas didapat oleh orang-orang yang beruntung. Dan mereka menganggap bahwa mereka hanyalah pihak yang mendukung kekuasaan apapun adanya, hanya berharap bahwa kekuasaan akan membawa manfaat pada diri mereka—tapi sikap mereka adalah menunggu.
Merubah Pola Pikir
Yang dibutuhkan sekarang ini, untuk menciptakan masyarakat yang maju, memanglah pola pikir dan sikap masyarakat yang harus berubah. Termasuk poa pikir dan sikap pemimpin yang akan menjadi pengarah kemajuan masyarakat.
Calon yang ambisius biasanya tak akan fokus pada bagaimana membawa masyarakat pada transformasi dan perubahan pola pikir dan sikap. Ia justru akan menempatkan masyarakat sebagai objek, yang akan dianggap menganggumi dirinya setelah dirinya mendapatkan posisi dan jabatan sebagai pemimpin.
Umumnya, posisi sebagai pemimpin yang didapat akan membuatnya “kena mental” dalam artian perasaannya meninggi dan ia merasa harus dihormati. Orang lain dirasa sebagai sosok-sosok yang akan memandangnya lebih tinggi. Tapi sayangnya, posisi kepemimpinannya tidak dimaknai sebagai sebuah kewajiban untuk menjalankan mandat untuk menjadi abdi bagi orang banyak.
Berhenti dan fokus pada menata perasaan sebagai orang yang harus dipandang terhormat, akhirnya lupa diri. Mereka lupa bahwa mereka harus menjalankan posisi dan perannya sebagai kepanjangan tangan negara dan konstitusi serta aturan-aturannya. Dalam konstitusi jelas bahwa negara kita adalah negara demokrasi, nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sangat kebak di dalamnya. Belum lagi undang-undang yang menjadi turunannya.
Bagi pemimpin desa, jelas ada amanat UU Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014) yang jelas-jelas menginginkan model kekuasaan yang terbuka, dengan menempatkan partisipasi masyarakat sebagai basis kemajuan. Lalu juga ada UU Pelayanan Publik dan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Jelas, bahwa untuk memimpin Desa, sosok yang duduk sebagai pemimpin harus punya pola pikir yang maju, terbuka, punya prinsip kesetaraan, memandang orang lain sebagai mitra kemajuan. Jelas bahwa tugas kepala desa adalah mentransformasikan nilai-nilai yang ada dalam konstitusi, undang-undang, peraturan-peraturan. Ia harus memahami nilai-nilai ideologis dari negara bersama konstitusinya, UU-nya, dan peraturan-peraturannya.
Sayangnya, tidak ada dan hampir tak ada pemimpin desa yang benar-benar mampu mau membaca dan menyerap nilai-nilai demokrasi untuk diterapkan di masyarakat. Mereka bahkan tidak ada bahan untuk disampaikan ke masyarakat. Mereka tak mampu menyebarkan pemahaman,gara gara mereka sendiri tak paham.
Di tengah ketidakpahaman terhadap visi-misi untuk menerapkan nilai-nilai demokrasi serta membuat program untuk mengopersionalisasi dalam sebuah kegiatan, kemudian yang ada hanyalah AMBISI untuk mendapatkan kekuasaan dan mendapatkan jabatan.(*)
*) Nurani Soyomukti adalah pendiri Institute Demokrasi dan Keberdesaan (INDEK) serta santri di Pascasarjana Akidah dan Filsafat Islam UIN Tulungagung.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)