KETIK, JAKARTA – Aliansi Perempuan Indonesia (API) mengecam keras keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. API menilai keputusan tersebut sebagai bentuk kemunduran demokrasi serta pelecehan terhadap sejarah perjuangan rakyat, khususnya kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan rezim Orde Baru.
API menegaskan bahwa Soeharto tidak layak mendapat gelar pahlawan karena memiliki rekam jejak panjang terkait kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), korupsi, kolusi, dan nepotisme selama lebih dari tiga dekade berkuasa.
“Soeharto adalah simbol kekuasaan yang membunuh, menyiksa, memperkosa, dan menindas tubuh perempuan melalui sistem yang represif dan militeristik,” ujar Mutiara Ika, salah satu juru bicara API dalam pernyataannya, Selasa, 11 November 2025.
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2025. Gelar tersebut diberikan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara.
Sebelumnya, wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto telah menuai kritik luas dari berbagai kalangan, mulai dari sejarawan, aktivis HAM, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil. Namun, Presiden Prabowo tetap melanjutkan penganugerahan tersebut.
Sikap Presiden Prabowo yang mengabaikan kritik luas dari berbagai kalangan ini dinilai sebagai indikasi bahwa arah pemerintahan saat ini semakin sentralistis dan mengabaikan aspirasi publik.
“Pengakuan terhadap Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan titik mundur demokrasi pemerintahan Prabowo-Gibran,” papar Mutiara.
Rezim Orde Baru Menindas Perempuan dan Melanggar HAM
Menurut API, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah menindas perempuan melalui ideologi “Ibuisme Negara” yang membatasi peran perempuan hanya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Ideologi ini, menurut API, menyingkirkan perempuan dari ruang politik dan ekonomi, serta memaksa mereka bekerja tanpa jaminan dan upah layak.
API juga menilai kebijakan Orde Baru, seperti revolusi hijau dan program keluarga berencana yang represif, memperparah ketimpangan gender dan pemiskinan struktural perempuan di pedesaan.
Sebagai bentuk penolakan terhadap narasi kepahlawanan Soeharto, API menyerukan agar pemerintah menuntaskan berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru. Beberapa di antaranya yakni kasus Marsinah, tragedi Mei 1998, Talangsari Lampung 1989, Rumoh Geudong Aceh 1989, hingga penghilangan paksa aktivis 1997–1998.
API juga mengingatkan pentingnya menjaga ingatan publik terhadap sejarah kelam masa Orde Baru melalui kegiatan pendidikan publik, pemutaran film dokumenter, hingga kunjungan ke situs-situs sejarah pelanggaran HAM.
“Kami akan terus mencatat dan mengingat sejarah rakyat yang melawan Orde Baru. Soeharto bukan pahlawan, ia seharusnya diadili, bukan diagungkan,” tegas Mutiara Ika.
API juga menyerukan agar seluruh korban pelanggaran HAM masa lalu memperoleh keadilan yang layak, serta agar negara tidak menghapus ingatan kolektif masyarakat terhadap kekerasan yang terjadi selama masa kekuasaan Soeharto. (*)
