KETIK, JAKARTA – Apa yang tergambar di pikiran anda saat pertama kali disebutkan nama negara Kazakhstan? Barangkali adalah hamparan padang stepa yang seolah tak berujung, kuda-kuda berlari di bawah langit biru yang luas.
Barangkali itu ada benarnya. Karena Kazakhstan adalah salah satu negara terluas di dunia. Luasnya yang mencapai 1,5 kali luas wilayah Indonesia menempatkan negara pecahan Uni Soviet ini sebagai negara terluas kesembilan di dunia. Namun di sisi lain, Kazakhstan juga sebagai salah satu negara tersepi di dunia, dengan tingkat kepadatan hanya 7 orang per km2.
Namun, Kazakhstan tak hanya bisa dikenal soal demografi dan luas wilayahnya saja. Ada sejumlah hal menarik dari negara terkurung daratan (landlock) ini.
Salah satunya yang harus anda tahu adalah satu sosok nama yang legendaris di dunia sastra: Abai Qunanbayuly.
Abai (1845–1904) bukan sekadar penyair. Ia adalah filsuf, komponis, dan pembaharu kebudayaan Kazakh. Lewat syair dan renungannya, ia menanamkan nilai kemanusiaan, moralitas, serta keberanian berpikir terbuka tanpa kehilangan akar tradisi. Karyanya yang paling berpengaruh, The Book of Words—atau Qara Sozder—adalah cermin pergulatan batin dan sosial bangsanya.
Pekan ini, sosok Abai kembali dikenang dalam peringatan 180 tahun kelahirannya, yang digelar di Hotel Four Seasons, Jakarta, Kamis, 23 Oktober 2025. Acara ini diinisiasi oleh Duta Besar Kazakhstan untuk Indonesia, Serzhan Abdykarimov, dan dihadiri komunitas Perhimpunan Persahabatan Kazakhstan–Indonesia (KIFS).
KIFS, yang berdiri sejak 2004 di bawah naungan Kedutaan Besar Kazakhstan, menjadi jembatan hubungan budaya, pendidikan, dan bisnis antarwarga kedua negara. “Pertemuan ini kami dedikasikan untuk Hari Republik Kazakhstan, sekaligus memperkenalkan karya Abai dalam terjemahan Bahasa Indonesia,” ujar Abdykarimov.
Dalam suasana hangat, hadirin disuguhi musik tradisional dan kuliner khas Kazakh. Ada beshbarmak, hidangan daging rebus dan mi yang disantap dengan tangan—secara harfiah berarti lima jari. Ada pula kyurdak, tumis jeroan sapi atau domba yang berpadu aroma paprika dan bawang Bombay. Rasa yang sederhana, tapi berakar pada sejarah panjang padang rumput Asia Tengah.
Abai lahir di kaki Gunung Chingiz, kawasan Semey, timur Kazakhstan. Ia mewariskan bukan hanya puisi, tetapi juga pandangan hidup. Dalam “Buku Kata-kata”-nya, Abai menulis tentang kejujuran, keadilan, dan pentingnya berpikir kritis di tengah perubahan zaman. Kata-katanya menembus waktu—dari gurun Kazakh, menggema ke seluruh dunia.
Kini, nama Abai disejajarkan dengan Shakespeare, Goethe, dan Pushkin. Ia bukan hanya milik bangsanya, tetapi milik siapa pun yang percaya: kata dapat mengubah peradaban.
