Sultan Zainal Abidin Syah, Pejuang dari Timur Penjaga Keutuhan Indonesia

11 November 2025 09:18 11 Nov 2025 09:18

Thumbnail Sultan Zainal Abidin Syah, Pejuang dari Timur Penjaga Keutuhan Indonesia
Sultan Zainal Abidin Syah Pahlawan Nasional Indonesia (Foto: Kaidah Malut For Ketik.com)

KETIK, MALUKU UTARA – Zainal Abidin Syah lahir di Soa-Sio, Tidore Maluku Utara pada 15 Agustus 1912. Ia adalah putra Dano Husain Alting dan Boki Salma Alting, sepasang bangsawan yang dihormati bukan karena gelar semata, tetapi karena kepedulian mereka terhadap rakyat kecil. Dalam keluarga itu, doa dan kerja keras menjadi napas kehidupan. Sejak kecil, Zainal diajarkan arti keberanian, ketekunan, dan kecintaan pada agama serta tanah kelahiran.

Masa kecil Zainal tak banyak terekam dalam catatan rakyat maupun dokumen kolonial. Namun, arsip Belanda mencatat bahwa ia sempat tinggal di lingkungan Kadato Tidore di Ternate. Tahun 1922, ia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Tujuh tahun kemudian, Zainal melanjutkan ke MULO di Batavia (1929–1932), lalu ke OSVIA di Makassar sekolah calon pegawai pribumi Hindia Belanda.

Bagi kedua orang tuanya, pendidikan bukan sekadar kebanggaan keluarga. Mereka ingin Zainal menjadi pribadi berilmu yang mampu melindungi rakyatnya dari ketertinggalan dan penindasan. Setelah menamatkan MULO, Zainal yang dikenal cerdas diangkat menjadi pegawai kolonial di Ternate. Namun, semangatnya untuk mengabdi membuatnya meminta penugasan ke tanah jauh: Sorong, Nieuw-Guinea (Papua). Permintaan itu dikabulkan. Di sana, ia menjadi asisten pemerintahan sejak 1937 dan terus dipercaya hingga menjabat Hulp Bestuur di Manokwari pada 1940.

Namun, bagi Zainal, jabatan bukan alat mencari kenyamanan. Ia melihat tugas di Papua sebagai kesempatan untuk memahami kehidupan rakyat dan alam mereka secara langsung. Kedekatannya dengan rakyat Papua membuatnya dijuluki Sultan Papua III, meneruskan jejak Sultan Mansur dan Sultan Nuku, dua tokoh besar Tidore yang juga berjuang bagi wilayah Papua.

Falsafah Hidup dan Pandangan Politik

Zainal selalu memegang falsafah leluhur: “Gate saya rako moi, mari moi ngone fotoru”—kelak kita harus mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain, dalam keadaan merdeka dan bermartabat. Nilai ini menumbuhkan tekad kuat dalam dirinya untuk menolak segala bentuk penjajahan. Ia sadar bahwa pendidikan dan pengalamannya adalah bekal untuk memperjuangkan martabat bangsanya.

Pemerintah Belanda saat itu mengakui hak ulayat Kesultanan Tidore atas wilayah luas di Nieuw-Guinea, terbentang dari Fakfak hingga Waropen, sebagaimana tertulis dalam Bijblad No. 14377 tahun 1940. Zainal sering mengunjungi wilayah-wilayah itu, memperhatikan kehidupan rakyat, mendengar keluhan mereka, dan menguatkan hubungan emosional antara Tidore dan Papua.

Masa Pendudukan Jepang dan Penderitaan Sebagai Romusa

Tahun 1942, situasi berubah ketika Jepang menguasai Maluku Utara. Zainal diangkat kembali menjadi Kepala Swapraja Tidore, lalu Kepala Kehakiman di Ternate. Meski masih menjabat sebagai Jogugu (Perdana Menteri Kesultanan), ia bersikap tegas terhadap pendudukan Jepang. Ia menolak kebijakan kerja paksa (romusa) yang memaksa rakyat Tidore bekerja di Halmahera dan sekitarnya.

Ketika tentara Jepang datang mencari tenaga kerja, Zainal diam-diam mengimbau rakyat agar bersembunyi di kebun dan pegunungan. Banyak yang selamat berkat pesannya. Namun, tindakannya diketahui pihak Jepang. Ia pun ditangkap, dibawa ke Jailolo, dan dijatuhi hukuman kerja paksa di Teluk Kao selama hampir satu tahun (1944–1945).

Sebagai bangsawan yang terbiasa dihormati, Zainal kini harus hidup sebagai pekerja kasar: lapar, sakit, dan tidur di tanah. Namun, ia tetap teguh. “Lebih baik menderita bersama rakyat daripada hidup nyaman dalam pengkhianatan,” begitu prinsip hidup yang ia pegang. Bagi Zainal, menjadi pemimpin berarti berbagi penderitaan dan menjaga kehormatan bangsanya.

Kembali ke Tidore dan Awal Perjuangan Kemerdekaan

Setelah Jepang menyerah, Zainal kembali ke Tidore dalam keadaan lemah tetapi semangatnya tak padam. Di tengah kabar kemerdekaan Indonesia yang mulai terdengar, ia segera memanggil para bobato dan tokoh masyarakat untuk bermusyawarah. “Kita bukan hanya mendengar kabar merdeka. Kita harus menjaga kemerdekaan itu. Tidore harus berdiri bersama Indonesia,” ucapnya.

Dengan ketegasan dan wibawa, ia menata kembali struktur Kesultanan yang sempat hancur. Rakyat diajak bertani, melaut, dan menjaga keamanan. Zainal juga mengingatkan pentingnya persatuan agar rakyat tidak mudah terpecah oleh pengaruh Belanda. Ketika Belanda mencoba menggoda para bangsawan untuk bergabung dalam proyek Negara Indonesia Timur (NIT), Zainal menolak keras dan menegaskan bahwa Papua serta Maluku Utara adalah bagian dari Republik Indonesia.

Diplomasi Zainal Abidin Syah: Menolak Politik Pecah Belah Belanda

Antara 1946–1949, Belanda melalui Dr. H.J. van Mook melancarkan “Gerakan Federalisasi”—membentuk negara-negara boneka seperti NIT untuk melemahkan Republik. Dalam Konferensi Malino, Pangkal Pinang, dan Denpasar, upaya memisahkan Irian Barat dari Indonesia terus dilakukan.

Namun, Zainal Abidin Syah berdiri tegak. Di Konferensi Denpasar 1946, ia mengusulkan agar status Papua ditentukan kemudian, memastikan wilayah itu tetap menjadi bagian NIT dan tidak jatuh ke tangan Belanda. Ketika Belanda menawarkan imbalan besar agar ia menandatangani pernyataan menyerahkan Irian Barat, Sultan menolak. Dengan tegas ia berkata, Irian Barat adalah bagian sah dari Kesultanan Tidore dan Republik Indonesia.

Dalam sidang pengesahan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 28 November 1949, dari 51 anggota parlemen hanya satu yang menolak hasil perundingan—Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah. Ia berkata:

“Kerajaan Tidore tidak dapat menyetujui hasil KMB, karena Irian Barat masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Dalam sejarah, Irian Barat adalah bagian dari Kerajaan Tidore.”

Sikap berani ini menjadikannya satu-satunya suara penolak di antara puluhan delegasi yang tunduk pada keputusan KMB.

Dari Tidore untuk Irian Barat

Presiden Soekarno sangat menghargai keteguhan Sultan Zainal. Pada 17 Agustus 1956, Presiden mengumumkan pembentukan Provinsi Perjuangan Irian Barat dengan ibu kota sementara di Soa-Sio, Tidore. Setahun kemudian, Sultan Zainal Abidin Syah dilantik sebagai Gubernur Provinsi Perjuangan Irian Barat melalui SK Presiden No. 142 Tahun 1956.

Sebagai Gubernur, Zainal aktif mengunjungi Fakfak, Manokwari, Sorong, Raja Ampat, hingga pesisir Halmahera, membakar semangat rakyat agar terus memperjuangkan pembebasan Irian Barat. Ia juga dipercaya membantu operasi militer Mandala di Makassar (1961) dan diangkat menjadi Gubernur tetap Irian Barat pada 4 Mei 1962.

Mari Moi Ngone Foturu Pesan Terakhir Sang Sultan

Menjelang akhir hidupnya, Zainal menginisiasi program migrasi lokal, mengajak rakyat pindah ke Halmahera, membuka wilayah Oba yang subur. Sebelum keberangkatan, ia berpesan:

“Mari moi ngone foturu, ma tomoi ngone foturu, maku duka se maku sayang, maku eli se jaga.”

Artinya, “Kita harus saling membantu dalam kesulitan, saling menyayangi, dan saling menjaga agar hidup tetap damai dan sejahtera.”

Pada 4 Juli 1967, dalam perjalanan menuju Ambon untuk menghadiri peringatan Hari Pattimura, Sultan Zainal Abidin Syah wafat di atas kapal KM Berau. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Bahagia Ambon, dan pada 11 Maret 1986 dipindahkan ke Soa-Sio, tempat asal leluhurnya.

Warisan Abadi Seorang Pemimpin

Sultan Zainal Abidin Syah bukan sekadar penguasa Kesultanan Tidore, tetapi seorang pejuang sejati yang mempertaruhkan jabatan dan nyawa demi kehormatan bangsanya. Ia berdiri teguh melawan tekanan kolonial, menjaga martabat rakyatnya, dan memastikan Papua tetap menjadi bagian dari Indonesia.

Sejarah tentangnya jarang diangkat dalam buku pelajaran, padahal perjuangannya menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil diplomasi di ibu kota, tetapi juga lahir dari keberanian pemimpin-pemimpin daerah yang menjaga marwah negeri dari pinggiran nusantara.

Zainal Abidin Syah meninggalkan pesan abadi:

“Kedaulatan bukan diberikan, tetapi diperjuangkan. Dan perjuangan itu tidak akan mati selama kita mencintai tanah air dengan sepenuh hati.” (Sumber: Jejak Malut)

 

Tombol Google News

Tags:

Sultan Zainal Abidin Syah pahlawan nasional Dari Tidore Irian Barat Indonesia