Negosiasi diplomasi ekonomi antara Indonesia dan Amerika Serikat baru-baru ini memunculkan angin segar di tengah tantangan global. Pemerintah Indonesia sukses menurunkan ancaman tarif impor produk RI ke AS dari 32% menjadi 19%. Bukan hanya kemenangan diplomasi, tapi juga bukti bahwa Indonesia mampu memainkan peran kunci dalam peta perdagangan dunia yang kini makin dinamis.
Surplus perdagangan dengan AS selama lebih dari satu dekade bukan sekadar angka, melainkan representasi ketangguhan sektor ekspor nasional. Tahun 2023, ekspor non-migas Indonesia ke AS mencapai hampir US$28 miliar, sementara impor dari AS sekitar US$11 miliar.
Surplus stabil sebesar US$17 miliar ini bukan hanya menguntungkan neraca pembayaran, tapi juga memperlihatkan kepercayaan pasar Amerika pada kualitas produk Indonesia—dari tekstil, furniture, hingga makanan olahan.
Penurunan tarif dari 32% ke 19% merupakan hasil diplomasi aktif pemerintah yang patut diapresiasi. Di tengah kenaikan tarif tinggi untuk negara tetangga (Malaysia 25%, Thailand 36%, Vietnam 20%, Laos 40%), Indonesia berhasil menjaga posisi sebagai mitra dagang strategis AS. Ini adalah sinyal kepercayaan dan peluang bagi Indonesia untuk mengambil peran lebih besar dalam rantai pasok global yang sedang berubah pasca-pandemi.
Optimisme tidak berhenti di sana. Pembukaan akses lebih luas ke pasar AS berarti peluang ekspor makin besar, tetapi juga membuka jalan transfer teknologi. Dalam tiga tahun terakhir, data BKPM menunjukkan, nilai investasi langsung AS di Indonesia mencapai lebih dari US$2,3 miliar, banyak di antaranya pada sektor manufaktur berteknologi tinggi, energi, dan infrastruktur.
Saat Indonesia mengimpor mesin dan peralatan industri dari AS, kita tidak hanya membeli produk jadi, tapi diharapkan juga membawa masuk pengetahuan, pelatihan, dan teknologi terkini—contohnya di sektor otomotif, kimia, dan elektronika.
Teknologi mesin pabrik asal AS—mulai dari sistem otomasi industri, robotik, hingga alat berat—sudah banyak digunakan di sentra manufaktur Indonesia, khususnya di Karawang dan Cikarang. Kerja sama transfer teknologi pun semakin intensif, dengan adanya pelatihan tenaga kerja Indonesia secara langsung di pabrik atau secara daring. Bahkan, beberapa program industrial offset mewajibkan perusahaan AS membuka pusat pelatihan dan perakitan di Indonesia, sehingga SDM lokal makin terampil dan produktif.
Di sektor pertahanan dan maritim, peluang kerja sama makin terbuka lebar. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dan AS telah menandatangani nota kesepahaman transfer teknologi untuk peralatan pengawasan laut, radar canggih, serta sistem pelacakan kapal.
Hal ini sangat penting untuk memperkuat pertahanan wilayah strategis, seperti Natuna dan Selat Malaka, yang menjadi pintu gerbang perdagangan dan rawan terhadap aktivitas ilegal. Teknologi maritim dari AS seperti maritime domain awareness systems sudah mulai diadopsi, memungkinkan Indonesia memantau zona ekonomi eksklusif dengan lebih efektif dan tanggap terhadap ancaman pelanggaran.
Kerja sama ini memberikan efek berlapis: selain meningkatkan keamanan nasional dan memperkuat kedaulatan maritim, Indonesia juga mendapatkan akses ke inovasi yang dapat diadaptasi ke sektor sipil—mulai dari pengelolaan perikanan, perlindungan lingkungan laut, hingga penanganan bencana.
Penurunan tarif pun membawa semangat baru untuk mendorong reformasi struktural di dalam negeri. Tantangan pangan seperti kedelai harus dijawab dengan inovasi—pemerintah mestinya semakin mempercepat riset benih unggul, mekanisasi pertanian, dan diversifikasi sumber impor agar petani lokal kembali kompetitif.
Di bidang industri, strategi local content requirement atau TKDN yang benar (bukan sekedar dokumen) semakin didorong agar pabrik dalam negeri tak sekadar menjadi assembler, tapi juga pusat inovasi dan penciptaan nilai tambah.
Momentum positif negosiasi tarif juga dapat menjadi katalisator bagi investasi dan kolaborasi global yang lebih luas. Indonesia kini semakin dipercaya sebagai hub produksi sekaligus pasar potensial bagi teknologi dan produk baru dari Amerika, Eropa, dan Asia. Hal ini membuka peluang bagi tenaga kerja terampil, lahirnya startup digital, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Pemerintah di bawah Prabowo dapat memanfaatkan capaian ini sebagai langkah awal menuju strategi ekonomi ofensif: menggalang kemitraan perdagangan yang lebih setara, memperkuat posisi tawar, serta memastikan setiap peluang transfer teknologi membawa manfaat riil bagi ekonomi nasional dan rakyat banyak.
Pada akhirnya, tarik-ulur antara liberalisasi dan proteksi bukanlah dilema yang harus ditakuti, melainkan peluang untuk memilih strategi cerdas. Dengan pengawasan impor yang terintegrasi, filter komoditas strategis, dan insentif alih teknologi, Indonesia bisa tetap menjaga surplus perdagangan tanpa jatuh pada jebakan ketergantungan.
Penurunan tarif dari 32% ke 19% bukan hanya kemenangan angka, tapi simbol bahwa Indonesia siap naik kelas sebagai kekuatan ekonomi baru yang percaya diri, kolaboratif, dan berdaulat—baik dalam hal ekspor, teknologi, maupun kedaulatan maritim. Dengan semangat optimis, diplomasi ekonomi yang aktif, dan reformasi struktural di berbagai sektor, Indonesia bisa memanfaatkan setiap gelombang tantangan menjadi lompatan kemajuan yang nyata
*) Muhammad Sirod merupakan Fungsionaris Kadin Indonesia; Ketum HIPPI Jaktim
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)