Perampingan Telkom, Manajemen Strategi Brilian Danantara

3 Juli 2025 17:14 3 Jul 2025 17:14

Thumbnail Perampingan Telkom, Manajemen Strategi Brilian Danantara
Oleh: Muhammad Sirod*

Langkah perampingan portofolio anak dan cucu usaha yang sedang dilakukan oleh PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk tidak dapat dibaca sebagai agenda internal semata. Dalam konteks transformasi digital nasional dan pembentukan super holding sektor telekomunikasi Danantara, langkah ini mencerminkan pergeseran arah kebijakan strategis yang lebih besar, yang berpotensi mengubah wajah korporasi BUMN digital Indonesia ke depan.

Sebagai salah satu BUMN dengan portofolio bisnis paling kompleks, Telkom memikul beban historis berupa akumulasi entitas usaha yang berasal dari ekspansi sektoral di masa lalu. Hingga akhir 2024, Telkom memiliki lebih dari 40 entitas anak dan cucu usaha, tersebar pada sektor telekomunikasi, menara, data center, cloud, konektivitas global, layanan enterprise, hingga properti, media, logistik, dan koperasi digital. Kendati menunjukkan tingkat diversifikasi yang tinggi, laporan keuangan konsolidasi 2024 justru memperlihatkan bahwa kontribusi pendapatan perusahaan sangat terkonsentrasi.

Sebanyak 99,2 persen dari total pendapatan konsolidasi Telkom Indonesia tahun 2023 sebesar Rp149,2 triliun disumbang oleh lima segmen utama: Telkomsel (mobile & consumer), Telin (global business & wholesale), segmen enterprise (layanan B2B digital dan konektivitas), Mitratel (menara telekomunikasi), dan layanan Data Center & Cloud. Artinya, lebih dari 35 entitas anak/cucu usaha lainnya, secara gabungan, hanya memberikan kontribusi sekitar 0,8 persen terhadap total pendapatan.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa sebagian besar entitas dalam portofolio Telkom telah kehilangan relevansi strategis dan nilai finansial yang signifikan. Dalam tata kelola perusahaan modern, struktur organisasi semacam ini disebut dengan istilah overdiversified portfolio—yakni kumpulan unit usaha yang jumlahnya terlalu banyak, namun tidak memberikan nilai tambah atau sinergi yang sepadan. Situasi ini tidak hanya menciptakan beban struktural yang tinggi bagi induk usaha, tetapi juga menciptakan friksi dalam pengambilan keputusan, proses investasi, pengawasan risiko, dan efisiensi operasional.

Perampingan (streamlining) terhadap entitas-entitas ini menjadi keharusan. Bukan semata demi menyederhanakan struktur, melainkan juga sebagai instrumen konsolidasi nilai, penguatan fokus pada bisnis inti, dan penyesuaian strategis terhadap tuntutan zaman. Di sinilah intervensi Danantara menjadi relevan. Danantara, sebagai entitas superholding sektor telekomunikasi yang dicanangkan pemerintah, menekankan prinsip utama dalam pengelolaan grup BUMN digital: efisiensi, akselerasi transformasi, fokus core business, dan transparansi tata kelola.

Arah kebijakan yang diambil Danantara dalam merespons portofolio Telkom memperlihatkan kehati-hatian strategis yang patut diapresiasi. Tidak hanya menyerukan evaluasi dan rasionalisasi, namun juga menunda seluruh aksi korporasi besar seperti IPO, merger, akuisisi, hingga spin-off sebelum dilakukan konsultasi menyeluruh dengan pemegang saham pengendali. Di saat yang sama, Danantara mendorong Telkom untuk menyusun ulang prioritas belanja modal (capital expenditure) agar selaras dengan strategi pertumbuhan berbasis digitalisasi nasional, terutama melalui penguatan sektor cloud, AI, dan infrastruktur data center.

Penting dicatat bahwa Telkom sejatinya telah memulai transformasi menuju entitas digital berbasis 5 pilar: konektivitas (connectivity), platform digital (digital platform), layanan digital (digital services), data center & cloud, dan ekspansi global. Namun, perjalanannya masih terganggu oleh keberadaan unit-unit bisnis warisan lama yang tidak sepenuhnya align dengan peta jalan ini.

Misalnya, keberadaan unit properti, media digital skala kecil, koperasi digital, bahkan percetakan, adalah bentuk keterlanjuran historis yang kini menjadi beban manajerial. Beberapa anak usaha seperti Napsindo Primatel bahkan telah dinyatakan non-aktif, sementara beberapa entitas baru seperti Telkom Infrastruktur (TIF) masih berada dalam tahap ramp-up yang belum menunjukkan hasil signifikan.

Dalam perspektif manajemen strategis, keputusan perampingan tidak hanya tepat, tetapi mendesak. Bila dikalkulasi secara objektif, mempertahankan 30-an entitas dengan kontribusi pendapatan <1% justru berpotensi menimbulkan biaya tak langsung (indirect cost) yang besar. Beban audit, pengawasan, biaya SDM, hingga potensi risiko governance menjadi tinggi, sementara nilai tambah yang diberikan relatif nihil. Risiko terbesar dari struktur yang terlalu kompleks bukan hanya soal efisiensi, melainkan juga distraksi dari core business yang menghambat kelincahan inovasi dan adaptasi pasar.

Langkah Telkom dalam menyelaraskan diri dengan arahan Danantara harus dibaca sebagai bentuk konvergensi strategi antara korporasi dengan visi negara. Keberhasilan transformasi digital Indonesia sangat bergantung pada kapasitas infrastruktur dan layanan digital nasional yang tangguh, efisien, dan terintegrasi. Telkom, sebagai tulang punggung digital nasional, dituntut untuk menjadi lean but effective—ramping secara struktur, namun tangguh secara nilai dan teknologi.

Penguatan pada sektor yang telah terbukti produktif menjadi agenda berikutnya yang tidak kalah penting. Telkomsel, dengan pendapatan Rp102,4 triliun tahun 2023, bukan hanya anak usaha terbesar, namun merupakan anchor dari posisi Telkom di sektor consumer. Di sektor B2B, Telin dan segmen enterprise menunjukkan potensi besar, baik dari sisi pertumbuhan organik maupun ekspansi regional. Mitratel berhasil mempertahankan margin EBITDA di atas 80%, sementara sektor data center dan cloud (NeutraDC dan Telkom Data Ekosistem) mencatat pertumbuhan pendapatan dobel digit per semester.

Namun ke depan, tekanan kompetitif di sektor digital akan semakin besar. Persaingan di layanan cloud akan bersinggungan langsung dengan pemain global seperti AWS, Google Cloud, Alibaba Cloud, dan Microsoft Azure. Layanan AI, edge computing, dan konektivitas 5G memerlukan penguatan kapabilitas infrastruktur yang sangat besar. Tanpa streamlining, kapasitas Telkom untuk menyerap dan mengoptimalkan investasi baru akan terganggu oleh beban portofolio usang yang belum memberikan return.

Dalam kerangka kebijakan fiskal dan pengawasan BUMN, langkah perampingan Telkom juga mengirimkan sinyal positif. Pertama, bahwa BUMN mulai berani melakukan penyesuaian struktur yang berorientasi pada nilai dan bukan sekadar citra besar. Kedua, bahwa BUMN mampu menjalankan self-correction mechanism secara independen dan berbasis data. Ketiga, bahwa transformasi digital tidak selalu memerlukan pembentukan entitas baru, tetapi bisa dimulai dengan membenahi dan mengkonsolidasikan apa yang sudah ada.

Peran Danantara di sini bukan hanya sebagai holding keuangan, tetapi sebagai akselerator tata kelola. Dengan pendekatan supervisi yang strategis, Danantara dapat memastikan bahwa Telkom dan entitas lainnya tidak hanya bertumbuh dalam nilai, namun juga selaras dengan kepentingan nasional. Kejelasan posisi Telkom sebagai penyedia layanan digital publik, penyangga keamanan siber, dan fondasi layanan teknologi pemerintahan menjadikannya aset strategis yang harus dikelola dengan disiplin tinggi.

Tentu saja, pelaksanaan perampingan ini tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa atau berbasis tekanan eksternal. Setiap keputusan penutupan, merger, atau spin-off harus dilandasi oleh analisis yang transparan dan melibatkan pihak-pihak relevan, termasuk regulator, stakeholder industri, dan bahkan publik. Publik sebagai pengguna layanan Telkom memiliki hak untuk mengetahui arah transformasi perusahaan yang mereka dukung melalui APBN dan konektivitas sehari-hari.

Penting pula untuk memastikan bahwa proses perampingan tidak mengorbankan SDM atau kapabilitas yang masih memiliki potensi adaptasi. Dalam beberapa kasus, entitas yang tidak produktif secara keuangan masih memiliki keunggulan talenta atau teknologi yang bisa diintegrasikan ke dalam entitas utama. Proses ini memerlukan pendekatan strategis berbasis sinergi, bukan sekadar eliminasi administratif.

Keberhasilan streamlining akan sangat bergantung pada sejauh mana Telkom mampu mendefinisikan ulang proposisi nilai dari seluruh portofolionya. Artinya, pertanyaan fundamental yang harus dijawab adalah: apakah sebuah unit bisnis masih memberikan nilai (value), baik dari sisi finansial, strategis, maupun inovasi? Bila tidak, maka konsolidasi atau divestasi menjadi opsi yang rasional dan bertanggung jawab.

Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa langkah perampingan Telkom bukan sekadar respons terhadap tekanan regulator atau tren korporasi global. Ia adalah bentuk penyesuaian struktural yang krusial untuk mempertahankan relevansi Telkom sebagai aktor utama dalam transformasi digital Indonesia. Danantara, sebagai kerangka tata kelola baru, telah memberikan kerangka yang tepat untuk memastikan bahwa setiap langkah korporasi selaras dengan misi efisiensi, nilai tambah, dan keberlanjutan digital.

Transformasi Telkom tidak bisa ditunda, dan perampingan adalah babak awal yang menentukan. Inilah saatnya mengembalikan Telkom ke bentuk terbaiknya: bukan yang besar secara jumlah, melainkan kuat secara substansi.

*) Muhammad Sirod merupakan Fungsionaris Kadin Indonesia, Ketum HIPPI Jaktim

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Danantara telkom Muhammad Sirod