Di awal pemerintahan, Presiden Prabowo Subianto meluncurkan kebijakan yang menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Yakni terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam APBN dan APBD tahun anggaran 2025.
Instruksi Presiden ini memerintahkan kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi belanja, terutama pada pos-pos yang dianggap kurang prioritas, seperti belanja operasional perkantoran, perjalanan dinas, dan kegiatan seremonial.
Presiden menyatakan bahwa efiensi atau penghemantan dimaksudkan agar keuangan negara lebih bersih dan fokus pada kepentingan masyarakat.
Pro-kontra terjadi atas kebijakan efisiensi ini, sebagian masyarakat mendukungnya. Mereka yang pro menilai bahwa efisiensi berfokus pada kegiatan-kegiatan pendukung dan seremonial akan menghemat belanja negara sekaligus dapat meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah.
Sebaliknya, bagi masyarakat yang kontra menilai bahwa efiensi anggaran dapat berpengaruh pada pencapaian pembangunan terutama di sektor-sektor strategis misalnya pendidikan dan kesehatan.
Sehingga, efisiensi dari instruksi Presiden Prabowo, memaksa sebagian kementerian, lembaga menerapkan sistem kerja Work From Anywhere (WFA). Sebenarnya sistem kerja ini bukanlah hal baru, saat pandemi covid-19 sistem kerja ini juga telah diterapkan.
Sistem kerja dari semula konvensional harus tatap muka dan datang ke kantor diubah menjadi tidak saling tatap muka secara langsung dengan cara menggunakan teknologi informasi.
Dalam perjalanan atas perubahan ini tidak serta merta menurunkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Tentu, sistem kerja baru itu juga mengubah paradigma baru dalam pelaksanaan administrasi publik di Indonesia.
Perubahan paradigma administrasi publik dari paradigma lama menjadi paradigma baru yakni:
Paradigma Post-Pandemic Public Administration
Ciri paradigma ini secara sederhana adalah dengan menekankan aspek penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Efisiensi saat ini seharusnya dijadikan momentum bagi penyelenggara pemerintahan untuk bertransformasi menuju Smart Governance dengan mengedepankan penggunaan teknologi informasi. Birokrasi harus lebih fleksibel dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
Smart Governance merupakan salah satu pondasi yang dapat mendukung ekosistem kota cerdas (smart city) di masing-masing daerah/kota.
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 59 tahun 2022 tentang Perkotaan disebutkan bahwa kota terdapat enam pendekatan untuk mewujudkan sebuah kota cerdas yaitu : 1) Tata kelola birokrasi, 2,) Ekonomi, 3) Kehidupan perkotaan, 4) Masyarakat, 5) Lingkungan, dan 6) Mobilitas.
Sejalan dalam berbagai konsep, Smart City setidaknya terdapat 6 pilar yakni:
- Smart Governance: Tata kelola pemerintahan transparan dan partisipatif.
- Smart Economy ditandai ekonomi digital dan inovasi berbasis teknologi
- Smart Living atau kualitas hidup yang baik, termasuk layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan
- Smart People adanya sumber daya manusia yang melek teknologi dan kreatif
- Smart Environment adanya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan
- Smart Branding artinya membangun citra kota yang positif.
Pemerintah Indonesia mulai mendorong penerapan smart city secara masif sejak tahun 2017 ditandai program gerakan menuju 100 Smart City yang diinisiasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), bersama Bappenas, Kemendagri, dan Kementerian PUPR. Tujuannya membantu pemerintah daerah merancang masterplan kota cerdas yang sesuai dengan potensi lokal.
Konsep smart governance sendiri merupakan konsep yang merujuk pada penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam pemerintahan, dengan tujuan meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas pelayanan publik.
Terdapat konsep dan karakteristik didalam Smart Governance antara lain :
1. Peningkatan Efisiensi dan Efektivitas
Smart governance mendorong penggunaan teknologi untuk mempercepat proses birokrasi, mengurangi biaya, dan meningkatkan kualitas layanan publik.
2. Transparansi dan Akuntabilitas
Penerapan TIK memungkinkan informasi lebih mudah diakses oleh publik, meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan dan akuntabilitas pemerintah.
3. Partisipasi Masyarakat
Smart governance mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan penyediaan layanan, melalui berbagai platform digital.
4. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Dengan memanfaatkan teknologi, smart governance bertujuan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih cepat, mudah diakses, dan responsif terhadap kebutuhan Masyarakat.
5. Integrasi Data dan Sistem
Smart governance menekankan pada integrasi data dan sistem antar berbagai instansi pemerintah untuk menciptakan layanan yang terpadu dan efisien.
6. Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
Penggunaan TIK menjadi kunci dalam smart governance, termasuk dalam penyediaan layanan, pengelolaan data, dan komunikasi.
Kesimpulannya, dengan momentum efisiensi anggaran disertai perubahan paradigma administrasi public, sudah selayaknya seluruh kementrian, lembaga, pemerintah pusat maupun daerah segera mewujudkan transformasi tata kelola pemerintahan menjadi smart governance dengan memaksimalkan sumberdaya dan penggunaan teknologi informasi.
Tata kelola pemerintah yang cerdas atau smart governance diharapkan dapat lebih efisien, efektif dan partisipatif untuk mencapai tujuan pembangunan serta dalam pemberian pelayanan Masyarakat.
*) Mudik Eka Setia Budi merupakan mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)