Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 resmi diundangkan pada 5 Juni 2025 sebagai dasar hukum terbaru dalam penyelenggaraan sistem perizinan berusaha berbasis risiko melalui platform Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA) atau dikenal dengan OSS Berbasis Risiko.
Regulasi ini menggantikan PP Nomor 5 Tahun 2021, memperkuat posisi OSS-RBA sebagai satu-satunya pintu masuk legal perizinan di Indonesia, serta mengintegrasikan seluruh sistem kementerian/lembaga secara nasional.
Salah satu penguatan utama dalam PP 28/2025 adalah penerapan ketat terhadap Service Level Agreement (SLA) atau batas waktu pelayanan. Setiap proses perizinan diberi waktu maksimal tertentu.
Sebagai contoh, dalam permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) diberi tenggat waktu maksimal 25 hari kerja apabila dokumen tidak memerlukan revisi, atau 40 hari kerja bila ada perbaikan minor.
Dalam konteks ini, mekanisme “fiktif positif” berperan penting: bila otoritas tidak memberikan keputusan dalam tenggat waktu tersebut, maka sistem OSS-RBA secara otomatis menerbitkan izin. Tujuannya sederhana: memastikan kepastian hukum, mempercepat realisasi investasi, dan menghapus ruang negosiasi birokratik yang tak perlu.
Namun demikian, PP 28/2025 belum mengatur secara eksplisit bagaimana sistem memperlakukan intervensi administratif yang muncul sebelum SLA habis. Akibatnya, setiap respons atau permintaan klarifikasi dari dinas atau instansi—terlepas dari apakah alasan tersebut sah atau tidak— masih memungkinkan membatalkan hitungan waktu fiktif positif.
Celah ini agak rawan disalahgunakan. Misalnya diasumsikan ada sebuah kasus di Jawa Tengah, seorang pengusaha mengajukan permohonan KKPR untuk pembangunan pabrik sepatu melalui OSS-RBA pada 1 Juli 2025. Jika merujuk aturan, maka pada hari kerja ke-25 atau 26 Juli, izin seharusnya keluar otomatis bila tidak ada keberatan.
Namun misalkan pada hari ke-23, Dinas Tata Ruang setempat mengirim surat berisi perintah unggah ulang dokumen peta lokasi dengan alasan “format tidak sesuai”—padahal sebut saja file tersebut sudah menggunakan format standar SHP yang dikeluarkan oleh sistem resmi Kementerian ATR/BPN.
Sistem OSS-RBA menganggap surat tersebut sebagai tindakan administratif yang sah, karena ada celah pintu untuk ditunda dikeluarkannya izin (karena direspon, walau isinya hanya penolakan/keberatan). Artinya, SLA dianggap “diperpanjang” dan hitungan waktu dimulai ulang dari nol.
Praktis, pengusaha harus menunggu 25 hari kerja lagi hanya untuk proses yang seharusnya sudah selesai. Bila strategi ini diulang pada hari ke-24 di proses berikutnya, maka seluruh siklus akan terus tersandera oleh ruang abu-abu birokrasi.
Persoalan mendasar terletak pada tidak adanya pembeda antara tindakan substansial dan tindakan administratif yang sifatnya kabur. Bila OSS-RBA mencatat semua interaksi sebagai “respons” tanpa filter verifikasi substansi maka ini sama saja dengan sistem lama, apabila tidak ada verifikasi independen dari pusat untuk menentukan apakah klarifikasi tersebut relevan atau hanya akal-akalan birokrasi.
Akibatnya, logika SLA menjadi semu. Pelaku usaha tidak memiliki mekanisme sanggah apabila merasa alasan yang diberikan tidak valid. Dan lebih problematik lagi, tidak ada konsekuensi administratif atau penalti terhadap dinas yang menunda tanpa dasar kuat.
Padahal, PP 28/2025 secara eksplisit menetapkan bahwa OSS-RBA adalah single reference—artinya seluruh syarat dan prosedur perizinan telah terkodifikasi dalam sistem. Tidak boleh ada permintaan dokumen tambahan atau interpretasi lokal yang bertentangan dengan aturan pusat. Dalam praktiknya, celah kecil seperti “surat sebelum tenggat” membuat prinsip ini bisa dibengkokkan.
Mungkin perlu solusi konkret yang perlu diadopsi adalah: setiap permintaan klarifikasi yang masuk harus dikarantina sementara oleh sistem pusat OSS-RBA untuk diverifikasi selama maksimal 3 hari kerja. Bila tidak lolos verifikasi substansi, maka permintaan dianggap tidak sah dan SLA tetap berjalan.
Selain itu, penting untuk disiapkan modul fast-track appeal atau forum sanggah cepat. Pelaku usaha harus diberi hak untuk membantah permintaan klarifikasi yang dirasa tidak sah. Sistem pusat wajib memberi putusan dalam waktu singkat (maksimal 3 hari), dan hasilnya bersifat final.
Evaluasi kinerja kementerian dan lembaga juga sudah saatnya bergeser dari kuantitas surat atau respon administratif menuju kualitas putusan. Misalnya, jumlah izin terbit tanpa revisi dibanding total permohonan bisa menjadi key performance indicator (KPI) yang lebih sehat dan mendorong efektivitas.
Peningkatan kualitas audit trail atau jejak digital dalam OSS-RBA juga perlu didorong. Setiap aksi instansi—baik permintaan klarifikasi, penolakan, maupun penerbitan—harus tercatat dengan penanggung jawab, waktu, dan dasar hukum, sehingga setiap proses bisa diaudit secara real-time.
Menutup celah manipulasi waktu melalui “penolakan sebelum SLA habis” bukan sekadar urusan teknis. Ini menyangkut kredibilitas Indonesia dalam menciptakan iklim investasi yang sehat, adil, dan dapat diprediksi. Fiktif positif harus menjadi kenyataan sistemik, bukan sekadar wacana dalam regulasi.
*) Muhammad Sirod merupakan Fungsionaris Kadin Indonesia, Ketua Umum HIPPI Jakarta Timur
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitasdiri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)