KETIK, MALANG – Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR EI, Taufik Basari berkunjung ke Fisip Universitas Brawijaya (UB), Rabu 6 Agustus 2025. Kunjungan tersebut untuk diskusi terkait evaluasi pengimplementasian UUD 1945 termasuk peluanh terjadinya amandemen ke-5.
Sejumlah akademisi dari UB, UM, UMM, Widyagama dan lainnya turut serta dalam pembahasan tersebut. Taufik menjelaskan evaluasi komprehensif dibutuhkan mengingat reformasi telah berjalan sejak 27 tahun yang lalu.
Ia menjelaskan, UUD 1945 telah mengalami amandemen pad 1999-2002. Perubahan konstitusi tersebut bersumber dari dorongan gerakan reformasi untuk negara yang lebih demokratis, menghargai penegakan HAM, bebas dari militerisme hingga memberantas KKN.
"Dari amanat reformasi itu kita bisa jadikan landasan untuk melihat apakah harapan tersebut sudah terwujud terkait konstitusi yang kita miliki," ujarnya.
Ia mengharapkan agar amandemen tidak dilakukan hanya demi keinginan elitis namun didasarkan pada keinginan dan harapan kuat dari rakyat. Untuk itu K3 MPR RI mencoba menghimpun pandangan masyarakat khususnya dari akademisi untuk evaluasi.
"Evaluasi komprehensif ini didasarkan wacana mengenai amandemen ke-5 UUD 1945. Bukan sekadar top down, tapi harus lihat apakah memang ada kebutuhan untuk perubahan konstitusi. Jika ada, dasarnya apa, harapan seperti apa," jelasnya.
Menurutnya dalam sejarah perumusan UUD 1945 menjelang proklamasi didasarkan pada momen konstitusional yakni keinginan merdeka dan lepas dari penjajahan. Begitu pula saat amandemen pada 1999-2002, momentum konstitusionalnya ialah gerakan reformasi 98.
"Jika ada wacana mengevaluasi konstitusi, maka apa yang jadi momentum konstitusionalnya. Kita bisa ciptakan momen konstitusionalnya dengan mengajak seluruh pihak untuk mengevaluasi, membumikan konstitusi ini," jelasnya.
Pihaknya akan melanjutkan diskusi ke beberapa kampus lain, mulai dari Unhas, UI, beberapa kampus di Bandung, dan lainnya. Dari hasil diskusi di Fisip UB, pemikiran yang muncul masih dinamis.
"Ada yang merasa kebutuhan untuk melakukan konstitusi, tapi ada juga berpendapat jawabannya lebih pada perbaikan UU, menjalankan pemerintahan, dan lainnya. Bisa saja hasil diskusi kesimpulannya bukan amandemen yang dibutuhkan tapi misalnya penguatan terhadap sistem ketatanegaraan," katanya.
Dekan Fisip UB, Ahmad Imron Rozuli menjelaskan posisinya yang menghendaki penguatan, alih-alih perubahan konstitusi. Terdapat 3 aspek yang harus diperhatikan yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis.
"Pada sisi ini kami masih bicara penguatan, isu perubahan jangan dulu. Paling pokok ya penguatan. Paling penting situasinya pada dinamika sosiologis. Masyarakat kita pada aspek yuridis, filosofis, dinamika yang kita baca bahwa konstitusi belum membumi. Masih terlihat ada jarak dengan masyarakat di lapisan manapun," katanya.
Untuk itu diharapkan ada gerakan simultan agar masyarakat paham konstitusi sebagai dasar dan landasan gerak dalam kehidupan sehari-hari.
"Kita tidak ada niat untuk mengubah dulu, tapi pemikiran terus digerakkan maka akan ada gerakan sosial yang bertumbuh. Terutama dimotori oleh akademisi dan masyarakat sehingga menimbulkan sumbangsih," pungkasnya.(*)