Memintal Pajak di Era Digital

24 Juli 2025 14:52 24 Jul 2025 14:52

Thumbnail Memintal Pajak di Era Digital
Oleh: Eko Hardianto*

Dunia digital telah menyentuh hampir semua aspek kehidupan. Termasuk di dalam tata kelola penerimaan negara. Karena itu, digitalisasi sistem perpajakan/non pajak, harus dilakukan. Sebab ini langkah strategis memperkuat fondasi fiskal nasional. Namun di tengah peluang cukup luas itu, masih terdapat tantangan besar. Yakni tuntutan kesiapan regulasi, sistem, hingga literasi tentang digital bagi masyarakat.

Penerimaan Indonesia, saat ini, masih bergantung pada sektor perpajakan. Catatan penulis, sekitar 70 persen lebih APBN ditopang perpajakan. Selanjutnya demi keberlangsungan fiskal dan optimalisasi penerimaan, maka digitalisasi menjadi kunci penting.

Kini sistem seperti e-Filing, e-Billing, e-Faktur, dan pengembangan Core Tax Administration System, telah berjalan di Direktorat Jenderal Pajak. Namun, kendala utama datang justru dari perkembangan ekonomi digital. Entitas ini tidak sepenuhnya terjangkau sistem perpajakan.

Persoalan itu tak hanya dihadapi Indonesia. Beberapa negara maju seperti Inggris, dan Kanada, menghadapi persoalan serupa. Yakni kesulitan memajaki perusahaan digital global. Alasan utama karena perusahaan ini tidak memiliki kehadiran fisik di dalam negeri. Padahal memperoleh keuntungan besar dari konsumsi domestik.

Di Inggris, kebijakan pajak sebesar dua persen terhadap pendapat Google, dan Facebook, memicu perdebatan internasional. Digital Services Tax (DST) Inggris, terhadap platform medsos itu dianggap problematik. Yakni memicu pajak berganda sekaligus konflik dagang antar negara.

Karena DST tersebut, beberapa perusahaan bahkan meneruskan beban pajak kepada konsumen. Ketidakpuasan publik dan diskusi alot kemudian menggelinding di forum global. Dalam merespons dinamika ini, Inggris, akhirnya aktif mendukung konsensus pajak internasional. Hal itu diejawantahkan dalam kerangka OECD/G20. Kesepakatan global ini melahirkan minimum tax serta pembagian hak pemajakan yang lebih adil.

Situasi ini relevan dengan tantangan dihadapi Indonesia. Pengenaan PPN atas perdagangan sistem elektronik terhadap penyedia layanan digital luar negeri, masih bergantung kapasitas sistem pengawasan dan kepatuhan.

Selain itu, pelaku usaha digital dalam negeri, juga belum seluruhnya terintegrasi di sistem perpajakan formal. Padahal, sektor ini berkembang pesat. Bahkan berpotensi signifikan terhadap penerimaan negara. Jika tidak segera diantisipasi, celah ini bisa menimbulkan ketimpangan. Perlakuan perpajakan antara pelaku usaha konvensional, dan digital, tidak bisa adil.

Penting bagi Indonesia, tidak hanya fokus pada penarikan pajak. Tetapi juga membangun kesadaran dan insentif bagi para pelaku ekonomi digital. Ini dilakukan agar mereka secara sukarela masuk ke dalam sistem. Digitalisasi seharusnya menjadi alat bantu menjadikan kepatuhan lebih mudah. Bukan sebaliknya. 

Oleh karena itu, strategi seperti pelatihan, penyederhanaan pelaporan, dan integrasi sistem perlu dikedepankan. Di sinilah peran teknologi dan analitik data besar bisa dimanfaatkan. Selain untuk mendeteksi potensi pelanggaran secara dini, juga memberi pengalaman pelayanan lebih cepat dan efisien bagi wajib pajak.

Pelajaran penting juga datang dari Estonia. Negara kecil di Eropa Timur ini, dikenal sebagai pelopor pemerintahan digital. Termasuk dalam hal perpajakan. Estonia, telah menerapkan sistem pelaporan pajak secara real-time. Sistem itu terhubung melalui infrastruktur data nasional, bernama X-Road.

Semua transaksi antara perusahaan, lembaga keuangan, dan otoritas pajak tercatat otomatis. Sistem tersebut juga dianggap aman dan transparan. Namun, Estonia, pernah menghadapi serangan siber besar pada tahun 2007. Kondisi itu hampir melumpuhkan sistem digital nasional.

Dari pengalaman tersebut, mereka membentuk NATO Cyber Defence Centre. Mereka juga menciptakan sistem proteksi data tingkat tinggi. Termasuk melalui konsep data embassies. Yaitu pusat data cadangan ditempatkan secara geografis di negara mitra. Indonesia, dapat mengambil pelajaran dari situasi ini. Bahwa sistem perpajakan digital yang kuat, tidak cukup hanya cepat dan canggih. Tetapi juga harus tahan terhadap ancaman keamanan informasi.

Langkah strategis lain perlu ditempuh adalah integrasi data lintas lembaga. Selama ini, informasi mengenai transaksi keuangan, data usaha, dan kepemilikan aset masih tersebar di berbagai instansi. Mulai perbankan, Kementerian Keuangan, hingga penyedia layanan digital. Padahal, dengan sistem berbagi data dengan perlindungan privasi tingkat tinggi, potensi penerimaan bisa dimaksimalkan. Di samping itu, penting juga Indonesia, terus aktif dalam forum internasional. Hal ini untuk memonitor kebijakan pajak digital dan menghindari sengketa perpajakan lintas batas.

Dalam konteks literasi publik, digitalisasi perpajakan akan berhasil jika dibarengi kesadaran masyarakat. Negara-negara seperti Australia, dan Selandia Baru, membuktikan kepatuhan pajak dicapai melalui transparansi penggunaan dana pajak dan layanan yang mudah. Mereka menyediakan platform interaktif bagi wajib pajak. Sehingga mereka tahu kontribusinya secara real-time terhadap pembangunan. 

Layanan konsultasi perpajakan berbasis kecerdasan buatan juga dipakai. Indonesia, dapat mengadopsi pendekatan ini. Sediakan dashboard perpajakan berbasis seluler, dan layanan digital yang responsif dan terjangkau.

Penerimaan negara di era digital, ditentukan kemampuan pemerintah dalam menyeimbangkan tiga aspek utama. Yakni teknologi, regulasi, dan kepercayaan publik. Infrastruktur teknologi yang tepat, menjadikan digitalisasi sebagai formula dari sistem perpajakan yang efisien, inklusif, dan berkelanjutan. Tak hanya itu setiap kemajuan teknologi juga harus dibarengi regulasi yang adaptif. 

Digitalisasi bukan tujuan akhir. Melainkan alat membangun sistem fiskal lebih kokoh, transparan, dan berdaulat. Masa depan penerimaan Indonesia, di era digital ditentukan langkah hari ini. Kita tidak boleh hanya menjadi pengikut dari praktik global. Tetapi bisa membangun model perpajakan digital sesuai karakter ekonomi, sosial, dan budaya bangsa. Dengan begitu, cita-cita Indonesia Emas 2045, dapat ditopang sistem penerimaan negara yang kuat dan berkeadilan. Salam. (*)

*) Eko Hardianto, adalah jurnalis ketik.com betugas di Probolinggo Raya.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

Pajak DJP Eko Hardianto pajak digital E filing E-Faktur