Saat Investasi Diintervensi, Jatim Terancam Rugi

5 Desember 2025 12:53 5 Des 2025 12:53

Thumbnail Saat Investasi Diintervensi, Jatim Terancam Rugi
Eko Hardianto

Kini Pemprov Jawa Timur tengah memperkuat citra sebagai pusat investasi industri dan maritim. Tapi sayang, belakangan muncul ironi mengkhawatirkan.

Sejumlah perusahaan, dilaporkan menghadapi berbagai tekanan. Seorang kawan penulis mengatakan, tekanan ini datang dari oknum lembaga, maupun individu, yang bertindak di luar kewenangan hukum formal.

Model tekanannya beragam. Mulai bentuk aksi unjuk rasa, pemerasan, hingga intimidasi. Semua dihadapi manajemen perusahaan. Dampaknya bukan hanya mencoreng kredibilitas daerah. Tetapi juga menciptakan iklim investasi tidak sehat dan berisiko tinggi.

Contoh nyata bisa dilihat pada PT Delta Artha Bahari Nusantara (DABN). Sebuah badan usaha pelabuhan (BUP) milik daerah beroperasi di Kabupaten Gresik dan Kota Probolinggo. Perusahaan ini dilaporkan mengalami gangguan operasional. Diduga akibat tekanan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan individu. 

Oknumnya mengklaim membawa aspirasi warga. Tetapi sayang, tindakan mereka justru kontraproduktif. Modus digunakan tidak hanya berupa pelaporan berantai ke instansi vertikal, melainkan juga tuntutan tidak rasional bernuansa pemaksaan kehendak. 

Kasus lainnya menimpa PT Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER). Pada April 2025, tiga pelaku diamankan aparat karena terbukti melakukan pemerasan terhadap pelaksana proyek instalasi pipa gas di kawasan industri tersebut. Mereka meminta uang keamanan senilai jutaan rupiah. 

Para pelaku, mengaku sebagai pengacara dan tokoh masyarakat itu, juga terbukti melakukan intimidasi kepada perusahaan. Kemudian menghambat proses pengerjaan proyek di kawasan yang menjadi rumah bagi lebih dari 400 perusahaan penanaman modal asing (PMA) itu.

Fenomena ini tentu mencemaskan. Meski regulasi sudah jelas, masih saja muncul kelompok-kelompok yang mencari celah. Mereka mengintervensi proses bisnis melalui cara-cara informal. Jika terus dibiarkan, bisa jadi pelaku usaha mengalihkan investasi mereka ke daerah lain. Daerah yang lebih kondusif, bahkan ke luar negeri.

Lebih jauh, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Timur, mengungkapkan, setidaknya terdapat belasan perusahaan di wilayah ring 1 industri seperti Gresik, Pasuruan, dan Sidoarjo, dalam dua tahun terakhir menghadapi tekanan serupa. Tekanan ini tidak datang dari serikat pekerja resmi. Tetapi dari lembaga-lembaga non-formal. 

Mereka kerap menggunakan narasi aspirasi rakyat sebagai kedok. Lalu mendekati manajemen perusahaan. Targetnya bisa berupa 'jatah proyek', sampai tuntutan pengangkatan pegawai titipan. Tak cuma itu, mereka juga menuntut CSR berbentuk uang tunai, namun tidak pernah dipertanggungjawabkan.

Sayangnya, tidak semua kepala daerah atau aparat penegak hukum serius memperhatikan gejala ini. Ada yang memilih kompromi politik. Ada pula yang membiarkannya berjalan, asal tidak menimbulkan kegaduhan. Padahal, pembiaran praktik ini sama artinya meruntuhkan fondasi iklim investasi yang sehat. Terlebih, Jawa Timur, adalah provinsi dengan kontribusi PDRB industri terbesar kedua setelah Jawa Barat.

Kondisi ini semakin kompleks ketika media sosial menjadi alat tekanan tambahan. Sebuah unggahan naratif yang didramatisasi bisa memunculkan persepsi negatif terhadap perusahaan. Bahkan ketika perusahaan tersebut telah memenuhi semua kewajiban formalnya. Upaya klarifikasi dari perusahaan pun tidak selalu mendapat ruang yang adil. Karena opini publik sudah lebih dulu dibentuk melalui framing yang tidak netral.

Dalam kasus DABN misalnya. Sempat muncul narasi, perusahaan tidak melibatkan warga dalam kegiatan operasionalnya. Atau tidak menyalurkan CSR. Padahal, laporan keuangan dan audit internal membuktikan program CSR dilaksanakan sesuai ketentuan. Namun demikian, narasi tersebut tetap menjadi alat tekanan. Memaksa pihak manajemen tunduk pada tuntutan di luar mekanisme hukum yang sah.

Kondisi ini menciptakan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) yang merugikan dunia usaha. Investor menginginkan kepastian baik dari sisi regulasi, perizinan, maupun stabilitas sosial. Bukan tarik-menarik kepentingan lokal yang dibungkus atribut legal semu. Jika kondisi tidak ditindak tegas, bukan tidak mungkin provinsi dikenal ‘motor industri’ ini, justru menjadi contoh buruk tata kelola investasi.

Dalam perspektif ekonomi politik, tekanan seperti ini adalah kegagalan daerah dalam memagari dunia investasi dari intervensi informal. Ketika lembaga swadaya masyarakat atau ormas memiliki akses lebih cepat mempengaruhi pejabat publik dibanding investor, maka terjadi asimetri kekuasaan yang sangat berbahaya. Terlebih jika akses itu digunakan untuk tujuan pragmatis. Mengeruk keuntungan pribadi atas nama kepentingan umum.

Untuk menjawab tantangan ini, perlu pendekatan holistik melibatkan tiga aktor utama. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan dunia usaha itu sendiri. Pemerintah daerah harus berani menertibkan lembaga menyalahgunakan kebebasan sipil untuk kepentingan pemerasan. 

Aparat hukum juga harus bertindak netral dan cepat merespons laporan pemerasan, intimidasi, dan upaya penggagalan operasional perusahaan tanpa dasar hukum. Sementara dunia usaha harus lebih aktif membangun komunikasi publik. Hal ini penting agar tidak kalah dalam pertarungan opini di media sosial maupun ruang digital.

Harus diakui, tidak semua gerakan masyarakat sipil bersifat negatif. Banyak juga LSM dan ormas murni memperjuangkan keadilan. Memperjuangkan lingkungan, dan hak buruh. Atau memperjuangkan transparansi publik secara benar.

Tetapi ketika semangat itu dibajak individu atau kelompok yang menjadikan tekanan sebagai komoditas politik atau bisnis, maka harus ada garis tegas antara antara advokasi dan premanisme. Garis itulah yang kini tampaknya semakin kabur di beberapa wilayah industri Jawa Timur.

Penting pula menegaskan peran media dalam membingkai realitas ini secara adil. Alih-alih memperkeruh suasana dengan narasi konflik. Media harus mengambil peran strategis sebagai penghubung antara perusahaan, masyarakat, dan negara. Memberikan ruang klarifikasi yang seimbang.

Menampilkan data yang faktual. Mengedepankan etika jurnalistik akan membantu masyarakat melihat mana tuntutan yang sah, dan mana bentuk tekanan ilegal.

Jawa Timur, tidak kekurangan potensi untuk menjadi kawasan industri dan investasi unggulan. Baik skala nasional, bahkan Asia Tenggara. Infrastruktur sudah mendukung, sumber daya manusia terus bertumbuh.

Lebih jauh lagi insentif fiskal juga telah disiapkan. Namun semua itu sia-sia jika pelaku usaha terus dibayangi risiko sosial-politik yang tidak bisa diprediksi. Para investor tidak hanya menghitung modal dan profit. Tetapi juga stabilitas, perlindungan hukum, dan kredibilitas birokrasi.

Sudah saatnya Pemprov Jawa Timur, bersama Forkopimda, mengambil langkah nyata dan tegas. Perlu audit sosial terhadap lembaga-lembaga yang melakukan aksi langsung ke perusahaan tanpa dasar hukum.

Perlu aturan yang membatasi pengaruh pihak luar terhadap operasional perusahaan. Dan yang paling penting, harus ada jaminan, investasi yang legal, berizin, dan berpihak pada kemajuan daerah, tidak dipermainkan pihak-pihak yang hanya mengejar keuntungan sesaat.

Jika tidak, bukan hanya investor yang akan hengkang. Lapangan kerja akan menyusut. Pendapatan daerah menurun. Dan masyarakatlah yang akhirnya menjadi korban sistem yang membiarkan ketidakpastian tumbuh subur. Dan ketika itu terjadi, Jawa Timur, akan kehilangan lebih dari sekadar angka investasi tetapi juga kepercayaan dunia usaha.

Referensi:

JPNN Jatim. (2024). Investasi di Jatim Terganggu karena Aksi Premanisme. https://jatim.jpnn.com

Laporan Internal DABN Gresik (2024)

Data Apindo Jawa Timur (2023)

 

Opini oleh : Eko Hardianto (Wakil Ketua PWI Probolinggo Raya dan wartawan Ketik.com di Probolinggo Raya)

Tombol Google News

Tags:

DABN Ormas Lsm