Kerapuhan Mental Generasi Digital

Mengurai Krisis Ketahanan Jiwa di Balik Gempuran Teknologi dan Tekanan Akademik

2 Desember 2025 13:28 2 Des 2025 13:28

Thumbnail Kerapuhan Mental Generasi Digital
Oleh: Kiki Fibrianto*

Munculnya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa telah memantik diskusi publik yang sering kali berujung pada kesimpulan yang menyederhanakan persoalan: tugas akhir terlalu berat, kampus tidak peduli, atau dosen pembimbing terlalu menekan. 

Narasi semacam ini tampak logis di permukaan, namun sesungguhnya menutup persoalan yang jauh lebih mendasar—yaitu kerapuhan mental generasi digital. Krisis ini bukan muncul tiba-tiba ketika mahasiswa mengerjakan tugas akhir; ia adalah akumulasi panjang dari ketidaksiapan mental yang terbentuk jauh sebelum mahasiswa memasuki dunia akademik perguruan tinggi.

Salah satu miskonsepsi terbesar adalah menganggap perguruan tinggi sebagai institusi yang bertanggung jawab penuh atas pembentukan ketahanan mental seseorang. Padahal, kampus bukanlah ruang pertama dan utama dalam pendidikan karakter, disiplin, dan daya lenting emosi.

Fondasi ketangguhan mental dibangun sejak masa kanak-kanak di lingkungan keluarga, kemudian diperkukuh oleh sistem pendidikan dasar dan menengah. Jika fondasi itu rapuh, perguruan tinggi tidak dapat—dan tidak seharusnya—dipaksa memikul seluruh beban kesalahan ketika terjadi krisis.

Di tengah arus digital yang serba cepat, muncul pula fenomena yang semakin memperburuk situasi: orang tua semakin menjauh dari tanggung jawab pendidikannya sendiri. Banyak orang tua yang enggan menegur, melatih disiplin, atau mengajarkan ketahanan mental kepada anak—takut dicap “otoriter” atau “tidak modern”.

Sementara itu, ketika anak atau mahasiswa menghadapi masalah perilaku maupun tekanan mental, sebagian orang tua justru cepat mengalihkan kesalahan kepada guru dan dosen.

Sikap ini menciptakan relasi yang tidak proporsional antara orang tua dan anak, di mana anak tumbuh dengan rasa berhak yang tinggi namun daya tahan rendah; siap menuntut, tetapi tidak siap menghadapi konsekuensi.

Di sisi akademik, dosen pembimbing sering menjadi kambing hitam yang paling mudah. Tuduhan keras seperti “tidak empati”, “perfeksionis”, atau “menekan” sering kali dilontarkan tanpa memahami kenyataan beban kerja akademik yang amat kompleks.

Banyak dosen bekerja melampaui jam kerjanya—membalas pesan tengah malam, menyediakan waktu konsultasi di sela kesibukan, bahkan tetap membimbing mahasiswa ketika sedang terbebani kewajiban administratif, penelitian, dan publikasi.

Menyalahkan dosen tidak hanya tidak adil, tetapi juga menutup akar persoalan sebenarnya: kerapuhan ketahanan mental yang tidak dibangun sejak awal kehidupan seseorang.

Dalam konteks global, fenomena ini harus dilihat dari lensa Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 3: Good Health and Well-being, yang menempatkan kesehatan mental sebagai bagian integral dari kesejahteraan manusia.

Penanganan krisis ini membutuhkan strategi holistik dan lintas sektor, bukan sekadar solusi tambal sulam di tingkat perguruan tinggi. Beberapa langkah penting yang wajib diprioritaskan antara lain:

Pendidikan karakter sejak dini, dengan pola asuh yang konsisten, hangat, dan tegas—menggabungkan empati dengan batasan yang jelas.

Penguatan literasi kesehatan mental di sekolah dasar dan menengah, termasuk kemampuan mengelola emosi, stres, frustasi, serta keterampilan penyelesaian masalah. 

Ekosistem perguruan tinggi yang suportif, bukan sekadar menyediakan layanan konseling, tetapi juga program pengembangan ketahanan mental yang bersifat preventif dan berkelanjutan.

Keterlibatan orang tua yang aktif dan bertanggung jawab, bukan hanya hadir saat anak berprestasi namun juga saat anak menghadapi kesulitan.

Ketahanan digital, yang mencakup pengelolaan paparan gawai, literasi media sosial, dan kemampuan menghadapi tekanan serta perbandingan sosial yang dipicu oleh algoritma digital.

Jika akar persoalan ini tidak diurai dengan jujur, kita akan terus terjebak dalam siklus salah menyalahkan: antara mahasiswa dan kampus, antara orang tua dan institusi pendidikan, antara teknologi dan manusia. Padahal, bunuh diri bukanlah kegagalan tugas akhir—ini adalah kegagalan ekosistem. 

Kegagalan keluarga dalam membangun karakter, kegagalan sekolah dalam menumbuhkan ketangguhan, kegagalan masyarakat dalam menciptakan ruang digital yang sehat, dan kegagalan kolektif kita dalam memprioritaskan kesehatan mental sejak dini.

Generasi digital memiliki kecerdasan, kreativitas, dan akses informasi yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Namun tanpa ketahanan mental yang kokoh, potensi itu dapat runtuh oleh tekanan kecil sekalipun.

Kini saatnya keluarga, sekolah, kampus, dan negara bergerak serempak memperbaiki sistem yang rapuh ini—agar generasi digital tidak hanya menjadi generasi yang cerdas, tetapi juga generasi yang tangguh secara mental dan emosional.

*) Prof Kiki Fibrianto, PhD merupakan Pakar Ilmu Sensori Pangan, Pemerhati Kesehatan dan Kesejahteraan Mental Universitas Brawijaya

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Kiki Fibrianto kesehatan mental