KETIK, PALEMBANG – Enam nelayan asal Bangka akhirnya harus menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Palembang dalam perkara penggunaan alat tangkap terlarang jenis pukat harimau (trawl). Sidang digelar Rabu 29 Oktober 2025 dengan menghadirkan enam saksi dari Direktorat Polairud Polda Sumsel.
Para terdakwa masing-masing Indra Toni, Andika, serta tiga rekannya dengan berkas terpisah yakni Riko, Baharuddin, dan Dion, mengikuti sidang secara daring melalui Zoom dari Rutan Pakjo Palembang. Sidang dipimpin Majelis Hakim Oloan Exodus, dihadiri Jaksa Penuntut Umum (JPU) Siti Fatimah.
Saksi dari Polairud, Erwin, menjelaskan bahwa penangkapan berawal dari informasi masyarakat mengenai aktivitas nelayan yang menggunakan jaring trawl di perairan Sembilang, Kabupaten Banyuasin.
“Kami berangkat patroli pada tanggal 21, dan pada 23 baru berhasil menangkap kapal yang diduga menggunakan pukat harimau di wilayah Sembilang. Dari kejauhan tampak asap hitam dari kapal karena sedang menarik ikan,” ungkap saksi di hadapan majelis hakim.
Petugas kemudian memeriksa surat izin kapal, namun para nelayan tidak dapat menunjukkan dokumen resmi, dan diketahui kapal berasal dari Bangka.
“Padahal mereka sudah kami sosialisasikan bahwa penggunaan jaring trawl dilarang karena merusak habitat laut dan terumbu karang,” tambah Erwin.
Saksi juga menerangkan, hasil tangkapan nelayan berupa berbagai jenis ikan, udang, dan hewan laut lainnya telah disita dan dititipkan di tempat pelelangan Jakabaring untuk kemudian dilelang agar tidak membusuk.
Menariknya, menurut saksi, hasil tangkapan tersebut biasanya disetorkan kepada seorang bos bernama Ujang, yang kini berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO).
“Mereka biasa menyetor hasil tangkapan ke bos Ujang. Kapal kecil di bawah 5 gross ton tidak kami ganggu, tapi dua kapal besar ini Citra dan DND jelas menggunakan trawl,” jelasnya.
Dalam persidangan, penasihat hukum terdakwa sempat menanyakan mengapa kapal lain di wilayah Sembilang yang juga menggunakan jaring trawl tidak ditangkap.
Saksi menjawab bahwa Polairud hanya memiliki dua armada patroli, dan tindakan dilakukan berdasarkan pengaduan masyarakat.
“Kalau kami patroli, mereka sering memotong jaring trawl di tempat agar tidak disita. Yang kami tangkap ini berdasarkan laporan masyarakat dan saat proses patroli gabungan,” ujar saksi.
Keenam terdakwa mengakui keterangan saksi Polairud terkait kronologi penangkapan tersebut. Sidang akan dilanjutkan Jumat pagi (31/10/2025) dengan agenda mendengarkan saksi a de charge dari pihak terdakwa Indra Toni dan Andika.
Para terdakwa dijerat dengan Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 85 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009,
dengan ancaman pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1,2 miliar.
Dua kapal yang digunakan, KM Citra dan KM DND, kini disita sebagai barang bukti oleh pihak berwenang.(*)
