Di warung kopi kecil di Probolinggo, Mas Didik, teman penulis menghela nafas panjang. Dia seorang kontraktor. Sambil bercerita ia sesekali mencecap kopi panas di depannya. “Kalau tidak setor, jangan harap dapat proyek. Mau proyek PL atau pokok-pokok pikiran (pokir), sama saja. Semua ada yang atur.”
Kalimat yang disampaikan terdengar pahit, tapi begitulah kenyataannya. Proyek penunjukan langsung atau PL, yang mestinya solusi percepatan pembangunan, berubah menjadi lahan bancakan.
Skemanya sederhana. Proyek dipecah menjadi paket kecil agar bisa lolos dari mekanisme lelang. Nilainya sering di bawah Rp 200 juta. Terlihat remeh memang. Tapi jumlahnya ratusan. Totalnya bisa mencapai miliaran rupiah.
Di atas kertas, mekanisme PL diciptakan untuk efisiensi agar pembangunan cepat, tapi di banyak daerah, aturan ini justru dimanfaatkan para pendekar politik untuk meraup keuntungan. Dan bukan rahasia lagi, sebagian anggota DPRD ikut bermain. Mereka bukan hanya mengawasi jalannya proyek. Melainkan ikut menekan, mengatur, bahkan memaksa. Fenomena ini terbukti nyata lewat sejumlah kasus terungkap.
Kompas.com, 16 Maret 2025, misalnya menurunkan berita dengan judul “KPK Sebut 3 Anggota DPRD OKU Tagih ‘Fee’ Proyek Jelang Lebaran”. Isinya mengejutkan. Tiga anggota DPRD Ogan Komering Ulu, yakni Ferlan Juliansyah, M. Fahrudin, dan Umi Hartati, disebut menekan Kepala Dinas PUPR Nopriansyah. Mereka meminta jatah proyek. Bahkan mematok angka 20 persen dari sembilan paket pekerjaan senilai total Rp 35 miliar.
Fee itu ditagih mendekati Lebaran. Tak tanggung-tanggung, uang muka sebesar Rp 2,6 miliar sudah disiapkan. Kasus ini ditangani langsung KPK. Fakta yang terungkap menunjukkan praktik kotor itu bukan rumor, tapi kenyataan. DPRD yang seharusnya mengawasi, justru menjadi makelar proyek.
Jika kasus OKU menunjukkan keberanian tiga orang menekan dinas, di Jawa Timur skalanya jauh lebih besar. Detik.com pada 20 Februari 2025 menulis dengan gamblang. “KPK Ungkap Modus Potong Dana Pokir DPRD Jatim yang Bikin 21 Orang Tersangka”. Caranya sistematis. Dana aspirasi sengaja dipecah. Nilainya dipastikan kecil, di bawah Rp200 juta.
Dengan begitu, proyek bisa masuk skema PL. Tak perlu lelang. Setelah cair, kontraktor wajib menyetor fee. Lagi-lagi, angkanya 20 persen. Bayangkan, total pokir yang diajukan dalam empat tahun mencapai Rp 1–2 triliun. Potongan 20 persen dari angka sebesar itu bukan lagi hitungan kecil. Inilah ladang emas. Ladang yang lahir dari sistem gelap pokir. Lalu dipanen mereka yang seharusnya duduk mengawasi, bukan pengatur proyek.
Kejaksaan Tinggi NTB juga membidik kasus serupa. Detik.com, 18 September 2025, melaporkan “Jaksa Panggil 2 Anggota DPRD NTB Terkait Dugaan Korupsi Pokir”. Nama yang dipanggil, Hamdan Kasim, dan Indra Jaya Usman. Keduanya anggota DPRD NTB dari komisi berbeda. Beberapa hari berselang, pengakuan lain mencuat.
Abdul Rahim, mantan anggota DPRD NTB, terang-terangan menyebut adanya “uang siluman” di tubuh dewan (Detik, 24 September 2025). Uang siluman itu muncul dalam bentuk setoran proyek dan permainan pokir. Kata-kata Rahim menguatkan dugaan publik bahwa praktik bancakan proyek bukan lagi kasus individual. Ia sistematis.
Dari OKU, Jatim, hingga NTB, polanya sama. Anggota DPRD menekan dinas. Dinas tidak berdaya. Kontraktor ikut permainan. Fee dipatok. Rakyat jadi penonton. Bayangkan sebuah proyek pembangunan sekolah senilai Rp 200 juta. Kontraktor harus menyetor Rp 40 juta. Uang yang tersisa Rp 160 juta. Masih harus dipotong pajak dan biaya operasional.
Apa yang terjadi? Mutu ditekan habis-habisan. Genteng diganti kualitas rendah. Dinding dibiarkan tipis. Akibatnya? Setahun dua tahun, bangunan sudah retak. Bocor. Ambruk. Semua pihak pura-pura tak tahu.
Dewan merasa sudah dapat setoran. Dinas lega karena proyek selesai di atas kertas. Kontraktor cari selamat agar tidak merugi. Yang benar-benar jadi korban adalah rakyat. Anak-anak yang belajar di ruang kelas rusak. Warga desa yang melewati jalan cepat hancur.
Fenomena ini bukan sekadar perilaku oknum. Ini soal sistem. PL memang punya celah. Pokir membuka jalan. Hibah bansos pun bisa jadi lahan. Semua ruang abu-abu dalam pengelolaan APBD menjadi pintu masuk praktik rente. Di sisi lain, kontrol masih lemah. Inspektorat daerah sering tidak independen.
DPRD justru ikut bermain, bukan mengawasi. Laporan masyarakat jarang ditindaklanjuti. Media lokal kadang takut bersuara karena tekanan iklan atau kedekatan politik. Akibatnya, publik hanya bisa mendengar cerita di warung kopi. “Si A dapat paket, si B setor sekian persen.” Obrolan yang seolah biasa. Padahal mencerminkan praktik busuk.
Mengapa praktik ini terus terjadi? Ada dua sebab utama. Pertama, budaya politik transaksional. Anggota DPRD merasa punya jatah proyek karena ikut membahas anggaran. Padahal, tugas mereka hanya menyusun, bukan membagi. Kedua, hukum yang tidak menimbulkan efek jera.
Banyak kasus selesai dengan vonis ringan. Padahal kerugian rakyat luar biasa. Kasus demi kasus memang terungkap. Tapi ibarat memotong ranting. Batang pohon masih berdiri. Akar tetap kuat. Sistem PL dan pokir yang tidak transparan tetap menjadi ladang.
Opini publik jelas muak. Tapi praktik jalan terus. Jalan keluarnya tidak cukup hanya dengan penindakan. Harus ada perubahan sistem. Batasi jumlah proyek PL. Jangan lagi ada pemecahan paket dengan alasan formalitas. Buka semua data secara daring. Siapa pengusul, nilai proyek, kontraktor pelaksana. Publik berhak tahu.
Perkuat peran inspektorat dan auditor independen. Jangan biarkan hanya jadi stempel formal. Lebih dari itu, mental anggota dewan harus diubah. Duduk di kursi DPRD bukan berarti punya hak atas jatah proyek. Mereka digaji untuk mengawasi, bukan menguasai.
Media juga memegang peran penting. Kompas, Detik, dan media lain sudah berani membuka kasus. Tapi liputan harus terus dilanjutkan. Media lokal jangan takut. Pers adalah benteng terakhir ketika lembaga formal melemah.
Masyarakat pun perlu ikut bergerak. Jangan hanya mengeluh di warung kopi. Laporkan jika melihat proyek abal-abal. Dorong transparansi. Bersuara di ruang publik. Karena diam berarti ikut merelakan uang rakyat dijadikan bancakan.
Kisah PL yang jadi bancakan adalah kisah lama. Tapi hingga hari ini masih terus terjadi. Dari OKU, Jatim, NTB, hingga banyak daerah lain yang belum terungkap. Polanya sama. Anggota DPRD masuk terlalu jauh. Dinas tertekan. Kontraktor bermain setoran. Rakyat jadi korban. Kalau pola ini tidak dihentikan, jangan harap pembangunan berkualitas hadir.
Uang pajak hanya jadi komoditas politik. Infrastruktur hanya jadi angka di laporan. Dan rakyat terus menunggu perubahan yang tak kunjung datang. Maka opini ini perlu ditegaskan, DPRD tak boleh lagi main proyek. Kalau mereka masih terus menjadi makelar, maka mereka bukan lagi wakil rakyat. Mereka hanyalah wakil kontraktor. Dan itu pengkhianatan terbesar terhadap kepercayaan rakyat. Salam.
*) Eko Hardianto merupakan jurnalis Ketik Biro Probolinggo
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)