KETIK, SURABAYA – Apa jadinya jika otak manusia bisa dibaca secara real-time dan hasilnya digunakan untuk membantu kesehatan, meningkatkan kualitas tidur, bahkan menilai reaksi konsumen terhadap sebuah iklan?
Inilah visi besar yang dibawa Prof. Dr. Ir. Adhi Dharma Wibawa, S.T., M.T., profesor pertama dari Fakultas Kedokteran dan Kesehatan (FKK) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk Pemanfaatan Sinyal Otak untuk Menunjang Inovasi Neuroteknologi bagi Kemajuan Bangsa, Adhi memaparkan cara otak dengan 170 miliar selnya menghasilkan sinyal listrik yang bisa ditangkap dengan teknologi electroencephalogram (EEG). Sinyal inilah yang kemudian diolah menjadi data berharga.
“Setiap gelombang yang kita tangkap bisa memberi petunjuk apakah otak sedang stres, lelah, atau normal. Ini bisa jadi terobosan besar di dunia medis,” ujar Adhi, yang juga Wakil Dekan FKK ITS.
Yang membuat riset ini istimewa, Adhi tidak hanya berhenti pada teori. Ia mengembangkan metode ekstraksi fitur multilevel yang menggabungkan analisis domain waktu (mean), domain frekuensi (power spectral density), hingga tingkat kompleksitas sinyal (entropi).
Pendekatan ini memungkinkan interpretasi kondisi mental menjadi lebih akurat. Hasilnya dapat digunakan untuk deteksi dini epilepsi sehingga pasien bisa mendapat penanganan lebih cepat.
Selain itu juga pemantauan kualitas tidur yang bisa membantu penderita insomnia atau gangguan tidur lainnya.
Maka dari itu Rehabilitasi pasien stroke, dengan memantau respons otak saat latihan pemulihan.
“Tujuan kami adalah menghadirkan solusi praktis, bukan hanya publikasi. Riset ini harus kembali ke masyarakat,” tegas Adhi.
Menariknya, aplikasi pengolahan sinyal otak tak hanya untuk kesehatan. Adhi mengungkapkan potensi besar di bidang neuromarketing.
Gelombang otak konsumen bisa menjadi data untuk menilai apakah iklan, desain produk, atau pengalaman pengguna benar-benar menarik atau justru membosankan. Dengan kata lain, perusahaan bisa tahu apa yang dipikirkan konsumen tanpa harus menunggu survei panjang.
Sebagai Ketua Tim Pendirian Program Studi Teknologi Kedokteran ITS, Adhi berharap riset ini bisa menjadi pionir neuroteknologi di Indonesia. Ia menekankan bahwa bidang ini sejalan dengan SDGs poin ke-3 (kehidupan sehat dan sejahtera) dan poin ke-9 (industri, inovasi, infrastruktur).
“Neuroteknologi bukan hanya soal kesehatan, tapi juga soal daya saing bangsa. Kita harus berani melangkah dari penelitian menuju produk nyata yang bisa dipakai masyarakat,” pungkasnya. (*)