Polemik Pajak Reklame SPBU di Surabaya, Ini Kata Legal Hiswana Migas

9 Agustus 2025 18:00 9 Agt 2025 18:00

Thumbnail Polemik Pajak Reklame SPBU di Surabaya, Ini Kata Legal Hiswana Migas
Legal Hiswana Migas DPC Surabaya, Ben Hadjon saat diwawancarai, Sabtu, 9 Agustus 2025. (Foto: Dokumen Pribadi)

KETIK, SURABAYA – Penetapan pajak reklame terhadap Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di Surabaya masih berpolemik. Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) menilai dasar penarikan pajak atas tampilan kanopi SPBU, khususnya yang berwarna merah sebagai sesuatu yang tidak objektif dan tidak proporsional serta tidak berdasar.

"Masalah ini berawal dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) pada tahun 2023 yang menghitung pajak reklame di SPBU Pertamina di Surabaya secara mundur hingga lima tahun ke belakang, yakni sejak 2019," ucap Legal Hiswana Migas DPC Surabaya, Ben Hadjon, Sabtu, 9 Agustus 2025.

Hiswana Migas telah mengajukan keberatan melalui surat sebanyak empat kali, namun dari empat surat keberatan tersebut hanya dua surat yang mendapat tanggapan dari Pemkot Surabaya yang pada pokoknya menolak keberatan dari Hiswana Migas dengan alasan merujuk pada Pasal 1 angka 39 Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2023.

“Norma yang menjadi rujukan ternyata bersifat abstrak dan tidak konkret. Hal ini memicu polemik karena setiap pihak bisa memiliki penafsiran berbeda,” ujar Ben Hadjon.

Ben Hadjon menyoroti penerapan pajak mundur sejak 2019, padahal Perda Nomor 7 Tahun 2023 baru berlaku pada tahun tersebut, yakni tahun 2023.

“Ini jelas melanggar asas larangan berlaku surut (Retrokatif). Bagaimana mungkin aturan yang baru keluar di 2023 diterapkan untuk menagih pajak sejak 2019,” tegasnya.

Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi B DPRD Kota Surabaya pekan lalu, Hiswana Migas menghadirkan ahli Dr. Titik Puji Rahayu, S.Sos, M.Kom, PhD, Kepala Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga. Ia menegaskan bahwa warna merah pada kanopi SPBU Pertamina bukan bagian dari logo komersial atau promosi.

“Warna merah melambangkan identitas negara, merah-putih, karena Pertamina adalah BUMN. Menafsirkan warna ini sebagai reklame adalah keliru,” ungkapnya. Pada bagian lainnya Ben Hadjon juga sependapat dengan pandangan ahli tersebut karena warna merah pada kanopi SPBU Pertamina bukan merupakan Corporate Colour Pertamina sehingga warna merah tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai reklame. Konsekwensinya warna merah pada kanopi SPBU Pertamina tidak dapat dijadikan dasar untuk perhitungan besarnya pajak reklame SPBU di Surabaya.

Hiswana Migas juga menyoal ketentuan dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 70 Tahun 2010 Pasal 9 Ayat 2, yang menyebutkan bahwa penghitungan reklame hanya berlaku pada logo, warna, gambar, dan tulisan paling luar yang membentuk bidang persegi panjang.

Pasal ini dimaksudkan untuk membatasi objek pajak reklame pada elemen visual terluar yang memiliki fungsi promosi.

Ben Hadjon kemudian mempertanyakan penghitungan pajak reklame pada sisi kanopi yang tidak terlihat atau diakses publik, seperti yang berdempetan dengan tembok.

“Di mana unsur promosinya, Ini adalah cacat secara substansi dan tidak obyektif,” tambahnya.

Ketentuan ini dikatakan Ben Hadjon, tidak berubah meskipun Perwali tersebut telah direvisi tiga kali. Di lapangan, terjadi tindakan  penyilangan logo Pertamina di beberapa SPBU, yang dinilai Hiswana Migas merugikan karena menciptakan persepsi negatif di mata publik.

“Penyilangan logo tanpa penjelasan bisa menimbulkan persepsi negatif di mata publik.  Masyarakat bisa berpikir bahwa SPBU melakukan pelanggaran atau kecurangan. Ini merugikan klien kami,” kata BenHadjon.

Polemik ini juga berkaitan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi dasar Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Surabaya menerbitkan SKPDKB ke 95 SPBU sejak 2019 sebagaimana yang disampaikan oleh perwakilan dari Bapenda Surabaya. Namun, hingga kini, dokumen resmi rekomendasi BPK belum pernah diperlihatkan dalam rapat resmi.

“Jika ini benar temuan BPK, seharusnya ada dokumen tertulis. Tapi kami belum pernah melihatnya,” ujar Ben Hadjon.

Hiswana Migas juga membandingkan penerapan aturan ini dengan daerah lain, seperti DKI Jakarta. Meskipun definisi reklame dalam Perda Nomor 1 Tahun 2024 DKI Jakarta sama persis dengan Perda Surabaya, penerapannya berbeda. “Hanya Surabaya yang menarik pajak dari warna kanopi SPBU. Ini soal penafsiran yang keliru,” kata sumber yang enggan ⁷disebutkan namanya.

Total nilai pajak kurang bayar yang ditagihkan kepada 95 SPBU mencapai sekitar Rp26,023 miliar. Hingga kini, belum ada SPBU yang memenuhi kewajiban pajak tersebut karena masih menunggu kepastian hukum. Hiswana Migas menyatakan bahwa pembahasan lanjutan masih menunggu jadwal dari Pimpinan Komisi B DPRD Kota Surabaya. (*)

Tombol Google News

Tags:

Pajak reklame Pom Bensin Pom Bensin SPBU di Surabaya Surabaya