Pemerintah Indonesia Harus Berterima Kasih pada Rakyat

1 September 2025 16:34 1 Sep 2025 16:34

Thumbnail Pemerintah Indonesia Harus Berterima Kasih pada Rakyat
Oleh: KH. Ahmad Ghozali Fadli*

Dalam hiruk-pikuk politik dan tata kelola pemerintahan, sering kali rakyat dipandang hanya sebagai objek pembangunan, bukan subjek utama yang menopang keberlangsungan sebuah negara. Pemerintah dengan segala institusi dan kewenangannya berdiri di atas dukungan rakyat, baik berupa legitimasi politik, partisipasi ekonomi, maupun ketaatan sosial. Oleh karena itu, sesungguhnya pemerintah Indonesia harus menyadari satu hal mendasar: ia berutang budi pada rakyatnya.

Rakyatlah yang membayar pajak, menggerakkan roda ekonomi, memilih wakil-wakil di parlemen, dan menaati hukum yang dibuat pemerintah. Tanpa rakyat, pemerintah hanyalah bangunan kosong tanpa isi. Maka, pemerintah Indonesia seharusnya menumbuhkan sikap berterima kasih /kepada rakyat bukan hanya dalam retorika, melainkan dalam kebijakan nyata yang berpihak kepada kesejahteraan mereka.

Rakyat Sebagai Pondasi Kekuasaan

Sejak zaman klasik, para pemikir politik menegaskan bahwa keadilan dan kekuasaan tak bisa dipisahkan dari rakyat. Ibnu Khaldun (1332–1406), dalam Muqaddimah-nya, menulis bahwa berdirinya sebuah negara tidak mungkin lepas dari keberadaan masyarakat yang menopangnya. Ia menyebut konsep ‘ashabiyyah—ikatan sosial dan solidaritas kelompok—sebagai fondasi terbentuknya negara dan kekuasaan. Tanpa ikatan itu, sebuah pemerintahan akan kehilangan daya dukung dan akhirnya runtuh.

Ibnu Khaldun menegaskan, penguasa yang lalai menjaga hubungan timbal balik dengan rakyat, apalagi yang menindas dan memeras mereka, sedang menggali lubang kehancurannya sendiri. Baginya, keadilan adalah tiang utama berdirinya peradaban, sedangkan ketidakadilan (dzulm) adalah faktor paling cepat menghancurkan sebuah negara.

Konsep ini selaras dengan pepatah yang berkembang di dunia Islam: al-‘adlu asas al-mulk—keadilan adalah fondasi kekuasaan. Seorang khalifah bisa kuat bukan karena kekerasan senjata semata, melainkan karena rakyat merasa aman, sejahtera, dan rela mendukungnya. Sebaliknya, jika pemerintah hanya menumpuk kekayaan, mengabaikan kebutuhan masyarakat, serta membebani rakyat dengan pajak yang mencekik, maka kekuasaan itu akan cepat rapuh.

Sejarah mencatat, ketika para pemimpin Muslim berterima kasih—dalam arti menghargai, melindungi, dan menyejahterakan rakyat—maka kejayaan pun tercapai. Umar bin Khattab ra, misalnya, dikenal tidak pernah merasa “lebih besar” daripada rakyatnya. Ia hidup sederhana, sering turun langsung memantau keadaan rakyat, bahkan memikul sendiri karung gandum untuk memberi makan keluarga miskin.

Sikap itu menunjukkan pengakuan bahwa pemerintah tidak bisa berdiri tanpa rakyat. Umar memahami pesan Nabi Muhammad ﷺ:

> "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian." (HR. Muslim).

Hadis ini menegaskan adanya hubungan timbal balik antara rakyat dan pemimpin. Jika pemimpin tidak memiliki rasa syukur—tidak menghargai jerih payah rakyat—maka yang muncul adalah kebencian, jarak sosial, bahkan potensi pemberontakan.

Di era Abbasiyah, sejarawan al-Mawardi (w. 1058 M) dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah juga menekankan pentingnya pemimpin menunaikan hak rakyat. Menurutnya, kekuasaan bukanlah hak mutlak penguasa, melainkan amanah untuk menegakkan keadilan. Jika amanah itu diabaikan, maka rakyat berhak menuntut, dan Allah akan mencabut keberkahan sebuah pemerintahan.

Kenyataan di Indonesia

Indonesia dengan lebih dari 270 juta penduduk adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Secara ekonomi, kontribusi rakyat terhadap negara sangat nyata. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak digerakkan oleh daya beli masyarakat daripada investasi asing.

Selain itu, rakyatlah yang membayar pajak. Tahun 2024, penerimaan pajak Indonesia mencapai lebih dari Rp1.900 triliun, atau sekitar 80% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Angka ini menunjukkan betapa besarnya sumbangan masyarakat—baik melalui pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, maupun bea cukai—bagi keberlangsungan negara. Tanpa pajak rakyat, pemerintah tidak akan mampu membiayai pembangunan, membayar gaji aparatur negara, atau menyelenggarakan layanan publik.

Dalam bidang politik, rakyatlah yang memberi legitimasi melalui pemilu. Presiden, DPR, DPRD, hingga kepala desa dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain, seluruh struktur pemerintahan berdiri di atas kehendak rakyat. Maka, ketika pemerintah melupakan jasa rakyat, atau bahkan menindas dengan kebijakan yang memberatkan, sesungguhnya ia sedang menentang dasar keberadaannya sendiri.

Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa pemerintah yang tidak bersyukur—dalam arti tidak menghargai rakyat—akan terjebak pada siklus kehancuran. Ia menulis, setiap dinasti biasanya melewati tahap kemegahan, lalu kemewahan, kemudian kelemahan, hingga akhirnya runtuh. Salah satu faktor paling berbahaya dalam siklus itu adalah ketika penguasa terlalu banyak mengambil dari rakyat tanpa memberi kembali.

Pemerintah yang tidak punya rasa terima kasih pada rakyat akan menganggap masyarakat hanya sebagai sumber dana dan tenaga. Pajak terus dinaikkan, subsidi dipangkas, kebutuhan dasar dibiarkan mahal, sementara elite bermegah-megahan. Ibnu Khaldun menyebut kondisi ini sebagai bentuk kedzaliman, yang menurutnya adalah “pembunuh peradaban paling cepat.”

Sejarawan Muslim lainnya, seperti al-Tabari dan al-Mas‘udi, juga mencatat runtuhnya kerajaan-kerajaan Islam akibat penguasa yang lalai terhadap rakyat. Dinasti Umayyah di Andalusia, misalnya, hancur karena para penguasa lebih sibuk berebut kekuasaan daripada mendengarkan aspirasi rakyat. Sementara Dinasti Abbasiyah melemah ketika rakyat terbebani pajak tinggi untuk membiayai kehidupan mewah istana.

Refleksi untuk Indonesia

Indonesia tentu tidak kebal dari hukum sejarah yang digambarkan Ibnu Khaldun. Jika pemerintah tidak belajar untuk berterima kasih pada rakyat dengan cara menjaga keadilan, menurunkan beban hidup, dan memperhatikan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, maka legitimasi rakyat akan terkikis. Pada akhirnya, negara bisa jatuh ke dalam krisis kepercayaan yang sulit dipulihkan.

Berterima kasih pada rakyat bukan sekadar mengucapkan terima kasih dalam pidato kenegaraan, melainkan menjadikannya orientasi kebijakan. Misalnya, dengan memastikan pajak yang dibayar masyarakat kembali dalam bentuk layanan publik yang berkualitas; memastikan rakyat kecil tidak tertindas oleh harga pangan yang melonjak; serta memastikan keadilan hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.

Sebagaimana ditegaskan Ibnu Khaldun, keadilan adalah pilar yang membuat negara berdiri. Jika keadilan hilang, rakyat tidak lagi merasa dilindungi, maka fondasi itu akan runtuh. Pemerintah Indonesia harus sadar bahwa legitimasi bukanlah sesuatu yang abadi; ia harus dirawat dengan keadilan dan penghargaan pada rakyat.

Pemerintah ada karena rakyat. Negara kuat karena dukungan rakyat. Pajak, legitimasi politik, bahkan stabilitas sosial semua berasal dari rakyat. Ibnu Khaldun dan para sejarawan Islam telah mengingatkan: ketika penguasa tidak lagi punya rasa terima kasih pada rakyat, ketika ia menindas dan tidak menegakkan keadilan, maka kehancuran hanyalah masalah waktu.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya terus-menerus mengingat jasa rakyat, bukan dengan retorika belaka, tetapi dengan kebijakan nyata yang menghadirkan kesejahteraan. Hanya dengan begitu, negeri ini bisa berdiri kokoh di atas pondasi yang benar: rakyat yang sejahtera, adil, dan dihargai. (*)

*) KH. Ahmad Ghozali Fadli adalah Rois Syuriah MWC NU Wonosalam Jombang dan Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Alquran Wonosalam Jombang

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi. (*)

Tombol Google News

Tags:

mwc nu wonosalam pcnu jombang ponpes bumi alquran