Cara memandang alam yang tidak tepat akan menjadikan kita memperlakukan alam secara salah.
Sehingga, pertama-tama, cara pandang kita terhadap alam itu harus benar. Mereka, yang menjadi para pemimpin masyarakat di suatu negeri atau daerah, sudah seharusnya memahami persoalan-persoalan lingkungan alam karena mereka punya tugas mengatasi masalah-masalah manusia sebagai bagian dari alam.
Sayangnya, hampir tak ada pemimpin yang memiliki visi-misi pelestarian alam berdasarkan cara pandangnya terhadap alam secara utuh. Isu lingkungan hidup sejauh ini masih menjadi bahan perbincangan di kalangan orang-orang dan komunitas tertentu yang sudah sadar tentang pentingnya menjaga alam.
Sedangkan Negara justru diisi oleh orang-orang yang membuat kebijakan yang dampaknya justru destruktif (merusak) terhadap alam.
Pada hal kualitas alam suatu masyarakat akan menentukan sekali bagaimana kualitas manusia-manusia yang menghuni alam tersebut. Bencana alam akibat kerusakan alam di negeri ini mau tak mau harus kita akui sebagai situasi yang tak terpisahkan dari kerusakan di bidang politik.
Basisnya adalah relasi manusia terhadap alam akibat sistem ekonomi yang mendominasi, ikutannya adalah masalah-masalah politik dan kebudayaan.
Alam tidak dibagi dan diperlakukan secara benar, dari sisi kepemilikan atau penguasaannya, juga dari sisi penggunaannya. Sistem kapitalisme memperlakukan alam sebagai sarana dan bahan untuk mencari keuntungan oleh para pemilik modal.
Sedangkan para pemilik modal yang ingin menguasai alam untuk keuntungan menguasai ranah politik. Politik dijadikan sarana untuk menguasai alam yang kemudia dikeruk secara membabi-buta dalam bentuk industri ekstraktif sebagai cara menghasilkan keuntungan ekonomi secara cepat.
Para elit politik terus saling berebut hanya untuk menguasai tanah-tanah dan hutan sebagai penghasil kapital yang utama. Sedangkan mereka tidak memikirkan dan menjalankan kebijakan bagaiamana caranya mendapatkan penghasilan dari hal-hal lain.
Industri ekstraktif adalah medan utama yang diperebutkan. Sebagian besar elit politik di panggung depan bukanlah industriawan dan kapitalis langsung, mereka hanyalah “makelar” yang akan memperebutkan otoritas mengelola industri.
Sebagai makelar, mereka mendapatkan bagian untuk menghidupi biaya politiknya dan gaya hidup dan status kehariannya.
Secara mendasar, kita harus memahami bagaimana kontradiksi alam terjadi, sebelum kta memahami kontradiksi di ranah sosial-politik dan ideologis. Kontradiksi alam adalah suatu proses alamiah dari gerak antar bagian-bagiannya. Bagian dari alam termasuk manusia yang juga punya kemampuan untuk memperlakukan alam, baik dengan tubuhnya maupun dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bayangkan, seperti baru kita sadari bahwa hutan-hutan kita telah habis pohon-pohon dan kian berkurang jenis dan jumlah hewan-hewannya. Manusia mampu mempercepat kerusakan alam itu dengan bantuan teknologi penebang dan alat angkut. Akhirnya kita sadari bahwa manusia telah mampu mengubah alam dan akhirnya mempengaruhi dialektikanya, mungkin juga mempercepat kontradiksinya—terutama membantu kerusakannya yang berdampak buruk bagi manusia.
KONTRADIKSI ALAM
Alam adalah sekumpulan materi-materi dan benda-benda yang saling berhubungan. Materi memiliki hukum-hukumnya sendiri yang kadang tak dapat dikontrol oleh manusia. Sementara manusia sendiri sebagai materi hidup dalam alam dengan teknologi dapat mempengaruhi gerak dan dialektika alam. Artinya, setiap gerak materi dari alam akan mempengaruhi gerak alam.
Dalam pandangan filsafat materialisme-dialektika, gerak terjadi karena kontradiksi. Karena tiap materi terdiri dari materi-materi yang lebih kecil yang terus berhubungan, hubungan itu saling mempengaruhi. Maka terjadilah gerak, karena antara bagian-bagian itu di satu sisi akan cederung menyatu, tapi di satu sisi juga memisah. Bagian materi yang memisah juga masih bagian dari alam, dan ia akan menyatu ke yang lain, baik memadat maupun mengurai.
Manusia bergerak karena disebabkan oleh kontradiksi. Sebagai suatu kesatuan, tiap manusia terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil, organ tubuh, sel, dan bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Eksistensinya tergantung juga pada mekanisme dialektis dalam kesatuan tubuhnya maupun dengan sesuatu di luarnya—misal ia akan bisa hidup dari udara yang ada di luar tubuhnya. Ia juga bisa hidup ketika makan yang didapat dari luar tubuhnya.
Lapar adalah kontradiksi, merupakan masalah, yang harus diatasi. Untuk mengatasi kontradiksi, maka ia harus bergerak. Sekali lagi: Tidak ada gerak tanpa adanya kontradiksi! Selain lapar juga ada kontradiksi yang lain dari tubuh. Kebutuhan yang ada padanya, yang berkembang mulai yang dasar hingga level berikutnya, juga menyebabkan gerak. Gerak fisik diikuti dengan “gerak pikiran”—yang merupakan pilar perkembangan ilmu pengetahuan.
Rasa ingin tahu tak bisa dipisahkan dari upaya mengatasi kontradiksi. Pengetahuan muncul ketika manusia bergerak menghadapi alam. Teknologi lahir dari kesadaran mereka mengikuti gerak alam dan menghadapi kontradiksi alam.
Misal, manusia yang berburu mendapatkan kesimpulan bahwa benda lancip lebih bisa mempermudah melukai hewan daripada benda tumpul setelah mereka mendapati bagaimana kulit dan daging di tubuhnya pernah kena duri tajam.
Pengalaman kena benda lancip yang mematikan akan membuat mereka berpikir bahwa kalau hewan dihadapi dengan benda lancip, pasti mudah dikalahkan. Lalu muncul panah, tombak, dan lain-lain. Penemuan besi menjadikan teknologi semakin canggih.
Intinya, temuan-temuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akan memunculkan ide-ide dan pengetahuan untuk pengetahuan baru. Awalnya adalah karena kontradiksi alam, menghadapi masalah itu dengan kerja dan gerak.
Dari gerak tubuh berkembang pula gerak pikir. Dari situlah IPTEK terus berkembang. Dan ternyata, IPTEK juga membantu manusia mengeksploitasi alam yang kemudian merubah bentuk dan gerak alam.
Tanah dikeruk, digali, dicari bahan-bahan yang dianggap bernilai untuk dijual. Hutan-hutan dibabat untuk pertanian dan pemukiman, dibuat jalan besar dan panjang, juga dibuat untuk berbagai tempat baru yang mengubah alam.
Ada perubahan bentuk-bentuk materi di alam, kualitas alam—meskipun massa alam tetap sesuai hukum kekekalan massa. Massa tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, hanya bisa berubah bentuk. Ada perubahan dari zat lama menjadi zat baru, tetapi jumlah total massa di alam tetap. Massa tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain.
BENCANA ALAM
Bagi alam gerak bagian-bagian dari alam, termasuk ulah manusia, adalah hal “bebas-nilai”.
Baru bagi manusialah, yang menilai gerak alam, ada nilai-nilai. Bagi alam sendiri, bagaimanapun gerak antar bagian-bagiannya, apakah ada bagian yang saling menyatu atau memisah/hancur, apapun aneka bentuknya, bagaimanapun aneka bentuknya, seberapapun aneka ukurannya, bagaimanapun baunya, apapun aneka warnanya, tidak ada yang baik dan buruk.
Tapi bagi manusia, kadang hal itu baru memunculkan penilaian. Dan bagi manusia, gerak dan dinamika alam yang membuat keadaannya susah bisa disebutt sebagai bencana. Kita pernah mendengar istilah “alam sedang mensucikan dirinya” di mana istilah ini justru diiringi dengan bentuk kejadian alam yang menyebabkan bencana bagi manusia. Tetapi ada juga pandangan bahwa bencana alam dianggap sebagai “murka” alam.
Intinya, bagi alam sendiri, gerak dari bagian-bagiannya atau kesatuan-kesatuan bentuk tertentu adalah hal yang alamian, netral, ‘bebas-nilai’. Air akan bergerak dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, dan gerakan itu adalah bagian alamiah dari alam. Ombak bergerak juga bagian dari alam.
Tapi ketika gerak air terjadi dalam jumlah yang besar meluap dari sungai mengalir deras menenggelamkan rumah-rumah dan menghilangkan berbagai barang yang dimiliki manusia, baru itu disebut bencana.
Ketika air hujan jatuh dalam volume begitu besarnya dalam jangka waktu yang lama, sementara hutan-hutan dan bukit yang dijatuhinya sudah tidak ada lagi pohon-pohon besar yang menyerap airnya, maka air akan mengalir menerjang. Tanahnya jadi longsor, volume air akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Maka terjadilah banjir bandang atau banjir bah. Ini disebut bencana banjir.
Ya, alam terus bergerak. Dari sejak alam ada, ia tak pernah diam. “Panta Rei!”—segalanya mengalir, kata Heraklitus. Bagi filsug Yunani Kuno pra-Socrates ini, tidak ada sesuatu apapun di alam ini yang tidak bergerak.
Itu adalah hukum alam yang terpenting. Hanya saja manusia kemudian berada di antara alam ini. Mereka selalu akan berhadapan dengan alam, misalnya manusia yang mencari makan dengan pindah dari satu tempat ke tempat lain akan berjumpa dengan bagian-bagian dari alam yang mengancam keselamatannya. Misal ketika lewat di sebuah hutan, dicegat binatang buas yang menyerangnya. Manusia bisa selamat, bisa juga tidak.
Dari gerak menghadapi alam itulah akhirnya manusia belajar, dan dari belajar itulah manusia berkembang. Tetapi bencana tetaplah akan datang sewaktu-waktu karena dua hal. Pertama, karena manusia kurang berdaya berhadapan dengan alam. Kedua, karena ia lengah terhadap gerak alam.
Manusia tetap akan tak lebih berdaya dari pada alam karena alam lebih besar dari manusia. Misalnya, bagaimana kalau Tsunami datang. Ia tak bisa menantang dan mencegat gelombang ombak raksasa. Yang perlu dilakukan hanyalah lari mencari tempat yang aman. Kalau ia lengah, maka ia tak akan selamat.
Berbagai kontradiksi alam yang menyebabkan bencana selalu terjadi, bahkan setelah konon kabarnya manusia berhasil menemukan IPTEK. Dulu, waktu saya kecil, ada orang-orang yang meninggal karena, misalnya, jatuh dari pohon kelapa. Ada juga yang tenggelam di Pancer (sungai dekat laut), Bahkan hingga sekarang, masih ada juga manusia mati digigit ular yang beracun. Dan kisah kematian semakin banyak yang berkaitan dengan teknologi, misalnya naik kendaraan lalu kecelakaan baik tabrakan atau kecelakaan tunggal.
Penyebabnya tetap tidak berdaya menghadapi hasil teknologi yang diciptakannya, dan kelengahannya. Menemukan dan menggunakan motor yang punya kecepatan dan mempersingkat waktu, manusia juga tak bisa mengontrol kecepatan. Kecelakaan yang membuat orang mati adalah yang kecepatan motornya tinggi. Atau dia lengah.
Kisah tentang pesawat yang jatuh. Kapal tenggelam. Orang mati kesetrum. Atau mati atau sakit akibat penggunaan teknologi di mana manusia tak bisa mengontrol dirinya dalam menggunakan teknologi. Ada anak yang saraf matanya pecah-pecah karena kecanduan main game dengan smartphone. Teknologi membuatnya tergantung dan ia tak berdaya. Tubuhnya atau bagian tubuhnya sakit akibat penggunaan teknologi.
Dari situ, dapat disimpulkan bahwa meskipun manusia menemukan IPTEK yang katanya dianggap sebagai kemajuan peradaban, ternyata bencana alam juga terus muncul. Kecelakaan yang dialami sebagai anggota alam kehidupan juga terus muncul bahkan ketika temuan-temuan berupa teknologi dianggap kian maju. Bahkan bisa jadi ancaman terhadap keselamatan dan harapan hidup kian memburuk. Manusia kian berumur pendek dan gampang mati karena hasil teknologi pangan membuat manusia makan makanan yang dicampur bahan beracun dalam zat pengawet, pewarna, dan penambah rasa pada makanan.
Dan pada saat yang sama, bencana alam akibat gerak alam berupa gunung meletus, gemptera bumi, tsunami, tanah longsor, juga tetap ada. Apalagi bencana yang disebabkan oleh ulah tangan manusia dan kebijakan yang dibuatnya. Semakin manusia ngawur dalam membuat kebijakan akibat tindakan tidak berpikir panjang alias hanya mementingkan nafsu untuk keuntungan ekonomi, bencana alam juga kian menjadi-jadi.
Yang terakhir yang bisa kita jadikan bahan diskusi tentu saja adalah banjir, utamanya di Sumatra Utara. Bencana alam itu jelas-jelas disebabkan oleh kerakusan para elit pengusaha yang sekaligus elit politik yang membabat hutan-hutan yang lebat dengan aneka tanaman dan hewan menjadi industri pertanian monokultur. Juga para pembabat hutan yang mencari keuntungan dengan mengambil kayu-kayu baik secara legal maupun tidak legal. Mereka menyatu dengan elit politik dan bahkan sebagian besar adalah elit politik dan tokoh-tokoh Negara itu sendiri! (*)
*) Nurani Soyomukti adalah Ketua Komunitas Literasi QLC (Quantum Litera Center), sedang nyantri di pasca-sarjana Jurusan Akidah Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Tulungagung.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
