Setiap tanggal 12 November, bangsa ini memperingati Hari Ayah Nasional. Namun di balik momen ini, ada ruang hening yang seharusnya mengajak kita merenung — tentang betapa banyak anak hari ini tumbuh tanpa benar-benar mengenal figur ayahnya.
Di banyak rumah, ayah kini menjadi sosok yang hadir secara fisik tapi absen secara emosional. Ia pergi pagi sebelum anak membuka mata, dan pulang larut ketika anak sudah tertidur. Waktu menjadi jarak, jarak menjadi dingin, dan dingin menjelma menjadi jarak batin.
Anak-anak pun mencari pengganti komunikasi yang hilang itu. Mereka ingin didengar, dimengerti, dan dicintai. Tapi sayangnya, kasih sayang yang mereka temukan dari luar sering kali bertopeng — pergaulan bebas, narkoba, atau dunia maya yang semu namun menenangkan.
Fenomena “Tokoyo Kids” di Jepang dan di berbagai kota besar menjadi potret nyata: anak-anak dan remaja yang kehilangan arah, mencari identitas di jalanan, di komunitas dunia maya, atau di geng pertemanan yang memberi mereka rasa diterima, sesuatu yang semestinya mereka temukan di rumah.
Namun sebelum kita terburu menuding para ayah, kita perlu mengerti: banyak dari mereka tidak ingin jauh dari anaknya. Mereka hanya sedang terjebak dalam realitas yang keras. Tuntutan ekonomi, tekanan kerja, dan tanggung jawab menafkahi keluarga sering membuat waktu menjadi kemewahan yang tak terjangkau. Di balik diamnya, banyak ayah yang sebenarnya ingin hadir, tapi tak tahu bagaimana caranya lagi.
Kalimat sederhana “Maafkan Ayahmu, Nak...” adalah jeritan sunyi dari hati seorang ayah yang sedang berjuang menyeimbangkan cinta dan tanggung jawab. Seperti lirik lagu Virgoun – “Nak, Kelak Kau Akan Mengerti,” di mana cinta seorang ayah sering kali baru disadari ketika waktu sudah jauh berlalu. Di balik lelah dan tegarnya, tersimpan cinta yang tak pandai diekspresikan.
Namun ketika anak mulai menjauh, ayah tak boleh menyerah. Ia harus menurunkan egonya dan memulai kembali komunikasi yang pernah hilang.nPeluklah anakmu meski canggung. Dengarkan tanpa menghakimi. Katakan “Ayah sayang kamu” meski suara terasa kaku di lidah. Karena tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki hubungan dengan anak. Sebab, di balik sikap dingin anak, sering kali ada hati kecil yang masih menunggu disapa.
Tugas membangun kembali kedekatan ayah dan anak bukan hanya urusan rumah tangga. Negara pun harus hadir. Negara perlu membuka ruang kebijakan yang mendukung keharmonisan keluarga:
Jam kerja yang manusiawi agar ayah punya waktu berkualitas di rumah.
Program edukasi parenting bagi ayah, bukan hanya ibu.
Kampanye publik yang menegaskan pentingnya peran emosional ayah dalam tumbuh kembang anak.
Ruang konsultasi keluarga di tingkat kelurahan dan sekolah yang membantu memperkuat relasi ayah-anak.
Keluarga yang kuat tidak lahir dari gaji besar, tetapi dari komunikasi yang sehat. Dan bangsa yang kuat tidak lahir dari pembangunan fisik semata, tapi dari rumah-rumah yang hangat oleh kasih dan bimbingan orang tua.
Maka, di Hari Ayah ini, mari kita tidak sekadar mengucapkan “Selamat Hari Ayah,” tapi juga berani berkata: “Ayah, pulanglah. Tidak hanya ke rumah, tapi juga ke hati anak-anakmu.”
Sebab kelak, seperti kata Virgoun, anak-anak kita akan mengerti. Bahwa cinta ayah yang tampak kaku dan sederhana itu adalah bentuk kasih yang paling tulus di dunia. (*)
*) M.Isa Ansori adalah Kolumnis, Dosen Psikologi Komunikasi Fokus di Transaksional Analisis, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
