Hakordia, Prestasi Penindakan dan Desakan Transparansi Adhyaksa

9 Desember 2025 07:31 9 Des 2025 07:31

Thumbnail Hakordia, Prestasi Penindakan dan Desakan Transparansi Adhyaksa
Oleh: Fajar Rianto*

Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap 9 Desember, bagi Korps Adhyaksa bukanlah sekadar ritual tahunan. Ia adalah momen krusial untuk evaluasi diri, dan panggung akuntabilitas publik atas peran sentral mereka sebagai pilar utama pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Peringatan ini wajib dimaknai sebagai titik tolak untuk merefleksikan sejauh mana efektivitas penegakan hukum telah dirasakan oleh masyarakat luas.

Sebagai jurnalis, saya melihat tuntutan publik terhadap Kejaksaan saat ini bukan lagi sekadar penindakan simbolis. Masyarakat memerlukan kehadiran penegak hukum yang berani membongkar kasus-kasus struktural dan merugikan negara dalam skala besar. 

Tuntutan ini secara langsung menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap independensi dan integritas institusi Kejaksaan.

Insan Adhyaksa, sebutan bagi warga Kejaksaan telah mengambil langkah paling tegas dan nyata untuk memaknai peringatan ini. Mereka memilih jalur untuk menampilkan bukti konkret keberhasilan penindakan yang dampaknya terasa signifikan bagi perekonomian negara, alih-alih hanya berfokus pada narasi normatif.

Keberanian inilah yang memposisikan Kejaksaan sebagai garda terdepan dalam upaya asset recovery. Kinerja ini menjadi modal sosial terpenting, namun harus dipertahankan secara konsisten dan didukung oleh sistem komunikasi yang transparan.

Kinerja Melampaui Ekspektasi

Kejaksaan Agung dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan determinasi yang luar biasa. Dari kacamata profesional pers, yang menuntut verifikasi dan bukti, langkah Kejaksaan dalam menangani kasus-kasus mega korupsi telah mengubah citra institusi. Kasus yang disasar bukan lagi sekadar perkara biasa, melainkan skandal yang melibatkan kerugian negara pada skala yang mengejutkan.

Kita mencatat penanganan kasus seperti Jiwasraya dan Asabri, yang berhasil memulihkan kerugian mencapai puluhan triliun rupiah; pengusutan korupsi di sektor energi (investasi dan pengadaan di lingkungan Pertamina); serta kasus infrastruktur strategis seperti proyek Base Transceiver Station (BTS) 4G. 

Puncaknya, perhatian nasional tertuju pada kasus dugaan korupsi tata niaga timah, di mana perhitungan kerugian negara dan perekonomian telah mencapai angka yang fenomenal yakni melampaui Rp 271 triliun.

Keberhasilan terbesar Kejaksaan terletak pada asset recovery. Penyelamatan aset senilai ratusan triliun rupiah adalah bahasa yang paling jujur bagi rakyat: dana publik yang dicuri telah direbut kembali. 

Ini menegaskan bahwa penegakan hukum tidak hanya fokus pada pemidanaan badan, tetapi juga pada aspek keadilan restoratif ekonomi. Insan Adhyaksa terbukti berani menyentuh pihak yang selama ini dianggap kebal hukum.

Akuntabilitas dan Komunikasi

Meskipun prestasi penindakan Kejaksaan berada di titik puncak, terdapat satu defisit komunikasi kritis yang wajib segera diatasi: keterbukaan informasi dari Seksi Tindak Pidana Khusus (Pidsus) kepada awak media.

Hakordia sebagai panggung akuntabilitas seyogyanya diimbangi dengan kejelasan informasi yang utuh. Laporan harus lugas dan terperinci, mencakup nilai kerugian yang diselamatkan serta status penyitaan aset. Penuntasan kasus high profile harus diiringi transparansi, guna menegaskan prinsip penegakan hukum yang tajam ke atas.

Namun, dalam ranah implementasi, di beberapa wilayah Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) kerap memperlihatkan sikap eksklusif terhadap pertanyaan wartawan. 

Sikap ini diperparah oleh kecenderungan minimnya respons atau keengganan menanggapi konfirmasi melalui saluran informal seperti WhatsApp. Praktik komunikasi ini berujung pada praduga negatif dan menciptakan ruang subur bagi spekulasi liar.

Sementara di internal, Seksi Intelijen seringkali mengeluhkan tidak memegang data atau tidak diberikan akses data oleh Seksi Tindak Pidana Khusus terkait materi esensial bagi kepentingan pemberitaan. Kondisi ini secara nyata menunjukkan adanya sumbatan komunikasi internal yang serius, menghambat alur informasi, bahkan di tingkat juru bicara resmi.

Kontras ini mencolok dengan sikap kooperatif di atasnya yakni Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati), yang melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati, lebih terbuka. 

Akibatnya, banyak jurnalis terpaksa melayangkan permintaan keterangan dan konfirmasi ke tingkat Kejati, membebani saluran komunikasi regional. Sikap positif Kejati ini seharusnya menjadi model keterbukaan bagi jajaran di bawahnya.

Oleh karena itu, penegasan kami sebagai pilar keempat demokrasi jelas: sikap tertutup Seksi Tindak Pidana Khusus pada tahap penyidikan menghambat fungsi check and balance media. Jika kami terpaksa mencari informasi dari sumber yang kurang kredibel, ironisnya berpotensi merusak narasi positif Kejaksaan sendiri. 

Di satu sisi mengabaikan konfirmasi dari pers mengirimkan sinyal adanya upaya penyembunyian, padahal itu mungkin hanya masalah alur birokrasi. Dalam ruang publik, keraguan komunikasi meniadakan validitas prestasi.

Integritas dan Kontinuitas

Di samping menjaga diri dari godaan internal karena satu kasus oknum jaksa yang 'bermain' dapat meruntuhkan kredibilitas yang dibangun dari penyelamatan triliunan rupiah. Seksi Tindak Pidana Khusus harus memandang media sebagai mitra strategis.

Jika Insan Adhyaksa ingin makna Hakordia berakar kuat, prestasi penindakan harus bersinergi dengan integritas komunikasi. Kejaksaan harus memastikan juru bicara di semua tingkatan memiliki otoritas yang memadai, bersikap proaktif, dan terbuka, mengatasi sumbatan data internal antara penyidik dan Humas/Intelijen. 

Tunjukkan terus prestasi, tegakkan integritas, dan biarkan transparansi komunikasi menjadi benteng pertahanan terakhir melawan segala keraguan publik. (*)

*) Fajar Rianto merupakan Jurnalis Ketik.com Biro Yogyakarta

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Fajar Rianto HAKORDIA