Pagi itu, Senin 10 November 2025, langit Kedungwaru memayungi barisan santri yang berdiri tegak di lapangan Pesantren Al Azhaar. Mereka bukan sekadar murid yang belajar kitab dan ilmu dunia. Mereka adalah generasi penerus yang tengah menyerap getaran heroik dari masa silam. Getaran yang masih terasa di ruang taklim, mengalir dari semangat para pejuang 10 November 1945.
Di ruang taklim itu, para santri tidak hanya mengkaji ilmu. Mereka merenungi makna kepahlawanan. Bukan sekadar mengenang para pejuang bersenjata, tetapi meneladani para nabi. Pahlawan kehidupan sejati yang diutus untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan. Mereka datang membawa cahaya, mengusir kejahilan, menentang kezaliman, dan menegakkan kebenaran.
Arus digital telah mengubah wajah kehidupan. Dunia kini bergerak cepat, batas-batas geografis melebur dalam jaringan informasi, dan generasi muda berdiri di persimpangan zaman: antara kemajuan dan kehampaan, antara peluang dan ancaman. Namun, dalam setiap zaman, selalu ada sosok yang muncul sebagai lentera. Mereka adalah para pahlawan—bukan karena gelar atau sorotan, tetapi karena ketulusan dan keberanian mereka dalam membela nilai-nilai luhur bangsa.
1. Ikhlas Membela Tanah Air dari Serangan Global
Di era digital, serangan terhadap bangsa tidak selalu berbentuk senjata. Ia bisa berupa infiltrasi budaya, degradasi moral, dan hilangnya jati diri. Di tengah gelombang globalisasi, muncul sosok-sosok yang rela mengorbankan waktu dan tenaga demi menjaga generasi muda dari dampak negatif. Mereka hadir sebagai guru, aktivis, penulis, dan pendidik yang membentengi anak bangsa dengan nilai-nilai kebangsaan dan spiritualitas. Mereka tidak menuntut imbalan, karena perjuangan mereka lahir dari cinta yang ikhlas.
2. Rela Berkorban Demi Kebenaran
Pahlawan sejati tidak pernah menghitung untung rugi. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raga demi membela kebenaran. Di zaman ini, pengorbanan bisa berarti berdiri tegak di tengah tekanan, menyuarakan keadilan di tengah kebisingan, atau menolak menjadi bagian dari sistem yang korup. Mereka adalah penjaga nurani bangsa, yang tak gentar meski harus berjalan sendiri.
3. Mengutamakan Kepentingan Orang Banyak
Di tengah budaya individualisme yang makin menguat, pahlawan zaman digital tampil sebagai penyeimbang. Mereka hadir untuk masyarakat luas, bukan untuk kepentingan pribadi. Mereka membangun komunitas, menggerakkan perubahan sosial, dan menjadi jembatan antara harapan rakyat dan kebijakan publik. Mereka tahu, bahwa kemuliaan sejati terletak pada kebermanfaatan.
4. Semangat Tinggi, Pantang Mundur
Zaman tidak berubah oleh keluhan, tetapi oleh perjuangan. Sosok pahlawan adalah mereka yang gigih, tak mudah menyerah, dan terus melangkah meski jalan terjal. Mereka percaya bahwa setiap tetes keringat adalah investasi untuk masa depan bangsa. Semangat mereka menjadi bara yang menghangatkan harapan, bahkan di tengah dinginnya pesimisme.
5. Hubbul Wathon Minal Iman
Cinta tanah air bukan sekadar slogan. Ia adalah bagian dari iman, sebagaimana diajarkan dalam tradisi Islam. Pahlawan zaman digital menanamkan nilai ini dalam setiap langkah. Mereka menolak menjadi agen asing atau aseng yang merusak tatanan bangsa. Mereka menjaga kedaulatan budaya, ekonomi, dan spiritualitas Indonesia dengan penuh kesadaran dan cinta.
Di tengah derasnya arus digital, kita membutuhkan lebih banyak pahlawan seperti mereka. Bukan untuk dikenang, tetapi untuk diteladani. Karena bangsa yang besar bukan hanya yang memiliki sejarah perjuangan, tetapi yang terus melahirkan pejuang di setiap zaman.
Dalam kehidupan modern, bangsa ini masih membutuhkan pahlawan. Bukan yang mengangkat senjata, tetapi yang berani berkata tidak pada korupsi. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum; ia adalah penyakit laten yang merusak sendi-sendi kehidupan. Ia menghancurkan kepercayaan, merusak kepemimpinan, dan menggoyahkan fondasi negara.
Pahlawan masa kini adalah mereka yang berani berdiri di tengah arus, menolak praktik korupsi meski harus melawan sistem. Mereka hadir di sekolah, pesantren, birokrasi, dan masyarakat. Mereka tidak hanya berkampanye, tetapi juga mendidik. Mereka menanamkan nilai integritas, membangun budaya bersih, dan menata ulang arah bangsa.
Santri adalah harapan. Mereka belajar bukan hanya untuk cerdas, tetapi untuk menjadi cahaya. Di lapangan pesantren, mereka berbaris rapi mengenang jasa para pahlawan. Tapi lebih dari itu, mereka bertekad meneruskan perjuangan. Mereka ingin menjadi generasi berkah—yang tidak tunduk pada korupsi, yang menjadikan nilai-nilai spiritual sebagai fondasi kehidupan berbangsa.
Mereka tahu, berkata tidak pada korupsi adalah bentuk jihad zaman ini. Jihad yang tidak berdarah, tetapi penuh keberanian. Jihad yang menuntut kejujuran, keteladanan, dan konsistensi.
Pesantren bukan hanya tempat belajar. Ia adalah benteng moral bangsa. Dari ruang taklim, dari barisan santri, dari semangat 10 November, lahirlah pahlawan-pahlawan baru. Mereka mungkin tidak tercatat dalam buku sejarah, tetapi mereka menulis masa depan dengan integritas.
Dan pagi ini, di Pesantren Al Azhaar Kedungwaru, sejarah itu kembali ditulis. Dengan semangat, dengan doa, dan dengan tekad: menjadi generasi yang berkah, yang berkata tidak pada korupsi, demi Indonesia yang lebih terang. (*)
*) Imam Mawardi Ridlwan adalah Dewan Pembina Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Jawa Timur.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
