Hari Ibu Bukan Sekadar Seremoni, tapi Soal Keadilan bagi Perempuan

22 Desember 2025 16:35 22 Des 2025 16:35

Thumbnail Hari Ibu Bukan Sekadar Seremoni, tapi Soal Keadilan bagi Perempuan
Oleh: Yuliana Putri*

Hari Ibu kerap dirayakan dengan bunga, kartu ucapan, dan rangkaian kata manis tentang pengorbanan. Ibu digambarkan sebagai sosok penuh kesabaran, keikhlasan, dan ketangguhan tanpa batas. 

Narasi ini diulang dari tahun ke tahun, seolah menjadi kebenaran tunggal tentang perempuan. Namun, di balik kemeriahan seremoni itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah penghormatan yang diberikan benar-benar bermuara pada keadilan yang layak diterima perempuan?

Realitanya, banyak ibu bahkan tidak memiliki ruang untuk merayakan dirinya sendiri. Waktu dan tenaganya habis untuk memastikan dapur tetap berasap, anak-anak bersekolah, dan keluarga bertahan dalam keterbatasan. 

Mereka bekerja tanpa jam yang jelas, tanpa upah, dan tanpa jaminan sosial. Ironisnya, kondisi ini sering dibungkus dengan pujian “perempuan kuat”, seolah kekuatan itu membenarkan sistem yang membiarkan perempuan memikul beban ganda secara terus-menerus.

Hari Ibu seharusnya tidak berhenti pada romantisasi pengorbanan. Ia mesti menjadi ruang refleksi sosial: sejauh mana negara dan masyarakat telah menghadirkan keadilan bagi perempuan? 

Fakta di lapangan menunjukkan, masih banyak ibu yang bekerja di sektor informal tanpa perlindungan hukum, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dibebani kerja domestik tanpa pengakuan, serta dipaksa diam demi menjaga apa yang disebut sebagai keharmonisan keluarga.

Budaya patriarki yang mengakar kuat kerap menempatkan penderitaan perempuan sebagai sesuatu yang wajar, bahkan mulia. Perempuan diajarkan untuk bertahan, bukan melawan; untuk memahami, bukan dipahami. 

Dalam situasi seperti ini, perayaan Hari Ibu yang hanya diisi dengan seremoni tahunan justru berisiko mengaburkan persoalan mendasar yang dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

Merayakan Hari Ibu sejatinya berarti menghadirkan keberpihakan nyata. Bukan sekadar ucapan, melainkan kebijakan yang melindungi hak-hak perempuan, lingkungan yang aman dari kekerasan, serta budaya yang adil dalam pembagian peran domestik dan publik. 

Pengakuan terhadap kerja-kerja perawatan yang dilakukan ibu yang selama ini dianggap “alami” harus diwujudkan dalam bentuk perlindungan sosial dan penghargaan yang layak.

Sebagai Ketua KOPRI, saya meyakini bahwa mencintai ibu tidak cukup dengan sanjungan simbolik. Cinta itu harus diterjemahkan dalam perjuangan kolektif untuk keadilan gender. 

Karena ibu bukan hanya simbol pengorbanan, melainkan manusia utuh yang memiliki hak atas rasa aman, pendidikan, kesehatan, kesempatan ekonomi, dan ruang untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri.

Hari Ibu adalah pengingat penting bahwa perempuan tidak membutuhkan pujian semata. Mereka membutuhkan keadilan yang nyata. Keadilan yang memungkinkan perempuan hidup tanpa takut, bekerja tanpa dieksploitasi, dan dicintai tanpa harus mengorbankan dirinya sendiri. Di sanalah makna sejati Hari Ibu seharusnya berlabuh.

*) Yuliana Putri merupakan Ketua Kopri PMII Sumenep

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Hari Ibu Yuliana Putri