Liputan Khusus: Menerjang Status Siaga Gunung Merapi (Bagian 2-Habis)

Menapaki Jejak Sri Manganti dan Sinergi Konservasi Budaya

26 Desember 2025 10:58 26 Des 2025 10:58

Thumbnail Menapaki Jejak Sri Manganti dan Sinergi Konservasi Budaya
Di balik status Siaga (Level III), Merapi seolah meluruhkan egonya dan memberi 'ruang napas' bagi tradisi agung ini. Jalur yang biasanya tertutup rapat, kini menjadi saksi bisu langkah khidmat para pendaki dan peziarah menuju Sri Manganti. Sebuah momen langka di mana protokol mitigasi bencana bersenyawa harmonis dengan kedaulatan budaya. Merapi sedang menerima tamu kehormatannya. (Foto: Fajar R/Ketik.com)

KETIK, YOGYAKARTA – Di balik khidmatnya ritual Hajad Dalem Labuhan Merapi, tersimpan sinergi kuat antara kearifan lokal dan pengelolaan kawasan. Kehadiran ribuan orang di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi menjadi tantangan tersendiri bagi manajemen kawasan.

Ribuan orang dari berbagai wilayah, kalangan, dan usia tersebut harus melintasi jalur pendakian Gunung Merapi, sehingga memunculkan tantangan sekaligus kondisi yang tidak biasa bagi pengelola kawasan.

Di tengah potensi bahaya vulkanik, upaya menjaga keselamatan manusia dan kelestarian ekosistem menuntut kebijakan yang khas, tidak kaku, namun tetap terukur dalam penerapannya.

Konservasi Berbasis Budaya

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Muhammad Wahyudi, menegaskan bahwa ritual tahunan ini bukan sekadar toleransi sosial, melainkan aktivitas yang telah memiliki payung hukum yang kuat dalam struktur tata ruang kawasan konservasi.

"Rangkaian prosesi Labuhan Merapi dilaksanakan di dalam kawasan TNGM yang secara spesifik telah ditetapkan sebagai zona religi, budaya, dan sejarah," terangnya.

Menurut M Wahyudi, penetapan zona ini adalah bentuk rekonsiliasi antara sains konservasi dengan denyut spiritualitas masyarakat lereng gunung. Zona ini memang didesain sebagai ruang dukungan bagi masyarakat untuk merawat nilai-nilai tradisional tanpa sedikit pun mengabaikan aspek fundamental pelestarian alam.

"Pada prinsipnya konservasi itu selain aspek perlindungan dan aspek pelestarian juga ada aspek pemanfaatannya," jelasnya.

​Kembali M Wahyudi menyampaikan bahwa sinergi ini merupakan bentuk 'konservasi berbasis budaya'. Dengan melegitimasi prosesi ini dalam regulasi TNGM, negara hadir untuk memastikan bahwa adat istiadat setempat memiliki ruang hidup yang sah.

"Zona religi, budaya, dan sejarah ini merupakan bagian integral dari kawasan TNGM yang memang dimaksudkan untuk mendukung kelangsungan budaya dan adat istiadat setempat yang telah ada jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional," tambahnya.

Menapak Jejak Menuju Sri Manganti

Terpisah, Mas Wedana Surakso Hargo atau Mbah Asih, dalam beberapa kesempatan sebelumnya menyampaikan bahwa selain menjalankan Upacara Labuhan, tugas pokok Abdi Dalem Juru Kunci Merapi adalah melestarikan budaya dan menjaga kelestarian alam.

Jauh sebelum upacara digelar, Abdi Dalem Juru Kunci Gunung Merapi telah mengemban tugas cukup berat, yakni membersihkan jalan setapak dari Kinahrejo hingga lokasi labuhan di punggung gunung.

Foto Satu frekuensi dalam penjagaan doa.  Kelancaran ritual Labuhan Merapi tak lepas dari koordinasi solid antara petugas TNGM, relawan, dan warga. Di tengah risiko bencana vulkanik, kolaborasi ini memastikan kedaulatan tradisi tetap berjalan sah di zona religi dan sejarah. Menjaga Merapi adalah tugas bersama; merawat alamnya, melestarikan budayanya. (Foto: Fajar R/Ketik.com)Satu frekuensi dalam penjagaan doa. Kelancaran ritual Labuhan Merapi tak lepas dari koordinasi solid antara petugas TNGM, relawan, dan warga. Di tengah risiko bencana vulkanik, kolaborasi ini memastikan kedaulatan tradisi tetap berjalan sah di zona religi dan sejarah. Menjaga Merapi adalah tugas bersama; merawat alamnya, melestarikan budayanya. (Foto: Fajar R/Ketik.com)

Dengan kontur jalur yang menanjak dan rimbunnya perdu di hamparan pasir, pekerjaan tersebut dilakukan secara bertahap melalui gotong royong bersama relawan setiap hari Minggu selama beberapa waktu.

Lokasi labuhan sempat berpindah tempat. Dulu, labuhan digelar lebih tinggi yakni di Pos 2 pendakian Merapi, yang banyak dikenal dengan nama Pos Rudal. Pasca erupsi 2006, pindah atau turun ke Sri Manganti (Pos 1 atau siji, kala itu, red). Tahun 2010, karena jalan tertutup material erupsi, lokasi dialihkan ke Alas Bedengan.

“Setelah erupsi, kalau menuju ke Sri Manganti tidak berani karena jalannya tipis. Kanan kiri jurang, saya waktu itu survei, takut. Karena sudah pusing, lalu cari tempat yang datar, dapatnya di Alas Bedengan,” kisah Mbah Asih.

Baru pada tahun 2013, atas izin dari Keraton Yogyakarta, ia pun merintis jalan baru menuju Sri Manganti. Sehingga Labuhan Merapi kembali digelar di Sri Manganti hingga saat ini.

Ritual di Tengah Status Siaga

Tepat pada pagi hari Jumat Pon, 31 Januari 2025 (1 Ruwah), rombongan yang dipimpin Juru Kunci Merapi, Mas Wedono Surakso Hargo, mulai membelah kabut tipis. Ubarampe Labuhan diarak dengan berjalan kaki menempuh jarak sekitar 2,45 kilometer.

Rombongan berangkat dari petilasan almarhum Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, lalu menanjak menuju tubuh Gunung Merapi hingga Pos Bedengan untuk prosesi doa singkat, sebelum melanjutkan perjalanan ke titik sakral Srimanganti di ketinggian 1.550 mdpl.

Perjalanan yang memakan waktu sekitar 1,5 hingga 2 jam ini didominasi medan tanjakan terjal. Sejumlah titik jalur pendakian masih terlihat terdampak bencana vulkanik. Di Pos Sri Manganti inilah prosesi utama kemudian dilaksanakan.

Dalam suasana khidmat, satu per satu ubarampe ditunjukkan dan disebutkan namanya di hadapan peserta labuhan oleh abdi dalem yang bertugas. Perlengkapan tersebut meliputi satu lembar Nyamping Cangkring, Kawung Kemplang, Semekan Gadhung, Semekan Gadhung Mlathi, Semekan Banguntulak, Kampuh Poleng Ciut, Dhesthar Daramuluk, Paningset Udaraga, satu wadah Sela Ritus Lisah Konyoh, satu amplop Yatra Tindhih, serta sepuluh biji Ses Wangen dan Apem Mustaka.

Puncak acara ditandai dengan pembacaan doa yang dipimpin langsung oleh Juru Kunci Merapi, Mas Wedana Surakso Hargo, yang akrab disapa Mbah Asih.

Seluruh rangkaian ritual berlangsung hingga sekitar pukul 09.30 WIB dengan pengawalan ketat serta koordinasi dari BMKG, BPPTKG DIY, Basarnas Yogyakarta, BPBD DIY, BBPD Sleman, Sarda DIY, Taman Nasional Gunung Merapi, Pramuka Peduli Kwarcab Sleman, serta unsur terkait lainnya. Hal ini dilakukan mengingat sejak 5 November 2020 Gunung Merapi masih berstatus Level III (Siaga).

Foto Diplomasi Langit di Pos Sri Manganti. Di sinilah puncak sakralitas Labuhan Merapi dilakukan. Satu per satu ubarampe labuhan ditunjukkan, diikuti doa khidmat yang dipimpin Juru Kunci Mbah Asih. Sejarah mencatat, ritual ini sempat berpindah lokasi akibat erupsi. Namun spirit permohonan keselamatan bagi bumi Mataram tak pernah bergeser sedikit pun.
(Foto: Fajar R/Ketik.com)Diplomasi Langit di Pos Sri Manganti. Di sinilah puncak sakralitas Labuhan Merapi dilakukan. Satu per satu ubarampe labuhan ditunjukkan, diikuti doa khidmat yang dipimpin Juru Kunci Mbah Asih. Sejarah mencatat, ritual ini sempat berpindah lokasi akibat erupsi. Namun spirit permohonan keselamatan bagi bumi Mataram tak pernah bergeser sedikit pun. (Foto: Fajar R/Ketik.com)

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan, status Siaga menunjukkan aktivitas vulkanik yang telah mengarah pada kondisi kritis, ditandai dengan peningkatan gempa vulkanik sedang hingga kuat, munculnya guguran lava dan awan panas, terjadinya letusan kecil hingga menengah, serta peningkatan deformasi tubuh gunung secara signifikan. Dampaknya, sejumlah wilayah pada jarak tertentu dari kawah harus dikosongkan, aktivitas masyarakat dibatasi ketat, dan jalur pendakian ditutup total. Status Siaga ini juga menegaskan bahwa potensi erupsi besar sangat mungkin terjadi.

Kembali ke prosesi labuhan, usai doa dilantunkan, nasi gurih atau nasi berkat dibagikan kepada ratusan peserta, termasuk pendaki, peziarah, serta wisatawan domestik dan mancanegara yang mengikuti rangkaian labuhan dengan khidmat.

Nasi yang dikemas dalam plastik kecil itu disambut antusias. Sebagian peserta langsung menyantapnya sebagai penguat tenaga, sementara lainnya memilih menyimpan untuk dibawa pulang sebagai sarana "ngalap berkah" sesuai keyakinan masing-masing.

Perjalanan spiritual tersebut berakhir saat rombongan kembali turun ke Kinahrejo. Keramahan warga kembali menyambut dengan jamuan makan siang dan minuman tradisional segar. Bagi para pendaki, langkah ke Srimanganti menjadi penuntas rindu, sementara bagi warga ritual ini menjadi perisai spiritual, dan bagi Merapi, labuhan adalah wujud penghormatan manusia di tengah gemuruh aktivitas vulkanik.

Namun patut digarisbawahi, di balik kemeriahan yang bersahaja ini terselip harapan agar Labuhan Merapi pada 30 Rejeb mendatang dapat terus terselenggara dalam harmoni yang semakin erat antara manusia, tradisi, dan alam.

Harapan besar juga disematkan agar status aktivitas Gunung Merapi kian melandai, sehingga “sowan” tahunan ini dapat kembali dilakukan dengan lebih leluasa, sembari tetap menjaga Merapi sebagai simbol keseimbangan semesta yang membawa kedamaian bagi seluruh bumi Mataram. (*)

Tombol Google News

Tags:

Labuhan Merapi Gunung Merapi TNGM Konservasi Berbasis Budaya Muhammad Wahyudi Mbah Asih Juru Kunci Merapi Sri Manganti. Jalur Pendakian Merapi mitigasi bencana Merapi Siaga Status Level III Merapi Wisata Religi Kearifan lokal Sleman Yogyakarta