Liputan Khusus: Menerjang Status Siaga Gunung Merapi (Bagian 1)

Diplomasi Budaya di Balik Ritual Labuhan Merapi

26 Desember 2025 09:40 26 Des 2025 09:40

Thumbnail Diplomasi Budaya di Balik Ritual Labuhan Merapi
Menapak jejak di antara doa dan mitigasi. Di bawah tatapan gagah Merapi para peziarah dan pendaki melangkah khidmat menuju Pos Sri Manganti. (Foto: Fajar R/Ketik.com)

KETIK, YOGYAKARTA – Kalender Jawa kini kembali memasuki bulan Rejeb. Bagi masyarakat di lereng selatan Gunung Merapi dan para pegiat alam bebas, pergantian sasi (bulan) ini bukan sekadar rotasi waktu. Ia menjadi sasmita, isyarat semesta bahwa ritual sakral Hajad Dalem Labuhan Merapi telah di ambang mata. 

Tradisi ini memiliki jejak sejarah yang dinamis. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Hajad Dalem Labuhan digelar sebagai peringatan hari lahir (Wiyosan Dalem) Sri Sultan. Namun, di era Sri Sultan Hamengku Buwono X, esensi ritual tersebut dikembalikan pada makna awalnya sebagai peringatan naik takhta (Jumenengan Dalem).

Selaras dengan adat Keraton Yogyakarta, upacara labuhan kini rutin diselenggarakan sehari setelah puncak Jumenengan Dalem, yakni setiap tanggal 30 Rejeb.

Merujuk prosesi sebelumnya, 30 Rejeb bertepatan dengan Kamis Pahing, 30 Januari 2025. Sehari setelahnya, Jumat Pon, 31 Januari 2025 atau 1 Ruwah, gerbang jalur pendakian Gunung Merapi sisi selatan—yang biasanya tertutup ketat mengikuti protokol mitigasi bencana—dibuka sementara.

Pada momen itulah, Gunung Merapi seolah memberi ruang. Gunung yang kerap menyimpan misteri ini seakan meluruhkan egonya, membuka napas bagi sebuah perhelatan agung yang mempertemukan kedaulatan Keraton dengan keagungan alam.

Labuhan Merapi bukan sekadar seremoni peringatan Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X. Di balik langkah khidmat para abdi dalem yang mengusung jinjingan ubarampe menuju Pos Sri Manganti di ketinggian 1.550 meter di atas permukaan laut, tersimpan harapan kolektif yang tak pernah padam.

Ritual ini menjadi laku batin, sebuah diplomasi spiritual antara manusia dan semesta, agar Yogyakarta senantiasa dipayungi keselamatan dan dijauhkan dari marabahaya.

 

Menembus Kabut Waktu

Napak tilas Labuhan Merapi merajut memori panjang, termasuk bagi jurnalis Ketik.com. Sejak awal dekade 1990-an, tradisi ini terekam hampir setiap tahun, baik secara profesional maupun emosional, menjadi saksi transformasi ritual lintas zaman.

 

Foto Para Abdi Dalem dan warga berkumpul memanjatkan doa dalam rangkaian prosesi Labuhan Merapi. Momen ini menjadi napas kehidupan bagi Kinahrejo yang biasanya sepi sejak warga menetap di Huntap Karang Kendal. Sebuah malam di mana status sosial meluruh, menyisakan kerendahan hati manusia di hadapan Sang Pencipta dan alam. (Foto: Fajar R/Ketik.com)Para Abdi Dalem dan warga berkumpul memanjatkan doa dalam rangkaian prosesi Labuhan Merapi. Momen ini menjadi napas kehidupan bagi Kinahrejo yang biasanya sepi sejak warga menetap di Huntap Karang Kendal. Sebuah malam di mana status sosial meluruh, menyisakan kerendahan hati manusia di hadapan Sang Pencipta dan alam. (Foto: Fajar R/Ketik.com)

 

Konsistensi selama lebih dari tiga dekade ini menangkap perubahan drastis wajah Merapi; mulai dari masa keemasan pendakian yang bebas sebelum erupsi besar 2010, hingga era baru dengan prosedur mitigasi ketat di bawah status Siaga seperti saat ini.

Ada jejak sejarah yang tak terhapus di setiap tanjakan, menceritakan transisi Merapi dari sebuah destinasi petualangan murni menjadi ruang sakral yang sangat terjaga.

Antusiasme ini pun kian meluas, melintasi batas-batas geografis dan identitas budaya. Saban tahun, pendaki maupun wisatawan dari berbagai penjuru Indonesia hingga mancanegara turut melebur dalam barisan, terpesona menyaksikan bagaimana spiritualitas Jawa bersenyawa secara presisi dengan kegagahan vulkanik.

"Ada kerinduan yang mendalam untuk kembali menyentuh Gunung Merapi secara resmi. Bagi kami, labuhan adalah waktu untuk 'sowan' sebuah kunjungan kehormatan untuk menghormati Merapi," ujar Juno, warga Gondolayu yang sudah belasan tahun hadir mengikuti acara Labuhan Merapi bersama istrinya.

Senada Ali, pendaki lain merasa bahwa labuhan adalah jembatan budaya yang sangat krusial. Ritual ini mengubah cara pandang manusia modern terhadap alam; gunung tidak lagi dipandang sebagai sekadar objek wisata, melainkan subjek hidup yang memiliki jiwa.

"Di sini, kita diingatkan kembali untuk mempraktikkan tata krama dengan alam. Kita belajar bahwa kita hanyalah tamu di Merapi," tutur warga Godean, Sleman ini singkat namun sarat makna.

Napak tilas ini juga menjadi ruang sentimental bagi mereka yang menemukan belahan jiwa di sini. Avi, alumni SMSR yang kini bekerja di Makassar, salah satunya. Meski jarak membentang, ia dan istrinya jarang absen mengikuti Labuhan Merapi setiap tahun. Baginya Merapi bukan sekadar gunung, melainkan saksi bisu perjalanan cintanya.

​"Merapi itu tempat saya bertemu jodoh. Ada ikatan batin yang kuat, sehingga jauh-jauh dari Makassar saya sempatkan pulang setiap tahun mengajak istri untuk ikut labuhan. Ini cara kami bersyukur sekaligus 'sowan' ke tempat yang mempertemukan kami dahulu," ungkap Avi mengenang masa-masa indahnya di jalur pendakian.

 

Foto Malam sebelum puncak ritual, suasana Dusun Kinahrejo kembali hidup dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Denting gamelan dan bayang-bayang wayang tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana kontemplasi bagi para peziarah dan warga yang berkumpul untuk tirakatan. (Foto: Fajar R/Ketik.com)Malam sebelum puncak ritual, suasana Dusun Kinahrejo kembali hidup dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Denting gamelan dan bayang-bayang wayang tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana kontemplasi bagi para peziarah dan warga yang berkumpul untuk tirakatan. (Foto: Fajar R/Ketik.com)

 

Sementara bagi jurnalis Ketik.com, selain turut melestarikan budaya, momen tahunan ini bukan sekadar tugas rutin peliputan seperti biasa. Ibarat rumah kedua, saat remaja banyak waktu luang di habiskan untuk menyambangi dusun paling atas di lereng Merapi yang saat itu masih sangat asri ini.

Kini mengikuti acara adat Labuhan Merapi, serasa reuni dengan para pendaki lintas generasi yang pernah "eksis"  menghabiskan malam Minggu atau masa liburan ngecamp  di Kinahrejo maupun Bumi Perkemahan Bebeng, Kali Adem. Momen temu kangen dengan warga setempat maupun sesama pendaki, pada masa jayanya jalur pendakian Kinahrejo dahulu.

Tak dimungkiri, di balik dinginnya kabut, curamnya jurang dan terjalnya jalur pendakian Gunung Merapi saat itu terselip banyak kisah kasih yang bermekaran.

Pesona jalur pendakian favorit di masa lalu ini menjadi saksi bisu lahirnya banyak pasangan yang bertemu jodoh di antara debu dan bebatuan. Menjadikan setiap langkah menuju Sri Manganti bagi sejumlah peserta sebagai perjalanan pulang ke masa muda yang penuh warna.

 

Keramahan Kinahrejo yang Tak Luntur

Malam sebelum puncak labuhan dimulai, suasana di Ngrangkah, Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, seolah memutar kembali jarum jam ke masa lampau. Ubo rampe labuhan disemayamkan semalam di pendopo petilasan kediaman alm. Mbah Marijan, malam itu juga dilakukan pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

Di bawah temaram lampu jalan, pesona kabut dan dinginnya malam. Beberapa warga setempat membuka pintu rumah mereka yang ada di Kinahrejo lebar-lebar bagi para tamu yang datang. Tanpa sekat kelas sosial. Para pendaki, peziarah, maupun wisatawan membaur dengan masyarakat dan abdi dalem di pendapa atau emperan masjid untuk melakukan tirakatan semalam suntuk, ditemani oleh denting gamelan dan bayang-bayang pagelaran wayang kulit.

Pemandangan di dusun terakhir lereng Merapi sisi selatan ini menjadi momen langka yang sangat emosional bagi siapa saja yang mengenal Merapi. Pasalnya, suasana Kinahrejo yang kini setiap malamnya sepi karena warganya telah tinggal di rumah Hunian Tetap (Huntap) Dusun Karang Kendal, Umbulharjo, Cangkringan mendadak kembali berdenyut kencang.

Dusun yang biasanya sunyi sejak pemukiman dipindahkan pasca erupsi besar itu, sejenak hidup kembali. Bekas rumah lama yang di bangun kembali seakan bernapas, dan kehangatan persaudaraan seolah mengalahkan dinginnya udara lereng Merapi.

Persaudaraan ini bukan sekadar basa-basi, melainkan ruh utama yang menghidupkan denyut labuhan. Warga tidak hanya menyediakan tempat berteduh, tetapi juga ruang diskusi yang intim di warung - warung kecil.

Ekosistem persaudaraan terasa lengkap dengan kehadiran relawan, Tim SAR, hingga petugas keamanan yang berjaga menjadikan malam itu bukan sekadar penjagaan. Melainkan reuni besar lare-lare Redi  Merapi (anak - anak Gunung Merapi,red) istilah mbah Maridjan saat masih sugeng (hidup) pada para tamunya (Pegiat Alam).

Kondisi tadi semakin terasa ketika para relawan, Tim SAR, Pramuka, PMI hingga petugas keamanan berjaga di sepanjang jalur labuhan yang juga merupakan jalur pendakian Gunung Merapi. Mereka bukan sekadar instrumen penjagaan, melainkan bagian dari satu keluarga besar yang menjaga kelancaran doa massal ini. (*)

Baca kelanjutannya di Seri 2-Habis: Menapak Jejak Sri Manganti dan Sinergi Konservasi Budaya."

Tombol Google News

Tags:

Labuhan Merapi Gunung Merapi Keraton Yogyakarta Jumenengan Dalem Mbah Maridjan Kinahrejo Umbulharjo mitigasi bencana Relawan Merapi Sasmita Merapi Jalur Pendakian Merapi Juru Kunci Merapi Mbah Asih