Suasana kelas berubah seketika. Di depan, sang guru berdiri dengan selembar kertas di tangan, bukan sekadar membacakan, tapi menghayati setiap bait puisi dengan nada bergetar dan mata yang berbinar. “Aku ini binatang jalang…” suaranya tegas, menggema.
Anak-anak yang biasanya gaduh mendadak terpaku. Mereka terhanyut, seolah ikut masuk ke dalam dunia kata-kata Chairil Anwar. Pada momen itulah, sastra bukan lagi sekadar Pelajaran. Ia menjelma menjadi pengalaman yang menyentuh hati nurani. Inilah bukti bahwa demonstrasi guru memiliki kekuatan besar dalam menghidupkan pembelajaran sastra.
Sastra yang Mulai Terlupakan di Era Digital. Kini, anak-anak tumbuh dalam arus digital yang deras. Mereka lebih akrab dengan ponsel dan layar game dibandingkan buku cerita. Kisah klasik tergeser oleh video singkat, puisi kalah saing dengan konten hiburan.
Tak heran jika pelajaran sastra di sekolah sering dianggap membosankan, sekadar menghafal unsur intrinsik, tokoh, atau amanat tanpa meresapi maknanya. Padahal, sastra sejatinya merupakan cermin kehidupan manusia. Ia menumbuhkan rasa empati, melatih imajinasi, dan memperhalus budi pekerti.
Melalui cerita dan puisi, anak-anak belajar bahwa memahami perasaan orang lain, mengenali nilai moral, dan mengasah kepekaan terhadap lingkungan. Sayangnya, keindahan dan makna itu sering tak tersampaikan karena cara pengajarannya terlalu teoritis, kaku, bahkan jauh dari kehidupan nyata.
Guru berperan penting untuk mengubah keadaan ini. Dengan cara yang kreatif, ia bisa menyihir sastra menjadi sesuatu yang hidup dan menarik bagi anak-anak. Salah satu caranya ialah dengan mendemonstrasikan langsung keindahan karya sastra di depan siswa.
Menghidupkan Cerita Melalui Aksi Guru. Metode demonstrasi berarti guru tidak hanya menjelaskan, tetapi menunjukkan dan memperagakan. Dalam pembelajaran sastra, guru berperan sebagai penghubung antara teks dan pengalaman. Ia mengubah kata menjadi gerak, suara, dan ekspresi.
Ketika mengajarkan puisi, misalnya, guru bisa membacakan dengan intonasi dan ekspresi penuh penghayatan yang dalam. Anak-anak tak hanya mendengar, tapi ikut merasakan getaran makna di setiap bait dan katanya.
Begitu juga dalam dongeng atau cerita rakyat, guru dapat memainkan peran tokoh, menirukan suara binatang, atau menggunakan alat peraga sederhana yang menarik indra penglihatan matanya. Dari situ, anak-anak belajar memahami isi cerita sambil menikmati prosesnya. Dengan demonstrasi, karya sastra tidak lagi berhenti di halaman buku, melainkan hadir sebagai pengalaman yang menggerakkan imajinasi.
Mengapa Demonstrasi Begitu Berpengaruh?
Pertama, demonstrasi menyentuh emosi dan pancaindra siswa. Anak-anak akan lebih mudah memahami nilai dan pesan sastra ketika mereka melihat dan merasakan langsung. Emosi membantu memperkuat ingatan, membuat pesan dalam karya sastra lebih melekat dalam hati.
Kedua, metode ini menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Kelas tidak lagi sepi dan membosankan. Anak-anak tertawa, bereaksi, dan ikut berpartisipasi. Dalam suasana seperti itu, mereka belajar tanpa tekanan, dan sastra menjadi kegiatan yang selalu dinantikan.
Ketiga, demonstrasi menumbuhkan rasa percaya diri serta kreativitas. Setelah melihat gurunya tampil, anak-anak akan terdorong untuk mencoba membaca puisi atau memainkan peran dalam drama kecil. Dari proses itulah lahir keberanian untuk mengekspresikan diri, menulis cerita, dan menciptakan karya sendiri.
Guru: Aktor di Panggung Pendidikan?
Guru yang mampu mendemonstrasikan sastra bukan sekadar pengajar, tetapi juga aktor dan seniman di ruang kelas. Ia membawa cerita menjadi lebih hidup dan mengajak anak-anak ikut serta dalam merasakan setiap maknanya. Seorang guru yang tampil dengan ekspresi tulus tidak hanya mengajar, tapi juga menyentuh hati.
Namun, tidak semua guru langsung nyaman melakukan demonstrasi. Beberapa mungkin merasa canggung atau takut terlihat lucu di depan siswa. Padahal, anak-anak justru menyukai keaslian dan keberanian guru mereka. Demonstrasi tidak menuntut kemampuan akting professional layaknya artis dalam bingkai layar film, akan tetapi yang penting adalah kehangatan, spontanitas, dan kesungguhan.
Setelah guru memberi contoh, biarkan siswa mengambil giliran. Ajak mereka membacakan puisi, memerankan tokoh, atau mendiskusikan makna cerita. Keterlibatan langsung inilah yang membuat mereka belajar lebih dalam dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap karya sastra itu sendiri.
Tantangan dan Dukungan yang Dibutuhkan?
Memang, penerapan metode ini tidak selalu mudah. Ada kendala waktu, keterbatasan alat peraga, atau kurangnya pelatihan bagi guru. Namun hambatan itu bukan menjadi alasan untuk berhenti mencoba. Demonstrasi ini bisa dilakukan secara sederhana, dengan suara, ekspresi, dan gerakan yang tulus tanpa memerlukan perlengkapan khusus.
Dukungan dari sekolah dan pemerintah juga penting. Pelatihan guru dalam membaca puisi, bermain drama, atau menulis kreatif dapat memperkaya kemampuan mereka mengajar sastra dengan cara yang menarik. Sekolah dapat membuat kegiatan rutin seperti pentas sastra mingguan atau kelas ekspresi bahasa, agar siswa dan guru sama-sama menikmati arti dari sebuah proses belajar.
Sastra yang Hidup di Hati Anak
Bayangkan setiap kelas menjadi ruang cerita yang penuh cita. Guru bercerita dengan penuh semangat, anak-anak menyimak dengan antusias, lalu tertawa atau terdiam saat makna cerita menyentuh perasaan mereka. Setelah itu, mereka menulis versi kisah mereka sendiri dengan penuh bangga.
Itulah wujud pembelajaran sastra yang sejati, menyentuh hati, menumbuhkan rasa, dan membentuk karakter. Sastra mengajarkan nilai kemanusiaan yang tak lekang oleh waktu. Dan guru, dengan metode demonstrasinya, menjadi penjaga api agar nilai itu tetap menyala di hati generasi muda.
Ketika seorang guru berani menampilkan sastra dengan jiwa dan cinta, sesungguhnya ia tidak hanya sedang mengajar pelajaran bahasa, melainkan menyalakan cahaya dalam diri anak-anaknya.
Dari sana, tumbuh generasi yang mampu memahami bahwa kata bukan hanya rangkaian huruf, tetapi kekuatan yang bisa menyembuhkan, menginspirasi, dan mengubah dunia. Karena sejatinya, di tangan seorang gurulah yang mampu menghidupkan sastra, maka keindahan bahasa tidak akan pernah pudar.
*) Haniyah Kamilah Az-Zahra merupakan Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
