Fotografi Bukan Hanya Sebatas Cahaya, tetapi Rasa

26 Oktober 2025 12:01 26 Okt 2025 12:01

Thumbnail Fotografi Bukan Hanya Sebatas Cahaya, tetapi Rasa
Oleh: Muhammad Hesa Maulana*

Setiap manusia dilahirkan dengan talenta yang berbeda-beda. Ada yang pandai berbicara, ada yang mampu menulis dengan indah, ada pula yang memiliki kepekaan visual untuk menangkap keindahan dunia melalui kamera dan lensa.

Bagi saya, fotografi bukan sekadar hobi, melainkan bentuk ekspresi diri yang lahir dari talenta yang tumbuh perlahan-lahan seiring pengalaman dan kepekaan terhadap kehidupan.

Fotografi secara etimologis, kata “fotografi” berasal dari bahasa Yunani photos yang berarti cahaya dan graphos yang berarti melukis. Maka, fotografi dapat dimaknai sebagai “melukis dengan cahaya”. Kalimat itu tidak hanya menjelaskan aspek teknis, tetapi juga makna filosofis yang dalam. 

Seorang fotografer tidak sekadar memotret apa yang terlihat, melainkan berusaha mengisahkan sesuatu yang tidak tampak mulai dari perasaan, suasana, bahkan nilai kehidupan yang tersembunyi di balik bayangan dan cahaya.

Saya mengenal dunia fotografi sejak kecil. Ayah saya adalah seorang wartawan yang sering membawa kamera ke manapun ia pergi. Dari situlah saya mulai mengenal kamera sebagai sebuah benda kecil dengan kemampuan besar untuk merekam kehidupan.

Namun, di masa kecil, kamera bagi saya hanyalah alat untuk bermain, bukan sesuatu yang saya pahami secara mendalam. Saya memotret sekadar untuk bersenang-senang, tanpa tahu bahwa di balik lensa itu tersimpan dunia yang begitu luas dan bermakna. 

Ketika saya duduk di bangku SMA kelas 11, saya mulai merasa jenuh dengan rutinitas sehari-hari. Saya merasa seperti kehilangan arah dan tidak tahu apa yang sebenarnya menjadi minat saya.

Di tengah kebingungan itu, saya menemukan kembali kamera pemberian ayah yang sudah lama tergeletak di lemari. Saya mulai menggunakannya kembali, namun kali ini dengan niat yang berbeda. Saya ingin mendalami fotografi, memahami teknisnya, dan menemukan makna di balik setiap gambar.

Saya belajar secara otodidak melalui internet, menonton berbagai tutorial, membaca buku pemberian Ayah, serta mencoba berbagai jenis pemotretan. Dari proses belajar itu, saya menemukan ketertarikan yang mendalam pada genre Human Interest.

Human Interest adalah genre foto yang menampilkan sisi kehidupan manusia, baik suka maupun duka, dengan tujuan membangkitkan simpati dan empati dari pengamat melalui ekspresi, emosi, dan interaksi dengan lingkungannya.

Dari genre ini saya merasakan ketenangan mendalam dengan melihat dan mengartikan karya foto yang saya potret. Genre ini telah membuka hati saya terhadap makna sesungguhnya dari fotografi bukan hanya sebagai seni visual, tetapi juga sebagai media untuk menyampaikan pesan moral dan sosial.

Dari setiap potret manusia yang saya abadikan, saya belajar melihat kehidupan sosial dengan lebih mendalam, melihat keindahan dalam kesederhanaan, dan empati dalam setiap ekspresi wajah.

Bagi saya, Human Interest adalah cermin kemanusiaan. Genre ini mengajarkan saya untuk peka terhadap lingkungan, menghargai kisah setiap individu, serta menemukan nilai-nilai kehidupan yang mungkin luput dari pandangan kita sebagai manusia dalam bersosial sehari-hari. Melalui fotografi ini, saya merasa lebih dekat dengan manusia lain, dan lebih mengenal diri saya sendiri sebagai bagian dari kehidupan yang luas dan beragam.

Berangkat dari sana, saya mulai memberanikan diri untuk memulai bisnis fotografi secara lebih serius. Awalnya, langkah ini terasa berat karena saya menyadari bahwa dunia bisnis sangat berbeda dengan sekadar menyalurkan hobi. Namun, dorongan untuk mengembangkan passion dan keyakinan bahwa karya saya memiliki nilai lebih membuat saya terus maju.

Saya mulai belajar tentang manajemen klien, strategi pemasaran, hingga cara membangun identitas visual yang kuat agar hasil karya saya memiliki ciri khas tersendiri. Selain itu, saya juga mulai membangun identitas visual yang kuat sebagai ciri khas dari setiap karya.

Dalam dunia fotografi profesional, identitas visual menjadi hal yang penting karena menandakan karakter seorang fotografer. Seiring waktu, kepercayaan diri saya tumbuh ketika mulai mendapatkan apresiasi dari orang-orang yang menghargai hasil karya saya.

Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat klien tersenyum puas, karena di situ saya merasa bahwa makna yang saya coba sampaikan melalui foto benar-benar sampai kepada mereka. Dari perjalanan ini, saya memahami bahwa fotografi bukan hanya tentang menangkap momen, tetapi juga tentang membangun hubungan dan kepercayaan.

Fotografi mengajarkan banyak nilai kehidupan, seperti kesabaran, ketelitian, disiplin, serta kepekaan terhadap detail. Setiap pemotretan memiliki tantangan tersendiri, mulai dari kondisi cahaya, cuaca, hingga dinamika subjek. Namun, di balik setiap tantangan tersebut, selalu ada pembelajaran baru yang memperkaya pengalaman saya sebagai fotografer dan individu.

Fotografi telah membawa saya ke ranah yang lebih meyakinkan pada peralihan dari masa sekolah ke perguruan tinggi. Sekarang saya telah berkuliah Film di Universitas Jember untuk lebih mendalami sebuah arti gambar yang bukan hanya gambar diam tetapi gambar yang bergerak yaitu Karya Film.

Saya berharap dengan saya melanjutkan ke perguruan tinggi saya bisa menggapai cita-cita saya sebagai Director Of Photography atau penata kamera. Melalui perjalanan ini, saya menyadari bahwa talenta bukanlah sesuatu yang langsung sempurna sejak lahir. Talenta adalah benih yang harus dirawat, diasah, dan dikembangkan melalui proses panjang.

Seperti cahaya yang membutuhkan arah untuk membentuk bayangan, talenta juga membutuhkan tujuan agar dapat bersinar. Fotografi telah menjadi ruang bagi saya untuk menyalurkan potensi, menumbuhkan kepekaan, dan memahami nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan kamera di tangan, saya tidak hanya melihat dunia, tetapi juga belajar memaknainya. Setiap foto yang saya hasilkan adalah refleksi perjalanan batin tentang bagaimana manusia hidup, berjuang, dan bertahan. Fotografi telah mengajarkan saya bahwa setiap cahaya yang jatuh di depan lensa bukan hanya tentang visual, tetapi tentang kehidupan itu sendiri.

*) Muhammad Hesa Maulana merupakan Mahasiswa Universitas Jember Program Studi Televisi dan Film
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Hesa Maulana fotografi