Bersama Santri dan Pesantren, Membangun Negeri dari Keikhlasan

22 Oktober 2025 14:32 22 Okt 2025 14:32

Thumbnail Bersama Santri dan Pesantren, Membangun Negeri dari Keikhlasan
Oleh: Hisnindarsyah*

Dunia pesantren masih menjadi topik hangat sorotan publik. Setelah gelombang kritikan tajam atas musibah robohnya gedung di Pondok Pesantren, kini perbincangan semakin melebar. Termasuk media nasional ikut menayangkan konten kritikan gaya hidup segelintir Kiai yang dianggap mewah. Serta kritikan tradisi santri yang dinilai sebagai bentuk perbudakan.

Tuduhan-tuduhan semacam itu seringkali datang dari kacamata luar yang tidak memahami ruh dan nilai-nilai fundamental yang telah menggerakkan pesantren selama berabad-abad. Menghakimi dunia pesantren yang telah berusia ratusan tahun hanya dari permukaan adalah sebuah kekeliruan.

Keikhlasan Pengabdian, Fondasi Pesantren

Masyarakat masa kini banyak yang melupakan sejarah, bahwa pesantren lahir bukan dari kemewahan, melainkan dari keikhlasan pengabdian. Ketika pintu pendidikan formal ditutup rapat bagi kaum pribumi di era kolonial, para Ulama yang tampil sebagai benteng ilmu dan moral.

Para ulama mengajar tanpa pamrih, seringkali hanya dibayar dengan beras, singkong, atau bahkan nihil. Pengabdian inilah yang mengakar dan terus hidup hingga hari ini di ribuan pesantren di pelosok negeri.

Hingga saat ini, masih banyak pesantren yang tetap mematok biaya yang sangat murah, bahkan gratis bagi anak yatim dan warga sekitar. Agar ilmu tetap dapat diakses oleh semua kalangan. 

Konsekuensi dari kebijakan tersebut mengakibatkan fasilitas yang tersedia seringkali sangat sederhana. Tak jarang kita temui gedung yang rapuh, kamar santri yang berdesakan, dan dapur umum kecil dengan fasilitas seadanya yang dikelola bersama.

 Musibah runtuhnya gedung hingga mengakibatkan korban jiwa, harus menjadi pengingat bahwa lembaga-lembaga yang beroperasi atas dasar keikhlasan ini, sangat membutuhkan dukungan kita semua.

Maka narasi segelintir Kiai yang hidup mewah dengan mobil Alphard sementara santrinya hidup prihatin, adalah generalisasi yang tidak adil. Hal tersebut mengabaikan jutaan kiai lain di seluruh pelosok negeri yang mengabdikan hidup mereka dalam kesederhanaan. 

Bahkan, banyak dari para Kiai pengasuh pesantren justru membangun usaha sampingan bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk menopang biaya operasional pesantren agar tidak membebani santri. Pesantren adalah lembaga yang berdiri di atas keringat dan ketulusan, bukan kemewahan.

Tuduhan lain yang tak kalah santer adalah anggapan bahwa tradisi di pesantren merupakan bentuk perbudakan modern. Aktivitas seperti kerja bakti (ro'an) atau tradisi santri mencium tangan Kiai disalahartikan sebagai eksploitasi. Tuduhan tersebut adalah tuduhan yang tidak tepat dan tidak mendasar.

Bagi santri, terlibat dalam ro'an seperti membersihkan lingkungan pesantren atau membantu pembangunan gedung, adalah momentum yang dinanti-nantikan dengan penuh kebanggaan. Hal ini adalah wujud rasa memiliki dan kesempatan untuk berbakti. 

Demikian pula dengan tradisi mencium tangan kiai. Hal tersebut bukanlah gestur perbudakan, melainkan tanda cinta (mahabbah) dan penghormatan tertinggi (ta'dzim) kepada guru yang telah memberikan ilmunya dengan tulus.

Dalam tradisi pesantren ada keyakinan mendalam, "Saya adalah hamba dari siapa pun yang telah mengajarkan saya walau hanya satu huruf." Ini adalah kerangka spiritual yang tidak bisa diukur dengan standar relasi transaksional modern. Di dalam dunia Pesantren, pengabdian adalah kehormatan bukan penindasan.

Kritik Adalah Perbaikan

Semangat keikhlasan dan tradisi khidmah tidak boleh menjadi pembenaran mutlak untuk mengabaikan aspek keselamatan. Tragedi robohnya gedung pesantren ataupun viralnya video ratusan santri mengecor bangunan bertingkat adalah sebuah alarm keras bagi dunia pesantren untuk mulai berbenah. 

Semangat gotong royong memang mulia. Tetapi untuk proyek konstruksi berskala besar, terutama bangunan bertingkat, keahlian profesional adalah sebuah keharusan.

Pesantren perlu mulai mengadopsi prinsip-prinsip dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Ini bukan berarti mengubah pesantren menjadi korporasi, namun memastikan adanya manajemen mitigasi risiko yang jelas.

Area konstruksi harus dipagari dan diberi penanda yang jelas, serta aksesnya harus dibatasi secara ketat. Santri tidak boleh ditempatkan atau beraktivitas di dalam gedung yang belum selesai dibangun dan belum teruji kelayakannya.

Pesantren bisa memberdayakan jaringan alumninya yang mungkin berprofesi sebagai arsitek atau insinyur sipil untuk memberikan konsultasi, atau secara proaktif bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan swasta yang memiliki keahlian di bidang konstruksi. Modernisasi manajemen seperti ini bukanlah pengkhianatan terhadap tradisi. Melainkan sebuah ikhtiar untuk melindungi aset paling berharga, yaitu nyawa para santri.

Pesantren telah terbukti menjadi tulang punggung pendidikan karakter bangsa selama berabad-abad. Jasa mereka dalam mencerdaskan kehidupan rakyat kecil, dari zaman penjajahan hingga hari ini, sungguh tidak ternilai harganya. Alih-alih melontarkan kritik destruktif dari luar, inilah saatnya bagi masyarakat untuk ikut peduli dan berkontribusi.

Dukungan tidak harus selalu berupa materi. Bagi para alumni yang telah sukses, menyumbangkan keahlian profesionalnya adalah bentuk khidmah yang luar biasa. Bagi masyarakat luas, membantu menyebarkan pemahaman yang lebih adil tentang kehidupan pesantren dan berpartisipasi dalam program donasi untuk perbaikan fasilitas adalah langkah nyata yang sangat berarti.

Dengan dukungan bersama, pesantren dapat terus berevolusi menjawab tantangan zaman. Menjadi lembaga yang tidak hanya kokoh secara spiritual dan moral, tetapi juga kuat dan aman secara fisik. Bersama Pesantren kita membangun negeri. 

SELAMAT HARI SANTRI 2025 

*) Dr. Hisnindarsyah merupakan Pengurus Pusat Gerakan Nasional Ayo Mondok sekaligus Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter NU

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Pesantren Hisnindarsyah