KETIK, YOGYAKARTA – Kinahrejo, nama dusun kecil yang terletak anggun di lereng selatan Gunung Merapi, kini mungkin lebih dikenal secara luas sebagai destinasi utama "Lava Tour" pasca-erupsi dahsyat 2010. Namun, citra tersebut tidak sepenuhnya mewakili esensi sejati Kinahrejo bagi generasi pecinta alam era tahun 80-90 an.
Bagi mereka, Kinahrejo adalah potret sejati harmoni yang damai, sebuah surga pendaki yang riuh, dan simpul persaudaraan erat yang sempat terjalin sebelum amukan awan panas meluluhlantakkan dusun kediaman almarhum Juru Kunci legendaris, Mbah Maridjan.
Kenangan akan masa keemasan Kinahrejo, yang dulunya merupakan jalur utama pendakian Merapi sisi selatan, hingga kini masih sering menjadi bahan diskusi hangat yang tak pernah kering di kalangan komunitas pecinta alam di Yogyakarta. Mereka merindukan setiap jengkal jalan setapak dan setiap cerita yang terukir di sana.
Arjunanto, yang akrab disapa Juno, pentolan dari Gabungan Pecinta Alam (GPA) Malioboro dan bermukim di Gondolayu, menceritakan dengan nada penuh nostalgia bagaimana Kinahrejo pada masa itu terasa sangat sakral dan memiliki bobot spiritual yang dalam.
GPA Malioboro sendiri pada era 90-an dikenal memiliki basis dan ikatan yang kuat, bahkan sering menginap di sekitar kediaman Mbah Maridjan.
“Kinahrejo bukan sekadar basecamp pendakian biasa. Itu adalah sebuah babak, sebuah perjalanan yang memiliki ritualnya sendiri. Kami yang dari Yogyakarta, harus naik bus ke terminal Kaliurang terlebih dahulu, dan dari sana, kami harus menempuh perjalanan kaki sejauh 9 hingga 10 kilometer," ujarnya, mengenang rasa sakit di kaki yang berbalas kepuasan batin.
"Jalur tersebut membelah tanjakan panjang dan hutan pinus yang sunyi. Lelahnya perjalanan itu justru adalah kenikmatan, sebuah bagian esensial dari ritual penempaan fisik dan mental sebelum benar-benar mendaki Merapi yang sesungguhnya,” sambungnya.
Alumni SMA Negeri 3 (Padmanaba) Yogyakarta ini mengenang dengan detail bahwa setiap malam Minggu, Kinahrejo selalu dipenuhi, bahkan membludak, oleh ratusan pendaki yang datang dari berbagai daerah di Jawa dan sekitarnya. Suasana riuh rendah diiringi tawa dan celotehan.
Beberapa warung sederhana milik warga menjadi titik vital tempat berkumpul, berbagi bekal logistik yang dibawa dari kota, dan bertukar cerita perjalanan atau pengalaman pendakian di bawah hawa dingin pegunungan yang menusuk tulang.
Ikatan emosional antara para pecinta alam dan warga dusun Kinahrejo terjalin sangat erat di warung-warung sederhana ini. Sapaan hangat dan obrolan ringan dengan pemilik warung, yang mereka kenal satu per satu, menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual pendakian.
“Kehangatan utamanya ada di sana, di tengah hawa dingin yang membeku. Dinginnya malam itu seolah luntur, hilang tak berbekas, karena kehangatan interaksi antar sesama pendaki dan keramahan tulus warga. Dan yang paling legendaris, yang membuat Kinahrejo selalu istimewa, ya minuman atau wedang Gedang (pisang) itu. Itu minuman yang sangat sederhana, terbuat dari pisang raja yang diiris tipis-tipis, kemudian diseduh dengan air panas mengepul dan gula. Sederhana, tapi wedang Gedang itu adalah primadona," kenang pria yang akrab disapa Juno ini, Minggu 26 Oktober 2025.
"Rasanya pas sekali, apalagi ditemani ampyang beraroma jahe di padu panasnya bakwan. Semua itu terasa sempurna untuk mengisi energi dan menghangatkan badan sebelum ‘bertempur’ melawan tanjakan terjal Merapi, biasanya dimulai sekitar jam dua dini hari,” samhungnya.
Kinahrejo sebagai Pusat Spiritual Pendaki
Kisah otentik tentang Kinahrejo ini juga diamini dan diperkuat oleh aktivis pecinta alam dari selatan Yogyakarta. Sriyanto (Kucir), aktivis pecinta alam gaek yang berasal dari Imogiri, Bantul, menekankan bahwa Kinahrejo bukan hanya sekadar basecamp transit, melainkan memiliki fungsi yang lebih mendalam sebagai pusat spiritual dan etika pendakian.
"Kami yang dari Imogiri (Bantul) pada masa itu juga banyak memilih Kinahrejo jika ingin menuju puncak Merapi. Kami akui, jalur itu memang menantang dan menguji nyali. Ada tanjakan super terjal di beberapa titik, belum lagi bahaya rawan longsor yang harus diwaspadai. Tapi yang membuat kami selalu kembali ke Kinahrejo adalah nuansa batin yang kuat dan kental," beber Kucir, menjelaskan preferensi jalur tersebut.
Kucir menambahkan, salah satu tradisi yang paling berharga dan tak tergantikan adalah interaksi langsung dengan sosok Mbah Maridjan.
“Mbah Maridjan itu sudah dikenal luas di kalangan pendaki jauh sebelum beliau jafi bintang iklan dan terkenal di media massa. Beliau sering menyapa kami dengan ramah dan tulus. Wejangan beliau selalu sederhana, namun mengena di hati dan pikiran, hormati alam, jangan sombong di gunung, dan jangan lupa permisi pada yang punya rumah (Merapi)," tutur Kucir, mengakui betapa abadinya pesan sang Juru Kunci.
"Nasihat penuh makna dan kerendahan hati itu selalu kami bawa dan jaga sampai kami mencapai puncak Merapi, bahkan hingga kami kembali turun,” lanjut Kucir.
Potret Kinahrejo tak lama setelah erupsi Merapi 2010. Jalur pendakian tertutup material lahar dingin. Spanduk "Green Action" menjadi simbol bangkitnya semangat komunitas (PMII, TAGANA, Malioboro Freelance, dll) untuk merestorasi Kinahrejo. (Foto: Dok GPA MF for Ketik.com)
Dari Pendaki Menjadi Garda Terdepan Relawan 2010
Juno dan Kucir sama-sama mengakui bahwa ikatan batin yang telah terjalin selama puluhan tahun di Kinahrejo inilah yang pada akhirnya mendorong seluruh aktivis pecinta alam untuk menjadi garda terdepan saat bencana erupsi Merapi datang.
Ketika Merapi 'batuk' keras pada 26 Oktober 2010, 15 tahun yang lalu, praktis sebagian besar komunitas pecinta alam di Yogyakarta, termasuk anggota GPA Malioboro, langsung bergerak cepat.
"Gerakan ini bukan lantaran perintah formal, tapi murni karena panggilan batin yang mendesak. Kami merasa punya utang budi pada Kinahrejo, dan rasa sedih itu amat sangat dalam tatkala kami tahu banyak wajah-wajah yang kami kenal, warga dusun yang selalu menyambut kami, kini menjadi korban awan panas Merapi. Ini adalah tanggung jawab moral kami," tegas Juno, menjelaskan motivasi utama mereka.
Ia melanjutkan, pengalaman mendaki Merapi di jalur Kinahrejo yang ekstrem, yang dikenal memiliki medan terjal, berpasir, dan sulit, menjadikan mereka relawan yang menguasai medan di daerah Cangkringan.
"Teman-teman Pecinta Alam tahu persis jalan tikus tersembunyi, tahu aliran sungai yang bisa dilewati, dan terbiasa dengan kondisi dingin serta kelelahan ekstrem. Pengalaman ini sangat vital. Banyak dari kami yang langsung bertugas menjadi tim evakuasi di garis depan, tim logistik yang berani menerobos, hingga tim penyisiran yang berani mendekati zona merah yang paling berbahaya," kenang Juno, bangga akan peran rekan-rekannya.
Fajar, Jurnalis Ketik.com yang juga seorang aktivis Pecinta Alam, ikut menjadi saksi mata saat para pendaki berubah peran vital menjadi relawan.
"Pada saat yang genting itu, keberadaan para aktivis pecinta alam, yang sudah terlatih secara fisik dan mental di medan terjal, banyak yang terjun jadi relawan. Tugas mereka tidak hanya menyelamatkan warga yang panik, tetapi juga membantu mencari dan mengevakuasi korban yang terkena awan panas, termasuk rekan jurnalis dan relawan lain yang gugur syahid di dekat kediaman Mbah Maridjan," jelas Fajar, menggambarkan kondisi mencekam saat itu.
Fajar menambahkan, di tengah kepanikan dan kekacauan yang melanda, semangat survive dan solidaritas yang mereka dapatkan dari komunitas gunung lah yang menjadi modal utama mereka untuk tetap kuat dan bergerak.
"Kinahrejo yang dulu mengajarkan kami tentang persaudaraan sejati, Kinahrejo yang kini menjadi saksi bisu bahwa persaudaraan itu diwujudkan dalam aksi nyata, mempertaruhkan nyawa demi kemanusiaan," tutup Fajar dengan penuh haru. Kinahrejo memang telah berubah drastis setelah erupsi 2010.
Namun, kisah tentang dusun terakhir di lereng Merapi yang riuh oleh tawa pendaki, dihangatkan oleh wedang Gedang yang manis, dan diuji oleh bencana besar, akan terus diwariskan sebagai bagian penting dan abadi dari sejarah pendakian dan kemanusiaan di kaki Gunung Merapi. (*)
