Pendidikan Karakter: Antara Slogan dan Kenyataan

19 Oktober 2025 12:40 19 Okt 2025 12:40

Thumbnail Pendidikan Karakter: Antara Slogan dan Kenyataan
Oleh: Nurangsih S. Hasan, S.Pd, M.Pd*

Keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuan nasional bukan hanya ditentukan oleh sumber daya alam, tetapi juga ditentukan oleh sumber daya manusianya. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, bangsa Indonesia sangat memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang besar dan bermutu untuk mendukung terlaksananya program pembangunan dengan baik. Untuk itu, dibutuhkan pendidikan yang berkualitas sehingga menghasilkan anak didik yang unggul untuk mendukung tercapainya cita-cita bangsa.

Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana guna mencapai harapan agar peserta didik akan mendapatkan proses pembelajaran dan aktif mampu mengembangkan serta menyalurkan potensi dirinya agar memiliki moral yang baik meliputi keagamaan, akhlak yang mulia, kepribadian yang jujur dan bertanggung jawab, serta memiliki keterampilan yang nantinya akan berguna bagi dirinya maupun bagi masyarakat. 

Sebagaimana tertuang dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003: Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Sedangkan visi yang diemban oleh pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan produktif menjawab tantangan zaman (Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003: 7).

Berdasarkan tujuan pendidikan Nasional pada tahun 2010 pemerintah menggulirkan Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa sehingga pengintegrasian dapat (memasukkan) pendidikan karakter dalam kurikulum lembaga pendidikan adalah sebuah keharusan. 

Dari itu, perlu juga dipahami bahwa pendidikan karakter (character education) akhir-akhir ini menjadi suatu fenomena yang menarik untuk dikaji dan dianalisis secara bersama baik ditinjau dari perspektif politik, birokrasi maupun ditinjau secara akademik secara universal.

Pendidikan karakter menjadi isu penting dalam dunia pendidikan saat ini, hal ini erat kaitanya dengan fenomena dekadensi moral yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang serba digital, dan di lingkungan pemerintah yang semakin meningkat dan beragam seperti Kriminalitas,

ketidakadilan, korupsi, kekerasan pada anak, pelanggaran HAM, adalah bukti bahwa telah terjadi krisis jati diri serta karakteristik bukan hanya pada peserta didik tapi juga pada bangsa Indonesia. Budi pekerti luhur, selama ini seakan menjadi asing dan jarang ditemui di tengah-tengah masyarakat.

Pendidikan karakter antara slogan dan kenyataan menyoroti jurang pemisah antara idealisme tujuan pendidikan karakter dan implementasinya di lapangan yang sering kali hanya menjadi slogan tanpa terwujud secara nyata. Ini terjadi karena adanya tantangan seperti implementasi yang tidak konsisten, kurangnya kedisiplinan serta keteladanan guru, kurikulum yang hanya berfokus pada teori dan pengaruh lingkungan luar yang cenderung pragmatis.

Saat ini pendidikan karakter sudah menjadi mantra pejabat yang terus diulang di setiap pidato, namun semuanya berakhir sebagai jargon tanpa jiwa. Sekolah sibuk menyiapkan nilai ujian, tetapi abai menyiapkan nurani. Guru dituntut menanamkan moral, sementara sistem menekan mereka dengan target administratif dan ranking. 

Di sisi lain, anak-anak tumbuh dalam budaya instan yang lebih menghargai popularitas daripada kejujuran. Ironisnya, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral justru kerap terjebak dalam praktik ketidakteladanan misalnya dari jual beli nilai hingga kekerasan simbolik di ruang kelas. Pertanyaannya adalah, adakah pendidikan karakter yang benar hidup dalam praktik, atau sekadar slogan manis untuk menutupi kebobrokan moral?

Masalah utama pendidikan karakter di Indonesia saat ini bukan pada konsepnya, tapi pada implementasinya. Kita terlalu sibuk menyusun modul serta pelatihan, dan program, tetapi lupa bahwa karakter lahir tidak dari teori melainkan dari keteladanan. Anak-anak belajar bukan hanya dari apa yang diajarkan tetapi, dari apa yang dilihat setiap saat. 

Ketika guru diminta mengajarkan kejujuran, namun anak-anak menyaksikan manipulasi data di sekolah secara tidak langsung nilai moral itu runtuh tanpa kata. Ketika siswa diminta menghormati perbedaan, namun melihat para elit bangsa saling mencaci di ruang publik tanpa henti, maka pendidikan karakter hanya menjadi ironi.

Krisis Keteladanan dari Sistem yang Kontradiktif

Pendidikan karakter seringkali terjebak dalam sistem yang justru kontradiktif. Sekolah berlomba mengejar akreditasi dan prestasi akademik, sementara pembinaan nilai hanya menjadi pelengkap administrasi. Guru yang ingin menanamkan disiplin seringkali tidak didukung oleh lingkungan yang adil. 

Dengan begitu nilai empati dan gotong royong dikampanyekan, tetapi sistem zonasi, kompetisi, dan ketimpangan fasilitas justru menumbuhkan rasa iri dan frustasi. Kita sedang membangun generasi yang mungkin cerdas secara kognitif, namun rapuh secara moral dan emosional.

Bukan Retorika tapi Reformasi Nilai

Sudah saatnya pemerintah berhenti menjadikan “pendidikan karakter” sebagai slogan seremonial di spanduk ataupun brosur. Dibutuhkan bukan lagi seminar atau lomba pidato tentang moral, melainkan reformasi sistem yang memungkinkan keteladanan itu dapat tumbuh. 

Kurikulum yang manusiawi, lingkungan belajar yang menghargai proses dan penghormatan terhadap integritas guru menjadi prioritas. Pendidikan karakter akan berhasil jika sistemnya memberi ruang bagi manusia untuk menjadi manusia bukan sekadar mesin pencetak nilai ataupun sertifikat.

Pendidikan karakter tidak tidak hidup di ruang kelas yang kehilangan nurani. Selama sekolah masih mengajarkan kepatuhan tanpa keberanian, kebaikan tanpa keadilan, dan moral tanpa keteladanan, maka pendidikan kita akan terus berjalan pincang. Karakter bukan tambahan dari pendidikan tapi jantungnya pendidikan. Tanpa karakter, segala pengetahuan hanya akan melahirkan kecerdasan yang dingin dan manusia yang kehilangan arah.

*) Nurangsih S. Hasan, S.Pd, M.Pd merupakan pemerhati pendidikan

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Pendidikan karakter Nurangsih S. Hasan