KETIK, JEPARA – Upaya pemulihan ekosistem Pegunungan Muria kembali dilakukan melalui kegiatan penanaman pohon di Bukit Savana Puncak Tunggangan, Minggu, 21 Desember 2025.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Gerakan Peduli Muria bersama Kampoeng Kopi Tempur, dengan melibatkan puluhan relawan dari berbagai komunitas se-Karesidenan Pati.
Penggagas kegiatan, Mahfudz Aly, mengatakan bahwa penanaman ini merupakan bentuk keprihatinan atas semakin rusaknya kawasan hutan Muria dan berkurangnya sumber mata air.
“Kegiatan penanaman di Bukit Savana Puncak Tunggangan ini memang kita inisiasi mewakili Gerakan Peduli Muria. Kita mengajak teman-teman komunitas dari Pati, Jepara, dan Kudus. Relawan yang ikut sekitar 40 sampai 50 orang, mewakili berbagai organisasi dan komunitas pecinta alam,” ujar Mahfudz.
Dua relawan menunjukkan salah satu pohon yang telah ditanam di kawasan Bukit Savana Puncak Tunggangan, Pegunungan Muria. Penanaman ini merupakan bagian dari aksi reboisasi Gerakan Peduli Muria untuk memulihkan fungsi hutan dan menjaga keberlanjutan sumber mata air di kawasan pegunungan, Minggu (21/12/2025) (Foto: Malik Naharul/Ketik.com).
Sejumlah komunitas yang terlibat di antaranya Relawan Donking Jepara, Relawan Praduli Langgat Adhirajasa Pati, Gemati Vicus Jepara, Pring Kuning, TRC Adventure, Ansor Bagana Tempur, Pokja Destana Tempur Jepara, serta relawan independen dari Jepara, Pati, dan Kudus.
Dalam kegiatan tersebut, para relawan menanam sekitar 200–250 pohon di kawasan puncak Tunggangan, tepatnya di Pos 2 jalur pendakian Rahtawu, Kudus. Jenis pohon yang ditanam merupakan tanaman keras dan tanaman penyangga ekosistem.
“Jenis pohon yang kita tanam di antaranya pohon karet, ringin, pule, bergat, kepelung, dan jenis lainnya. Ini kita pilih untuk memperkuat kawasan dan membantu pemulihan lingkungan,” jelasnya.
Mahfudz menegaskan bahwa tujuan utama kegiatan ini adalah mengembalikan fungsi hutan yang rusak akibat kebakaran hebat tahun 1998, yang berdampak besar terhadap ekosistem Muria.
“Kebakaran hutan tahun ’98 itu dampaknya luar biasa. Dulu sekitar 25 tahun lalu ada ribuan sumber mata air, sekarang tinggal ratusan. Penanaman ini memang tidak seberapa, tapi ini ikhtiar kita untuk mengembalikan fungsi hutan dan sumber air,” katanya.
Sementara lahan yang digunakan untuk penanaman merupakan lahan pribadi yang telah dikelola secara khusus untuk konservasi, bukan untuk perkebunan.
“Lahan di Bukit Savana Tunggangan ini kita kelola pribadi, tapi khusus untuk konservasi. Tidak untuk kopi atau tanaman komersial. Kita buka untuk relawan yang ingin menanam, bahkan bisa satu lingkaran atau lebih,” tambah Mahfudz.
Ia juga mengingatkan dampak nyata kerusakan hutan yang pernah dirasakan warga Desa Tempur dan sekitarnya.
“Banjir bandang pernah terjadi di Desa Tempur sekitar Maret 2006. Itu delapan tahun setelah kebakaran hutan ’98. Akibatnya tiga rumah rusak, dua mobil hanyut, dan hampir seluruh jembatan di Desa Tempur putus. Itu menurut kami dampak langsung dari kebakaran dan pembabatan hutan,” ungkapnya.
Setelah kejadian tersebut, masyarakat sepakat menghentikan penanaman jagung di kawasan bekas kebakaran dan beralih ke tanaman keras dan kopi. Namun, menurut Mahfudz, muncul persoalan baru berupa menurunnya debit sumber mata air akibat minimnya pohon besar.
“Sekarang tanah memang kuat karena akar kopi saling mengikat, tapi masalah baru muncul, sumber air semakin berkurang karena pohon besar sudah sedikit. Maka sekarang kita menanam pohon untuk masa depan. Kita tanam hari ini, insyaallah 20–25 tahun ke depan pohon ini bisa mengembalikan sumber mata air untuk anak cucu kita,” pungkasnya.
Melalui kegiatan ini, para relawan berharap Bukit Savana Puncak Tunggangan kembali berfungsi sebagai kawasan resapan air dan penyangga ekosistem Pegunungan Muria, sekaligus menjadi pengingat pentingnya menjaga hutan demi keberlanjutan lingkungan. (*)
