KETIK, SURABAYA – Pemukiman warga di Perumahan Wisma Tengger, Kecamatan Benowo, Surabaya Barat, kini diselimuti keresahan akibat bau menyengat yang muncul setiap malam. Aroma tajam yang menyerupai bahan kimia itu diduga berasal dari aktivitas industri peleburan emas milik PT Suka Jadi Logam (SJL), yang beroperasi di tengah kawasan padat penduduk.
Kondisi tersebut memicu warga RW VI Kelurahan Kandangan mendirikan Posko Limbah B3 sebagai bentuk perlawanan dan pengawasan mandiri terhadap dugaan pencemaran lingkungan. Ketua RW VI, Teguh Pudjo Warsito, mengaku masyarakat sudah lelah menunggu kejelasan dari pihak perusahaan maupun pemerintah.
“Warga kami bingung, katanya pabrik mau pindah, tapi kok malah bawa mesin besar dan forklift. Akhirnya warga menolak truk untuk menurunkan mesin itu,” ujarnya.
Situasi ini menarik perhatian Anggota Komisi C DPRD Jawa Timur, Fuad Benardi, yang mendatangi langsung posko warga. Menurutnya, permasalahan PT SJL bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga menyangkut tata ruang dan penegakan hukum.
“Kalau memang melanggar prosedur IMB, tentu harus dilakukan penyetopan operasional. Perusahaan ini sudah berdiri tujuh tahun, dan baru sekarang masalahnya meledak,” ujarnya dengan nada heran sekaligus kecewa terhadap sistem yang tidak berjalan seperti yang seharusnya.
Fuad Bernardi mengunjungi Posko Bencana Limbah B3 yang didirkan oleh warga sekitar. (Foto: Dok. Fuad B)
Fuad yang juga mantan Ketua Karang Taruna Surabaya itu menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah terhadap industri di kawasan pemukiman. Ia menekankan pentingnya kejelasan izin usaha agar tidak terjadi penyalahgunaan izin operasional.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup, keluhan pertama warga tercatat pada November 2024, ketika bau limbah mulai mengganggu kegiatan warga pada malam hari. Puncaknya terjadi pada April 2025 yang membuat protes warga semakin meluas.
Meski demikian, Direktur PT SJL, Ericha Abmiekawati, membantah adanya pencemaran. “Yang dituduhkan selama ini kan kita mencemari udara, mencemari lingkungan, itu kan tidak betul. Berdasarkan kenyataan di lapangan, dari hasil uji emisi cerobong dan uji udara ambien, tidak ada pencemaran,” bantahnya dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD Surabaya pada September 2025.
Sebenarnya Indonesia memiliki regulasi yang cukup komprehensif terkait pengelolaan limbah B3. Tertuanh dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 6 Tahun 2021. Namun, implementasi regulasi tersebut sering tersendat saat di lapangan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan pada 2023, dari 573,89 ribu ton limbah B3 yang dihasilkan sektor kesehatan, hanya 85,65 ribu ton yang dikelola dengan benar. Adanya angka ini menunjukkan kesenjangan besar antara produksi dan pengelolaan limbah berbahaya.
Industri peleburan emas diketahui berpotensi menggunakan merkuri, yaitu zat kimia berbahaya yang dapat merusak sistem saraf dan ginjal. World Health Organization (WHO) mencatat paparan merkuri dalam jangka panjang dapat berakibat fatal. Kasus serupa pernah terjadi di Gorontalo, warga mengalami gangguan pernapasan akibat paparan asap peleburan emas.
Fuad menilai hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah daerah agar lebih tegas dalam memastikan setiap industri memiliki izin lingkungan lengkap, termasuk persetujuan teknis (Pertek). Berdasarkan data Komisi C DPRD Surabaya, PT SJL hingga kini belum memiliki dokumen tersebut.
Warga yang tinggal di sekitar lokasi mengeluhkan gangguan kesehatan seperti batuk dan sesak napas. Kekhawatiran semakin meningkat karena lokasi pabrik berdekatan dengan SDN Kandangan III yang menampung lebih dari 500 siswa.
Pemkot Surabaya telah menyegel sebagian bangunan PT SJL pada Juli 2025 karena tidak sesuai izin, namun sidak terakhir masih menemukan aktivitas produksi. Penyegelan dilakukan hanya pada bagian yang melanggar, bukan keseluruhan area pabrik.
Dalam kunjungannya, Fuad Benardi berjanji akan mempelajari seluruh dokumen izin dan laporan warga untuk memastikan kebenaran kasus ini. “Saya akan pelajari dulu. Karena setelah saya tanya tadi bapak ibu warga juga tidak tahu pasti terkait hal tersebut. Saya ingin lihat dulu surat-suratnya,” ujarnya.
Ketua RW VI, Teguh Pudjo menyambut langkah itu dengan harapan. “Saya merasa lega Mas Fuad sudah berkenan hadir dan mendengar keluh-kesah dan aspirasi kami sebagai warga Kelurahan Kandangan. Mudah-mudahan usaha kita ini menemukan titik terang setelah beberapa informasi dan masukan yang disampaikan Mas Fuad hari ini,” tuturnya.
Kisah PT SJL menjadi potret dilema antara kepentingan ekonomi dan kesehatan lingkungan. Posko Limbah B3 yang dibentuk warga bukan sekadar tempat pengawasan, tetapi simbol perlawanan masyarakat terhadap praktik industri yang dianggap merugikan.
Adanya respon Fuad Benardi menunjukkan bahwa masih ada harapan baru bagi warga, bahwa suara mereka bisa didengar oleh wakil rakyat. Apakah pabrik PT SJL ini akan ditutup atau diperbaiki total, keputusan akhirnya masih menunggu hasil investigasi. Namun satu hal pasti, tidak ada emas yang sebanding dengan nilai udara bersih dan lingkungan sehat bagi generasi mendatang. Kasus ini menjadi pembelajaran tentang pentingnya pengawasan yang intens terhadap industri berbahaya, regulasi yang harus dikawal dengan konsisten, dan sangat penting adanya partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga lingkungan mereka.*