KETIK, SURABAYA – DPRD Kota Surabaya kembali menyoroti lemahnya pengawasan Pemkot terhadap praktik-praktik sosial menyimpang.
Kasus penangkapan dua mucikari di Benowo menjadi bukti bahwa fungsi pengawasan di tingkat kecamatan dan Satpol PP belum berjalan efektif.
Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko (Cak Yebe), justru menilai peristiwa itu dari sisi lain: sebuah tamparan keras bagi pemerintah kota.
Bagi Cak Yebe, razia Polrestabes Surabaya bukan kabar baik semata, melainkan cermin kegagalan Pemkot terutama jajaran Satpol PP dan Forkopimcam Benowo dalam menjalankan fungsi pengawasan serta penegakan Perda.
“Operasi Tangkap Tangan (OTT) mucikari di Benowo oleh Polrestabes bukan menjadi prestasi, tapi tamparan keras untuk Pemkot Surabaya,” tegasnya di ruang Komisi A, Senin 13 Oktober 2025.
Ia mengungkapkan, kasus tersebut bermula dari hasil sidak anggota DPRD di kawasan Sememi Jaya I dan II (Moroseneng) yang dikenal masyarakat sebagai kawasan rawan prostitusi.
Hasil temuan itu kemudian disampaikan ke DPRD Kota Surabaya untuk ditindaklanjuti dengan meminta pemerintah kota bertindak tegas.
“Awalnya rekan kami di dewan melakukan sidak dan menemukan adanya indikasi praktik prostitusi terselubung. Temuan itu kami tindaklanjuti dengan meminta Pemkot menegakkan aturan,” ujar Cak Yebe.
Namun, saat razia pertama dilakukan oleh Forkopimcam Benowo bersama Satpol PP, petugas tidak menemukan bukti apa pun. Hal itu menimbulkan tanda tanya besar di kalangan DPRD, karena sebelumnya telah ada laporan dan temuan lapangan yang mengindikasikan adanya aktivitas prostitusi.
“Kami curiga razia pertama itu bocor, karena saat tim kami dan rekan media turun, bukti-bukti cukup kuat. Tapi ketika Forkopimcam turun, semuanya hilang. Ini seolah ada yang menutup-nutupi,” katanya dengan nada kecewa.
Menurut Cak Yebe, keberhasilan Polrestabes Surabaya dalam razia berikutnya justru memperkuat dugaan bahwa ada kebocoran informasi pada razia sebelumnya. Dalam operasi tersebut, polisi berhasil menangkap dua mucikari, beberapa pekerja seks, dan pemilik wisma di kawasan itu.
“Kalau APH (Aparat Penegak Hukum) bisa menemukan pelaku, sementara Forkopimcam tidak, ini aneh. Artinya, ada yang salah dalam koordinasi atau ada informasi yang bocor ke pelaku. Razia seharusnya benar-benar mendadak dan tidak diumumkan ke publik,” tegasnya.
Politisi asal Fraksi Gerindra itu juga meminta agar Satpol PP dan Camat Benowo lebih peka serta tidak menunggu arahan dari DPRD untuk bertindak. Ia menilai aparat seharusnya sudah memiliki data dan informasi valid mengenai lokasi-lokasi rawan prostitusi di Surabaya.
“Satpol PP jangan berlagak tuli! Mereka harus lebih cepat tanggap. Jangan menunggu Dewan turun dulu baru bergerak. Kalau terus seperti ini, kesannya mereka menutup mata terhadap penyakit masyarakat,” tegas Cak Yebe.
Ia juga menyinggung bahwa dugaan praktik prostitusi terselubung tidak hanya terjadi di Moroseneng, tetapi juga di sejumlah hotel dan kawasan lain di Surabaya. Bahkan, praktik serupa kini kian marak melalui platform digital.
“Satpol PP jangan hanya fokus pada lokasi yang sudah distigma prostitusi. Sekarang ini banyak praktik terselubung lewat media sosial dan aplikasi digital. Ini juga harus dibersihkan,” ujarnya.
Terkait dugaan adanya setoran atau pungutan liar (pungli) di tingkat kecamatan atau kelurahan, Cak Yebe mendesak Wali Kota Surabaya untuk melakukan evaluasi total terhadap kinerja aparat di lapangan.
“Kalau memang ada indikasi setoran atau aliran dana ke aparatur, ini harus jadi ujian bagi Wali Kota. Surabaya punya program bebas pungli, maka jangan ada kompromi. Siapa pun yang terlibat harus ditindak tegas,” tandasnya.
Cak Yebe menegaskan, DPRD akan terus mengawasi dan menekan Pemkot Surabaya agar membersihkan seluruh bentuk prostitusi dari kota ini.
“Surabaya harus bersih dari penyakit sosial. Ini komitmen bersama, dan kami di DPRD akan kawal sampai tuntas,” pungkasnya.
Razia bisa menutup satu pintu gelap, tetapi tak akan memadamkan seluruh lampu remang jika sistem pengawasannya tetap bocor.
Surabaya butuh keberanian bukan hanya dari aparat, tapi juga dari mereka yang berwenang menegakkan nilai-nilai keadilan sosial di balik jargon “kota layak huni.” (*)