Talenta Global di BUMN: Dari Profesionalisme Berujung ke Kedaulatan yang Kokoh

18 Oktober 2025 12:21 18 Okt 2025 12:21

Thumbnail Talenta Global di BUMN: Dari Profesionalisme Berujung ke Kedaulatan yang Kokoh
Oleh: Muhammad Sirod*

Perdebatan hangat tentang boleh tidaknya warga negara asing (WNA) menduduki posisi strategis di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) cukup menarik dibahas. Sebagian menilai hal itu ancaman terhadap kedaulatan ekonomi. 

Namun bagi saya, persoalannya bukan soal asal paspor seseorang, melainkan soal kapasitas dan tata kelola. Dalam sistem baru yang dirancang pemerintah dan disetujui DPR, BUMN diarahkan menjadi entitas korporasi modern, bukan birokrasi politik yang hanya berganti baju.

BUMN saat ini menanggung beban besar: utang konsolidasi mencapai Rp1.940 triliun (Laporan Kementerian BUMN, 2024) dengan kontribusi dividen hanya sekitar Rp81 triliun per tahun, atau setara 2,6 persen dari penerimaan APBN. 

Padahal, di negara maju, state-owned enterprises rata-rata menyumbang 5–10 persen terhadap pendapatan nasional. Artinya, produktivitas korporasi negara kita masih jauh dari ideal. Dalam kondisi demikian, membuka peluang bagi talenta global adalah sebuah keniscayaan.

Profesionalisme dan Perbaikan Kelembagaan

Transformasi BUMN dari lembaga publik menjadi corporate body sejatinya sudah dimulai sejak Undang-Undang No. 19 Tahun 2003. Namun baru kini momentum pembaruan serius muncul, saat pemerintah membedakan dengan jelas antara ASN dan manajemen korporasi negara. 

CEO BUMN kini bukan pejabat birokrasi, melainkan profesional yang tunduk pada prinsip fiduciary duty dan corporate governance. Di titik inilah peluang untuk merekrut talenta global menjadi sah secara hukum maupun rasional. Lembaga bisnis, pemimpinnya juga musti orang-orang bisnis, dan itu tidak salah bila diambil dari luar negeri.

Dalam praktik dunia, pola ini lazim. Temasek Holdings di Singapura, misalnya, memiliki 60 persen eksekutif non-lokal di tingkat menengah-atas. Saudi Aramco dan ADNOC di Uni Emirat Arab pun merekrut eksekutif dari 40 negara.

Hasilnya nyata: produktivitas naik rata-rata 17–22 persen dalam tiga tahun pertama setelah restrukturisasi. Indonesia dapat belajar dari hal tersebut, terutama untuk BUMN yang masih menanggung proyek non-komersial dan politis.

Shifting Kultur Lama 

Saya pernah bekerja di perusahaan multinasional Eropa dan melihat langsung bagaimana budaya korporasi menjadi fondasi daya saing. Ketepatan waktu, meritokrasi, dan sistem mentoring berbasis kinerja adalah hal normal di sana. Di BUMN, kita masih sering menghadapi “geng-gengan” internal dan loyalitas sempit yang menyingkirkan rasionalitas bisnis.

Data audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2023 mencatat, dari 108 BUMN, hanya 34 yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama tiga tahun berturut-turut. Sisanya masih bermasalah dalam laporan konsolidasi, piutang, hingga pengadaan. Ini menunjukkan bahwa problem BUMN bermuara pada sistem dan kultur kerja yang belum pulih. Masuknya profesional global bisa menjadi katalis akulturasi dan penyeimbang nilai kerja.

Rezim Hukum Tetap Menjamin Kedaulatan

Banyak yang khawatir soal kedaulatan hukum bila WNA memimpin BUMN. Kekhawatiran itu berlebihan. Hukum nasional tetap berlaku, dan yurisdiksi korupsi atau tindak pidana bisnis tetap berada di bawah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Kejaksaan.

Status hukum pimpinan BUMN, sekalipun WNA, tunduk pada perjanjian kerja di bawah hukum Indonesia. Dalam praktik governance, model ini justru memperkuat akuntabilitas: setiap tindakan bisnis memiliki contractual liability yang jelas.

Global Benchmark dan Efisiensi

Langkah Presiden Prabowo yang menggandeng tokoh global seperti Ray Dalio dan Thaksin Shinawatra sebagai penasihat ekonominya di Danantara bukan sekadar simbol politik, tetapi lebih dari itu, merupakan strategi diplomasi bisnis ciamik. Indonesia perlu menembus pasar global dengan pendekatan yang memahami bahasa korporasi internasional.

Jika ingin menyaingi Singapore Airlines (SIA) atau Petronas, kita harus berpikir global pula. Dari lebih 100 direktur utama BUMN saat ini, hanya sebagian kecil yang memiliki pengalaman manajemen di tingkat multinasional. Kompetensi global belum menjadi norma, padahal pasar kita sudah lintas negara.

Nasionalisme dan Meritokrasi

Nasionalisme tidak berarti menutup diri. Justru, nasionalisme yang sehat membuka ruang bagi siapa pun yang mampu memperkuat ekonomi nasional. Soekarno berkata "Nasionalisme kita adalah internasionalisme juga", artinya kita punya konsep nasionalisme yang sangat terbuka. Vietnam, yang partainya tunggal, sudah membuka diri terhadap investasi dan tenaga ahli asing sejak 2010, dan kini menjadi eksportir elektronik terbesar ketiga di dunia.

Indonesia harus berani memisahkan antara politik identitas dan logika ekonomi. Putra daerah tetap penting, tetapi harus bersaing di ruang meritokrasi. Jika sistemnya benar, talenta lokal justru akan naik kelas karena belajar dari praktik terbaik dunia.

Reformasi Struktural dan Peran DPR

Transformasi ini tidak mungkin terjadi tanpa dukungan politik. DPR dan pemerintah telah menyetujui revisi sejumlah regulasi yang memperkuat corporate governance, termasuk hak rekrutmen profesional lintas kebangsaan. Langkah ini penting untuk mengurangi tumpang tindih peran antara kementerian teknis dan holding BUMN, yang selama ini menghambat efisiensi.

Menurut laporan Kementerian BUMN, rata-rata efisiensi operasional BUMN pasca-restrukturisasi meningkat 11,4 persen selama 2022–2024. Jika reformasi ini terus dijaga, target kontribusi BUMN terhadap PDB sebesar 15 persen pada 2030 bukan mustahil.

Integritas Membangun Kemandirian

Kita sering terjebak pada simbolisme: seolah-olah yang penting adalah “orang kita” memimpin, bukan hasilnya. Padahal, integritas dan kinerja jauh lebih menentukan daripada asal kebangsaan. Indonesia tidak kekurangan talenta, tapi sering kali talenta itu disingkirkan oleh sistem patronase.

Bila kita ingin kemandirian ekonomi yang sejati, maka ukuran utamanya adalah daya saing dan efisiensi, bukan asal-usul pemimpinnya. Talenta global dapat mempercepat proses pembelajaran dan menjadi cermin kedewasaan bangsa dalam menghadapi persaingan global.

Era BUMN sebagai alat politik sudah usai. Kini kita butuh BUMN sebagai mesin nilai tambah nasional. Tidak ada kedaulatan tanpa kompetensi, dan tidak ada kompetensi tanpa keterbukaan. Jika profesional asing mampu menanamkan disiplin, transparansi, dan hasil nyata, maka keberadaannya benar-benar menjadi investasi untuk kemajuan bangsa.

*) Muhammad Sirod merupakan Ketua Umum HIPPI Jakarta Timur, Fungsionaris Kadin Indonesia

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.com

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini BUMN Muhammad Sirod