KETIK, JAKARTA – Novel Surat untuk Jenaka merupakan trilogi yang terdiri atas 3 volume, masing-masing saling berhubungan namun tetap menghadirkan kejutan baru. Kisahnya berpusat pada Jenaka, seorang mahasiswi yang menemukan mesin waktu yang membuatnya terlempar ke zaman tahun 1923, ketika Indonesia masih berada dalam cengkeraman kolonial Belanda.
Di masa itu, ia menghadapi misteri besar. Nenek buyutnya, yaitu Raden Ajeng Cantika dituduh membunuh tunangannya. Jenaka merasa terpanggil untuk membuktikan kebenaran sekaligus membersihkan nama keluarganya. Tidak sekadar mencari jawaban, Jenaka juga memiliki tekad kuat untuk menegakkan hukum.
Ia percaya, setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum tanpa dipengaruhi status, kedudukan, maupun kepentingan politik. Semangat inilah yang membuat sosok Jenaka berbeda-ia bukan hanya seorang pemuda yang terjebak pada masa lalu, tetapi juga simbol keberanian menegakkan keadilan.
Dalam perjalannya, Jenaka bersinggungan dengan dunia hukum kolonial yang keras dan bias. Di sinilah ia bertemu dengan Pramoedya, seorang jaksa yang integritasnya menginspirasi. Bersama Jati Aryadiningrat, pelancong waktu yang setia mendampinginya, Jenaka berusaha mengungkap kebenaran, meski harus berhadapan dengan bahaya, intrik, dan rahasia besar keluarga bangsawan.
Ketiga volume novel ini membentangkan perjalanan Jenaka, dari kebingungan awal, pencarian jati diri, hingga keberanian menantang ketidakadilan hukum. Pembaca diajak mengikuti bagaimana idealismenya diuji di tengah konflik sejarah, misteri, cinta, dan perjuangan moral.
Membaca Surat untuk Jenaka bukan sekadar mengikuti kisah petualangn seorang gadis yang terlempar ke masa lalu. Lebih dari itu, pembaca diajak merenungkan bagaimana hukum dan keadilan seringkali dipengaruhi oleh kepentingan, kekuasaan, dan status sosial.
Jenaka dengan keberanianya menentang tatanan kolonial memberi pesan penting: keadilan tidak boleh tunduk pada siapapun, selain pada kebenaran itu sendiri. Di tengah situasi saat ini, ketika isu penegakan hukum menjadi sorotan di masyarakat, novel ini terasa relevan.
Semangat Jenaka seakan mengingatkan kita bahwa perjuangan menegakkan hukum yang adil bukan hanya milik masa lalu, melainkan juga tanggung jawab generasi masa kini dan masa mendatang. Novel ini bukan sekadar bacaan fiksi, melainkan juga cermin bagi kita semua untuk bernai berpihak pada keadilan, sekecil apapun langkah yang bisa dilakukan.
Surat untuk Jenaka adalah novel segar di ranah fiksi sejarah Indonesia karena berani menggabungkan sejarah kolonial dengan konsep time travel dan misteri pembunuhan. Cocok dibaca oleh pecinta sejarah, penggemar misteri, maupun pembaca muda yang suka kisah romantis dengan bumbu fantasi.
Novel ini mengajarkan bahwa Sejarah tidak hanya untuk dikenang, tetapi juga menjadi pengingat bahwa keadilan harus terus diperjuangkan. Dengan ide segar, narasi memikat, serta pesan moral yang mendalam, Surat untuk Jenaka layak disebut sebagai salah satu karya sastra modern yang berkesan dan patut dibaca. Selamat membaca (*).
*) Penulis meeupakan Siswi XII-F dan Anggota Komunitas Literasi “Sabha Pena” MAN Bondowoso