KETIK, JAKARTA – Anggota Komisi V DPR RI, Sudjatmiko, mendesak agar tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo dijadikan pelajaran nasional untuk segera memperbaiki tata kelola pembangunan dan konstruksi di Indonesia. Ia menegaskan, nyawa santri tidak boleh lagi menjadi korban akibat kegagalan struktur bangunan.
“Bangunan pendidikan adalah ruang kehidupan. Kalau ia runtuh karena salah perhitungan, itu bukan sekadar kecelakaan teknis, tapi tragedi kemanusiaan,” ujar Sudjatmiko mengutip laman resmi DPR RI.
Politisi Fraksi PKB ini menilai, pembangunan yang minim perencanaan memadai menunjukkan bahwa keselamatan belum menjadi prioritas utama dalam budaya konstruksi nasional. Menurutnya, kegagalan struktur adalah alarm keras yang menandakan adanya masalah mendasar dalam sistem.
“Selama pembangunan masih dianggap cukup dengan niat baik tanpa didukung disiplin teknis, risiko tragedi seperti ini akan terus berulang,” katanya.
Sudjatmiko menekankan perlunya evaluasi menyeluruh pada sistem.
“Setiap kesalahan struktur adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem kita, baik dari sisi regulasi, pengawasan, maupun kesadaran masyarakat,” tegasnya.
Ia mengajak seluruh pihak, mulai dari pemerintah, asosiasi profesi, hingga lembaga pendidikan, untuk menjadikan tragedi Al Khoziny sebagai momentum perubahan nyata.
“Jangan biarkan kejadian ini hanya jadi berita sesaat. Kita harus memastikan bahwa dari peristiwa ini lahir perubahan nyata,” ujarnya.
Menurut Sudjatmiko, kualitas bangunan pesantren harus mencerminkan keseriusan negara dalam melindungi generasi muda.
“Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi juga tempat tumbuhnya masa depan bangsa. Karena itu, keselamatan mereka adalah tanggung jawab kita semua,” tutup Sudjatmiko.
Korban meninggal dunia tragedi ambruknya bangunan musala Ponpes Al Khoziny Buduran Sidoarjo terkonfirmasi data BNPB hingga Senin, 6 Oktober 2025, pukul 18.18 WIB mencapai 63 orang yang berhasil dievakuasi. Bangunan empat lantai tersebut ambruk saat para santri sedang salat Ashar di lantai 1.
Akibatnya, banyak santri yang terjebak dalam puing-puing bangunan. Berdasarkan data sementara Kantor Basarnas Surabaya hingga Selasa malam, 30 September 2025, tercatat 100 orang santri menjadi korban tragedi ini. (*)