Peringati HAKTP, Komnas HAM Ingatkan Dugaan Keterlibatan Militer di Pembunuhan Marsinah

5 Desember 2025 05:40 5 Des 2025 05:40

Thumbnail Peringati HAKTP, Komnas HAM Ingatkan Dugaan Keterlibatan Militer di Pembunuhan Marsinah
Foto Marsinah, aktivis buruh yang jadi korban kekejian Orde Baru. (Istimewa)

KETIK, JEMBER – Sejak 1998, Komnas HAM menyimpulkan adanya indikasi kuat keterlibatan tiga anggota militer dan satu warga sipil dalam kasus pembunuhan Marsinah. Namun, proses hukum atas tragedi yang menimpa aktivis buruh perempuan itu terus tersendat, termasuk saat Sidang Paripurna Komnas HAM pada tahun 2000.

Fakta tersebut kembali ditegaskan dalam Diskusi Publik bertajuk “Ingat Marsinah, Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan!” yang digelar Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Jember bekerja sama dengan Amnesty International pada Kamis, 4 Desember 2025.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menjelaskan bahwa penyelidikan yang dibuka kembali pada 2013 semakin memperkuat komitmen lembaganya untuk menetapkan kasus Marsinah sebagai pelanggaran HAM berat.

"Dengan status tersebut, perkara ini tetap dapat dibawa ke Pengadilan HAM meski pidana umumnya sudah kedaluwarsa.

Anis menegaskan bahwa negara berkewajiban penuh menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk memastikan penyelesaian kasus Marsinah tanpa impunitas.

Ketua PSG Unej, Linda Dwi Eriyanti, mengingatkan bahwa perjuangan Marsinah masih relevan karena kondisi buruh perempuan hingga kini belum membaik. Ia menyebut buruh perempuan menghadapi kekerasan berlapis: kekerasan langsung di tempat kerja, kekerasan struktural melalui kebijakan yang tidak berpihak, serta kekerasan kultural yang dilegitimasi oleh sistem patriarki dan kapitalisme.

Menurut Linda, buruh perempuan di berbagai sektor masih menerima upah rendah, beban kerja berlebih, pelecehan seksual, hingga union busting. Ancaman kehilangan pekerjaan ketika menuntut hak semakin menekan posisi mereka. Budaya perusahaan yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat memperburuk situasi tersebut.

Pada sesi penutup, Linda menawarkan beberapa langkah strategis untuk memperbaiki kondisi buruh perempuan di Indonesia. Ia menekankan perlunya implementasi nyata regulasi terkait pencegahan, penanganan, pelaporan, dan penindakan kekerasan dalam dunia kerja. Ia juga menyoroti pentingnya memastikan penerapan UU Ketenagakerjaan yang menjamin upah layak, melarang sistem kontrak eksploitatif, serta memberikan perlindungan sosial bagi buruh perempuan yang berada dalam posisi rentan secara gender maupun kelas.

Linda juga mendorong kebijakan afirmatif seperti cuti melahirkan berbayar, fasilitas penitipan anak di tempat kerja, serta perlindungan khusus bagi pekerja perempuan. Penguatan serikat pekerja dinilai penting untuk melawan eksploitasi dan menciptakan kondisi kerja yang lebih manusiawi.

Di ranah budaya, Linda menilai perubahan nilai melalui pendidikan dan kampanye publik sangat diperlukan untuk menghapus kekerasan kultural yang menormalisasi diskriminasi. Kesadaran baru yang lebih adil dan berperikemanusiaan diyakini dapat mendorong terciptanya ruang sosial yang aman dan toleran.

Melalui momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2025, PSG Unej dan Amnesty International kembali menegaskan bahwa negara harus hadir, mengakhiri impunitas, dan menjamin perlindungan bagi seluruh perempuan.

Tombol Google News

Tags:

marsinah Pahwalan Nasional aktivis buruh