KETIK, ACEH BARAT DAYA – Penolakan terhadap rencana tambang emas dan pertambangan lainnya di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh, khususnya di Kecamatan Kuala Batee, semakin menguat. Berbagai alasan menjadi dasar sikap warga, mulai dari ancaman kesehatan, kerusakan lingkungan, hingga dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan.
Putra asli Kuala Batee, Yulizar Kasma, yang juga akademisi di bidang kesehatan dan lingkungan, kepada Ketik pada Selasa malam, 23 September 2025 menegaskan bahwa kehadiran tambang akan membawa risiko besar bagi masyarakat Abdya.
Ia mengingatkan kembali peristiwa banjir bandang pada 19–20 Desember 2002 lalu, yang menewaskan tiga orang, merusak lahan pertanian, serta menghanyutkan kayu-kayu besar hingga ke jalan nasional dan permukiman warga.
“Bencana besar itu harus jadi pelajaran. Tambang hanya akan memperbesar risiko bencana serupa di masa depan,” tegas Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Ancaman Serius Bagi Kesehatan
Pertambangan emas identik dengan penggunaan merkuri dan sianida, dua zat kimia berbahaya yang terbukti mematikan. Paparan merkuri dapat menyebabkan gangguan saraf, kerusakan ginjal, hingga menghambat perkembangan anak.
Sementara sianida, tambah Yulizar yang telah mengikuti sidang doktor di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tersebut, meski pada dosis rendah, berpotensi menyebabkan gangguan tiroid, neuropati, bahkan kematian pada dosis tinggi.
“Penelitian di beberapa daerah menunjukkan 80% anak di bawah usia 10 tahun sudah memiliki kadar merkuri di atas ambang batas aman. Di Kalimantan Tengah, masyarakat sekitar tambang menunjukkan gejala keracunan merkuri kronis. Kondisi ini berpotensi terulang di Abdya jika tambang dipaksakan,” ungkapnya.
Lingkungan Terancam, Pertanian Bisa Hilang
Selain kesehatan, tambang juga diprediksi akan menghancurkan hutan dan sumber air. Pembukaan lahan tambang berisiko merusak ekosistem, menghilangkan habitat satwa, dan mencemari sungai serta air tanah.
“Jika air sungai dan sumber mata air habis terserap ke kawah tambang, lalu dengan apa masyarakat akan bertani? Ini ancaman nyata untuk ketahanan pangan Abdya,” katanya.
Limbah tambang (tailing) yang mengandung bahan kimia beracun juga akan merusak tanah pertanian, meningkatkan erosi, dan memicu longsor maupun banjir bandang. Tambang emas, kata Yulizar, juga akan menambah polusi udara yang bisa memicu penyakit pernapasan serius seperti asma, bronkitis kronis, hingga kanker paru.
Penelitian Universitas Teuku Umar (2022) menunjukkan, keberadaan industri besar di Aceh Barat dan Nagan Raya berbanding lurus dengan peningkatan kasus ISPA pada masyarakat. “Jika tambang emas hadir di Abdya, risiko serupa sangat mungkin terjadi,” tambahnya.
Dampak Sosial: Konflik, Penggusuran, hingga Pelanggaran HAM
Dari sisi sosial, keberadaan tambang dikhawatirkan menimbulkan konflik agraria, penggusuran lahan warga, hingga hilangnya kearifan budaya lokal. Masuknya perusahaan tambang seringkali membawa perpecahan antarwarga, adu domba, serta kesenjangan sosial-ekonomi.
Lebih jauh, Yulizar menilai proses perizinan tambang juga kerap cacat prosedur. Salah satunya terlihat dalam izin eksplorasi PT Abdya Mineral Prima (AMP) yang mencantumkan Gampong Alue Pisang sebagai wilayah tambang, padahal pemerintah gampong setempat tidak pernah memberi rekomendasi.
“Ini bukti betapa rusaknya permainan aktor tambang. Bahkan, dalam banyak kasus, penolakan masyarakat justru berujung intimidasi hingga kekerasan terhadap aktivis lingkungan,” tegasnya.
Sikap Tegas
Atas dasar itu, masyarakat Kuala Batee bersama sejumlah tokoh dan akademisi menyerukan penolakan terhadap segala bentuk aktivitas pertambangan di Abdya. Menurut mereka, keberlanjutan lingkungan, kesehatan warga, serta ketahanan pangan jauh lebih penting daripada keuntungan sesaat dari tambang.
“Tambang bukan solusi. Justru akan jadi bencana besar bagi Abdya. Jangan biarkan sejarah banjir bandang 2002 terulang karena kesalahan yang sama,” pungkas Yulizar. (*)