Trenggalek dalam Buku Reset Indonesia

22 Desember 2025 15:31 22 Des 2025 15:31

Thumbnail Trenggalek dalam Buku Reset Indonesia
Oleh: Nurani Soyomukti*

Tulisan ini saya buat sehari sebelum digelarnya bedah buku “Reset Indonesia” yang ditulis oleh Farid Gaban, Dandhy Laksono, Yusuf Priambodo dan Benaya Harobu. Saya memulai menulisnya di pagi hari, setelah sholat subuh. 

Awalnya, sekitar pukul, empat dini hari setelah saya buka mata dan meraih HP, di grup WA Literasi Trenggalek ada postingan video dari Tery, koordinator diskusi buku komunitas QLC (Quantum Litera Center) Trenggalek. Video itu menggambarkan adanya pembubaran bedah buku “Reset Indonesia” (selanjutnya saya sebut RI) di Madiun.

Dalam video itu, seorang lelaki berjaket dan pakai topi sedang menghentikan mobil yang di dalamnya ada ‘crew’ penulis buku. Setelah saya WA Gus Hayik, owner MUKaffe Madiun yang sering mengadakan diskusi literasi, ternyata dikabarkan bahwa pria yang menghentikan mobil itu adalah seorang camat. Di video itu juga tampak seorang intel polsek (kalau tak salah) menjelaskan tentang kenapa acara bedah itu digagalkan.

Menjawab pertanyaan dari grup WA tentang bagaimana kemungkinan acara bedah buku RI di Trenggalek, saya mengatakan: Kemungkinan aman. Saya bukan panitia, tapi dilihat dari persiapannya dan dukungan dari Bupati Trenggalek yang sudah mengundang sekitar dua ratus pegawai (ASN) di bawah pimpinannya untuk hadir ke acara buku itu, tidak mungkin ada yang berusaha menggagalkan. 

Lalu seorang teman, di grup WA lain, yang membicarakan tindakan pembatalan bedah buku RI di Madiun itu, mengatakan bahwa camatnya diinstruksi oleh setda. Setidaknya mungkin diintervensi oleh bupatinya soalnya bupatinya orang Golkar alias “orangnya Bahlil”. 

Saya sendiri belum percaya dengan informasi itu karena itu informasi yang sifatnya politis yang bisa jadi opini yang tidak berdasarkan bukti empiris.  

Kedatangan buku “Reset Indonesia” sejak awal disambut hangat oleh Trenggalek bahkan sebelum ada kabar bahwa bedah bukunya akan diselenggarakan di Trenggalek. Saya sudah baca bukunya, tapi belum selesai. Buku RI cukup bergizi karena kaya data. Juga banyak fakta yang didapat langsung dari kegiatan “mbolang” yang bukan sekedar “mbolang” tetapi perjalanan investigasi. 

Perpaduan antara data yang sudah tersaji di google atau terdokumentasikan di laporan yang sudah dibukukan, dengan liputan dan opini yang menghasilkan sebuah konstruksi karya jurnalistik dan esai yang enak dibaca dan bergizi.

Buku ini kaya salah satunya karena berhasil memadukan fakta-fakta di Negara lain dan kenyataan di daerah-daerah dan negeri kita, misalnya tentang bagaimana memperlakukan air dari keran, bagaimana tingkat kebahagiaan, kerusakan dan pemulihan lingkungan. Akses data dan informasi yang faktual adalah kunci utama sebuah tulisan jurnalistik. 

Penulis memang “membersamai” para pegiat dan aktivis NGO, langsung melakukan wawancara dan datang ke tempat. Melakukan “live in” untuk menggali data sangat memungkinkan para penulisnya “menjiwai” apa yang sedang dibahas, serta memungkinkan mereka mengangkat suara-suara yang selama ini tidak diperdengarkan oleh media—terutama media milik penguasa dan pengusaha media besar (komersil). Dengan terjun langsung dan menggali secara mendalam apa yang ditulisnya, empati penulis kian mengalami pendalaman. 

Maka, tak salah jika buku ini layak menjadi senjata bagi yang ingin mengkritik kekuasaan dan dominasi sistem yang memperburuk keadaan—bahkan buku panduan untuk mereka yang ingin “makar”. Perlunya me-reset atau men-setting ulang Indonesia berangkat dari kesimpulan bahwa kerusakan Negara ini sudah terlampau parah.

Ada kerusakan alam akibat capitalism buas memangsa alam dan tenaga manusia, yang diorganisir oleh oligarki. Ada sistem dan budaya politik yang disetting ulang oleh para pemodal yang dikendalikan oligarki. 

Perangkat keras setingan para oligarki itu harus dihancurkan. Perangkat lunak dan program yang di-setting oligarki itu harus di-instal kembali. Komputer yang menyala harus dimatikan dan harus diseting ulang. Yang sudah tua dan berkarat sudah saatnya diganti oleh yang baru—setelah lewat investigasi yang mendalam ternyata sistem ini sudah rusak. 

Dari 56 esai yang terpencar di 6 bab dan epilog pembaca diajak untuk menyimpulkan bahwa kondisi Indonesia sudah terlalu parah, makanya ajakan untuk merubah Indonesia merupakan salah satu pesan dari buku ini.

Trenggalek Di Reset Indonesia

Sebagai warga Negara yang tak kunjung berhenti mendambakan perubahan di Indonesia, tentu saya penasaran untuk membaca buku ini dan berupaya mengikuti diskusinya. Saya sudah mendapatkan bukunya, dan buku itu segera berpindah ke pembaca lain, meskipun belum selesai saya baca. 

Di Trenggalek, orang yang sudah mendapatkan buku itu tampaknya adalah Bupati Mochamad Nur Arifin (Mas Ipin). Dia sudah mengikuti diskusi bukunya sejak awal, dan memang pernah berdiskusi dengan para penulisnya.

Penulis buku itu juga pernag “mbolang” di Trenggalek untuk membuat karya mereka. Trenggalek sudah diangkat dalam film-film yang mereka hasilkan. Ketika memegang buku RI, tindakan awal yang saya lakukan salah satunya adalah membuka bagian indeks—bagian akhir buku sebelum bagian profil penulis. Indeks adalah list kata kunci yang dianggap penting yang dibubuhkan bersama tempatnya, halaman berapa.

Saya ingin mencari nama Trenggalek di bagian Indeks. Saya berharap, Trenggalek akan banyak disebut di banyak halaman, artinya mendapatkan pembahasan dengan porsi yang banyak.

 Dengan melihat indeks, kata Trenggalek disebut di empat halaman, yaitu halaman 47, 375, 376, 429. Lumayanlah, mengingat buku ini memang membahas banyak tempat untuk mendapatkan kesimpulan tentang bagaimana kondisi Indonesia dan mau diapakan Indonesia.

Di halaman 47, kata Trenggalek muncul dalam kaitannya dengan kehadiran Bupati Mochamad Nur Arifin dalam acara diskusi yang juga dihadiri oleh para tokoh lain seperti Susi Pudjiastuti (mantan menteri Kelautan dan Perikanan), Busyro Muqodas (mantan komisioner KPK), dan tentunya Afif Nurhidayat Bupati Wonosobo yang menjadi tempat acara, yaitu di pasar Wonosobo.

Di halaman 375-376, kata Trenggalek digunakan untuk memberikan contoh tentang upaya warga untuk melaksanakan pembangunan yang berupaya menjaga ekosistem dan mencegah kerusakan alam. Apalagi kalau bukan terkait dengan penolakan terhadap tambang emas yang hingga saat ini suaranya masih terjaga. 

Bahkan sejak film dokumenter “Tambang Emas Ora Ritek” mendapatkan penghargaan bergengsi Piala Citra 2025 untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik, kampanye menolak tambang semakin mendapatkan momentumnya.

Di sini kata Trenggalek (halaman 375-376) menjadi bagian dalam narasi esai yang berjudul “Federasi Siapa Takut (Desentralisasi dan Otonomi Seluas-Luasnya)”. Dalam esai ini, ditawarkan solusi federalisme untuk menjadi solusi bagi Indonesia yang punya masalah besar sebagai Negara kesatuan yang lama didominasi sentralisme.

Sementara masing-masing daerah punya kekayaan dan keunikan masing-masing yang bisa diatur secara otonom sesuai kemampuannya. Buku RI lewat esai ini mengangkat kembali perdebatan antara para ‘founding fathers’ ketika mendiskusikan bentuk Negara yang akan berdiri sejak lepas dari penjajah asing.

Federalisme dianggap mendekatkan kekuasaan politik pada rakyatnya di masing-masing daerah (negara bagian). Sebab masing-masing ‘daerah’ dianggap punya pranata sosial dan kekayaan sosio-ekonomi dan kebudayaan masing-masing yang secara politik bisa didiskusikan oleh warga di daerah tersebut karena merekalah yang memilikinya. 

Aspirasi dari bawah untuk mengelola kekayaannya lebih dekat, berbeda dengan keadaan ketika untuk memperlakukan kekayaan di daerahnya rakyat harus berhadapan dengan pemerintah pusat. Seperti halnya ijin tambang, yang kewenangannya ada di pusat, sedangkan rakyat di daerah tidak menginginkannya.

Dalam konteks inilah Trenggalek dijadikan contoh. Dituliskan dalam buku RI halaman 375-376 sebagai berikut: “Di Trenggalek, salah satu kabupaten di pesisir selatan Jawa Timur, warga dan bupati setempat kompak menolak rencana penambangan emas di wilayah mereka. Pengusaha tambang dan pemerintah pusat punya kepentingan agar tambang emas terluas di pulau Jawa (13.000 hektare) itu bisa beroperasi demi “kemajuan ekonomi”. 

Namun warga setempat khawatir operasi tambang akan merusak hutan dan mencemari perairan teluk. Mereka menolak emas! Warga Trenggalek bahwa jati diri Indonesia adalah negeri bahari dan bahwa ‘emas hijau’ lebih membawa kemakmuran lestari ketimbang emas kuning yang di mana-mana memicu konflik dan ketimpangan”.

Kata Trenggalek di halaman 429 juga masih terkait dengan hal yang sama. Di halaman ini Benaya Harobu, salah satu penulis, lewat esainya yang berjudul “Menatap Masa Depan dari Kampungku” menceritakan pertemuannya dengan Bupati Mochamad Nur Arifin yang digambarkan sebagai bupati “yang bersama warganya mengambil sikap tegas menolak tambang emas di wilayahnya”.

Dapat disimpulkan bahwa Trenggalek dalam buku RI ini muncul dalam bingkai narasi tentang penolakan tambang emas dan nama bupati Trenggalek mas Ipin mendapatkan tempat tersendiri di hati para penulis buku RI ini. 

Memang, tidak banyak bupati yang punya sikap menolak tambang entah karena kesadarannya sendiri atau karena pengaruh gerakan penolakan yang dilakukan oleh anak-anak muda dan para aktivis komunitas sipil di kabupaten-kabupaten yang ada eksploitasi tambang. 

Dulu di Jember pernah ada Bupati Faida yang bersama aktivis masyarakat sipil juga menolak izin eksplorasi tambang emas yang diberikan kementerian ESDM. Tidak banyak kepala daerah yang seperti itu. Mas Ipin termasuk bupati yang kesadaran akan pentingnya ruang hidup jangka panjang.

Dan buku RI pun akhirnya akan dibedah di Trenggalek. Flyer sudah beredar. Acara bedah buku akan diselenggarakan pada hari Senin, tanggal 22 Desember 2025. Mari kita sambut dengan semangat memperbaiki Trenggalek dan Indonesia. Semoga buku bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut untuk mendiskusikan Indonesia kita, Trenggalek kita!!! (*)

*) Nurani Soyomukti merupakan pendiri Institute Demokrasi dan Keberdesaan (Indek)

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.com
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini buku Reset Indonesia trenggalek Nurani Soyomukti