Kasus meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang menjadi korban tabrak lari pasca kericuhan demo di Jakarta, membuka celah untuk memahami lebih dalam dinamika antara tugas negara, kecemasan pribadi, dan implikasi hukum terhadap aparat kepolisian. Kejadian ini bukan hanya soal satu kehilangan nyawa, namun lebih dari itu, ia menjadi titik tolak refleksi terhadap tekanan psikologis yang dihadapi oleh anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya, serta dampaknya terhadap pengambilan keputusan yang berujung pada status tersangka.
Tugas Negara vs Kecemasan Pribadi
Sebagai aparat negara, polisi memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan memberikan rasa aman bagi masyarakat. Namun, di balik peran tersebut, ada kenyataan bahwa aparat kepolisian sering kali dibebani oleh tekanan psikologis yang berat. Dalam situasi demo atau kericuhan, di mana ketegangan bisa meningkat drastis, kecemasan pribadi atau ketakutan akan keselamatan sering kali mengaburkan rasionalitas dalam bertindak.
Tekanan yang dihadapi polisi bukan hanya datang dari ancaman fisik yang mungkin mereka hadapi dalam situasi tersebut, tetapi juga dari tuntutan profesional untuk bertindak dengan cepat dan tepat dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Di sinilah kecemasan pribadi bisa mempengaruhi pengambilan keputusan. Ketika seseorang dalam posisi seperti itu merasa terancam atau terburu-buru, respons instingtif yang lebih mengutamakan keselamatan diri bisa lebih dominan daripada pertimbangan rasional mengenai dampak dari tindakannya terhadap orang lain.
Dampak Keputusan yang Berujung Tersangka
Namun, meskipun tekanan psikologis yang dihadapi oleh polisi dapat dipahami, hal ini tidak bisa menjadi pembenaran atas tindakan yang berujung pada korban jiwa. Setiap individu, terutama aparat penegak hukum, harusnya mampu mengendalikan dirinya dan memprioritaskan keselamatan publik dalam setiap tindakannya. Adanya kejadian seperti yang menimpa Affan Kurniawan menunjukkan bahwa di balik setiap keputusan yang diambil dalam tekanan, terdapat konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan.
Proses hukum yang melibatkan polisi dalam insiden ini juga menegaskan pentingnya sistem yang memastikan pengawasan dan evaluasi yang ketat terhadap tindakan aparat. Tugas negara memang menjadi beban, tetapi di sisi lain, aparat kepolisian juga harus didorong untuk mendapatkan dukungan psikologis yang memadai. Tanpa itu, akan ada potensi bahwa kecemasan pribadi bisa mengarah pada tindak kekerasan atau keputusan yang merugikan banyak pihak, seperti yang terjadi dalam kasus ini.
Penyelesaian yang Diharapkan
Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan seperti ini, sangat penting untuk memastikan bahwa aparat kepolisian tidak hanya dibekali dengan pelatihan teknis, tetapi juga dengan pendidikan psikologis yang dapat membantu mereka mengelola stres dan kecemasan. Kepolisian perlu mendapatkan dukungan mental yang cukup, baik dari institusi maupun masyarakat, untuk menghadapi tugas berat mereka. Jika tekanan psikologis ini bisa dikelola dengan lebih baik, diharapkan insiden seperti ini bisa lebih diminimalkan, dan hukum bisa berjalan dengan lebih adil bagi semua pihak, termasuk bagi korban maupun tersangka.
Kesimpulannya, insiden ini seharusnya menjadi bahan evaluasi untuk sistem kepolisian, agar tekanan psikologis yang dihadapi aparat tidak mengarah pada keputusan yang merugikan nyawa orang lain. Memahami beban tugas negara dan pentingnya kecemasan pribadi aparat kepolisian harus menjadi langkah penting untuk menciptakan sistem kepolisian yang lebih manusiawi dan bertanggung jawab.
*) Dr. Reno Diqqi Alghzali, S.Psi.,M.Psi, adalah Dosen Psikologi IAIN Kerinci, Kota Sungai Penuh, Jambi.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)
