Di Kota Probolinggo, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah berjalan. Dapur mulai beroperasi, makanan diproduksi, dan kotak makan didistribusikan ke sekolah-sekolah. Secara administratif dan visual di lapangan, pelaksanaan program ini terlihat tertib. Namun, bagi pihak yang terlibat langsung, pelaksanaan MBG menyisakan banyak persoalan yang belum terselesaikan.
Permasalahan muncul sejak tahap penentuan titik dapur. Berdasarkan informasi di lapangan, sebelum verifikasi teknis selesai, sejumlah titik dapur sudah ditetapkan dan dikelola oleh pihak tertentu.
Penentuan tersebut tidak selalu didasarkan pada kesiapan sarana dan prasarana, melainkan karena penguasaan titik lebih awal. Bahkan, dalam beberapa kasus, terjadi pergantian pengelola dapur tanpa mekanisme terbuka, sementara proses administratif baru disesuaikan kemudian.
Dampaknya terlihat pada kondisi dapur yang beroperasi. Ada dapur yang tetap berjalan meski fasilitas sanitasi belum memenuhi standar, seperti saluran limbah yang tidak berfungsi optimal, peralatan dapur yang tidak seragam standar pangannya, serta alur kerja yang belum tertata.
Di sisi lain, dapur yang secara fisik lebih siap justru tidak segera dioperasikan tanpa penjelasan teknis yang jelas. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan pertanyaan tentang standar kelayakan yang digunakan.
Dalam struktur MBG, kepala dapur memegang peran sentral. Ia bertanggung jawab atas pengadaan bahan, penyusunan menu, dan pengelolaan keuangan. Ketika terjadi keterlambatan pencairan dana, posisi ini menjadi krusial.
Untuk menjaga operasional, sejumlah dapur melakukan penyesuaian, seperti mengganti bahan makanan dengan kualitas lebih rendah, mengurangi porsi, atau menyederhanakan menu.
Di Probolinggo, kondisi ini terjadi di beberapa titik, bahkan pengelola dapur harus menggunakan dana pribadi agar kegiatan tetap berjalan.
Keterlambatan pembayaran berdampak langsung pada kualitas makanan. Pemilihan bahan lebih didasarkan pada harga terendah, bukan nilai gizi. Anak-anak tetap menerima makanan, tetapi kualitas gizinya tidak selalu sesuai standar yang ditetapkan. Program berjalan, namun tujuan peningkatan gizi menjadi kurang terukur.
Sekolah sebagai penerima manfaat cenderung pasif. Kepala sekolah dan guru jarang menyampaikan keberatan atau evaluasi karena khawatir dianggap menghambat pelaksanaan program. Akibatnya, makanan diterima tanpa proses penilaian kualitas yang memadai.
Masalah lain terlihat pada penguasaan rantai pasok. Di beberapa lokasi, satu jaringan pihak yang sama mengelola dapur, memasok bahan makanan, dan menyediakan transportasi distribusi. Pola ini membuat mekanisme pembanding harga dan kualitas tidak berjalan. Pengawasan silang menjadi lemah, dan potensi konflik kepentingan meningkat.
Di tingkat pelaksana, pekerja dapur bekerja dengan beban tinggi. Sebagian besar tidak memiliki pelatihan formal terkait sanitasi makanan dan gizi. Mereka menjalankan tugas berdasarkan pengalaman lapangan, bukan standar baku. Ketika terjadi kesalahan, tanggung jawab sering dibebankan kepada pekerja, bukan pada sistem perekrutan dan pelatihan yang tidak memadai.
Data penerima juga belum sepenuhnya akurat. Di beberapa sekolah, jumlah porsi yang dikirim tidak sesuai dengan jumlah siswa. Ada porsi yang tersisa dan terbuang, sementara di sekolah lain terjadi kekurangan. Hal ini menunjukkan lemahnya koordinasi data antara dapur, sekolah, dan sistem pusat.
Pemerintah daerah sebenarnya memiliki perangkat pengawasan melalui dinas terkait. Namun perannya terbatas karena MBG diposisikan sebagai program pemerintah pusat. Pemerintah daerah lebih sering berperan sebagai pendamping, bukan pengendali mutu. Penanganan masalah cenderung dilakukan setelah muncul keluhan publik.
Situasi ini diperparah oleh minimnya ruang pengaduan yang aman. Pengelola dapur, pihak sekolah, dan mitra program enggan menyampaikan masalah karena khawatir kehilangan kerja sama atau mendapat tekanan. Dalam kondisi sosial yang saling mengenal seperti di Probolinggo, sikap diam dianggap pilihan paling aman.
Oleh karena itu, Badan Gizi Nasional (BGN) perlu turun langsung melakukan audit forensik menyeluruh. Audit ini tidak cukup berbasis laporan administrasi, tetapi harus mencakup penelusuran alur anggaran, proses pengadaan, penentuan titik dapur, serta kesesuaian laporan dengan kondisi lapangan. Audit forensik diperlukan untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan sistemik dalam pelaksanaan MBG.
Audit tersebut bukan untuk mencari kesalahan individu, melainkan untuk memastikan dana publik digunakan sesuai tujuan. Tanpa pengawasan yang ketat dan transparan, program sebesar MBG berisiko dimanfaatkan oleh kepentingan di luar tujuan utamanya.
Kota Probolinggo membutuhkan pembenahan sistem, bukan sekadar evaluasi administratif. MBG adalah program strategis yang menyangkut masa depan anak-anak. Jika pelaksanaan dibiarkan berjalan dengan standar yang longgar dan pengawasan terbatas, manfaat program akan jauh dari yang diharapkan.
MBG berangkat dari niat baik. Namun niat baik harus diikuti dengan kontrol yang kuat, keterbukaan, dan keberanian memperbaiki kelemahan. Tanpa itu, MBG hanya akan menjadi program yang berjalan secara administratif, tetapi gagal mencapai tujuan substansialnya.(*)
Oponi oleh : Eko Hardianto (Wakil Ketua PWI Probolinggo Raya dan wartawan Ketik.com)
