Soal Anak Surabaya Wajib Gunakan Bahasa Jawa pada Kamis, Pakar Unair: Harus Dipikirkan Kembali

14 Juli 2025 18:40 14 Jul 2025 18:40

Thumbnail Soal Anak Surabaya Wajib Gunakan Bahasa Jawa pada Kamis, Pakar Unair: Harus Dipikirkan Kembali
Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Tuti Budirahayu Dra MSi. (Foto: Humas Unair)

KETIK, SURABAYA – Dalam upaya melestarikan budaya lokal di kalangan generasi muda, Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya mencanangkan program penggunaan bahasa Jawa Krama Inggil di lingkungan sekolah.

Program ini bernama Kamis Mlipis mewajibkan para siswa untuk berbahasa Jawa setiap hari Kamis, baik dalam kegiatan belajar mengajar maupun interaksi sehari-hari di sekolah.

Menanggapi hal ini, Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Tuti Budirahayu Dra MSi.l menilai program ini sangat relevan menjawab tantangan zaman, di mana bahasa daerah mulai redup eksistensinya di kalangan generasi muda.

“Jika dilihat dari urgensi dan manfaatnya, kebijakan tersebut saya rasa baik, agar generasi muda di Kota Surabaya tidak kehilangan jati dirinya sebagai 'Arek Suroboyo', 'Wong Jowo' atau warga Jawa (Timur). Kebijakan tersebut, selain dapat melestarikan 'Bahasa Ibu', sekaligus dapat memperkuat identitas sosial dan budaya generasi muda di Kota Surabaya,” terangnya.

Namun, meski mendapat sejumlah respons positif, hadirnya program “Kamis Mlipis” kerap menimbulkan kekhawatiran terkait potensi diskriminasi terhadap siswa non-Jawa yang menempuh pendidikan di Surabaya.

Tidak semua siswa memiliki latar belakang budaya atau kemampuan berbahasa Jawa yang memadai, sehingga program ini mungkin bisa menyebabkan rasa terasing atau tekanan bagi mereka.

Prof Tuti menekankan bahwa program ini harus bersifat adil bagi seluruh siswa. Untuk itu, Dispendik Kota Surabaya perlu meninjau kembali sifat wajib dalam penggunaan bahasa Jawa bagi seluruh siswa ini.

“Kata mewajibkan harus dipikirkan kembali, karena jika siswa memang tidak bisa berbahasa Jawa, dan hal itu berpengaruh terhadap penilaian rapor, maka sebaiknya bagi mereka yang tidak berbahasa Jawa sebagai bahasa Ibu. Beri kemudahan dan kelonggaran, agar mereka tidak semakin membenci bahasa Jawa, karena berpengaruh terhadap nilai rapor,” tegasnya.

Dalam hal ini, Dispendik Kota Surabaya memiliki peran penting untuk mengatur strategi pelaksanaan program dengan cermat.

Hal ini agar program ini tidak berisiko menciptakan kesenjangan serta memperlemah semangat keberagaman dalam lingkungan pendidikan. 

“Buatlah model pembelajaran yang menyenangkan (have fun), sehingga bagi siswa yang tidak mengenal bahasa Jawa, semakin tertarik dan ingin belajar bahasa Jawa karena menyenangkan,” saran Guru Besar Sosiologi Pendidikan Unair itu.

Sinergi Pelestarian

Pada akhir, Prof Tuti menegaskan bahwa keberhasilan program “Kamis Mlipis” tidak hanya bertumpu pada institusi sekolah, tetapi juga membutuhkan sinergi dari keluarga dan masyarakat.

Peran orang tua dalam membiasakan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan rumah sangat penting untuk memperkuat pemahaman dan keterampilan berbahasa anak-anak.

Selain itu, lingkungan sosial juga memiliki kontribusi besar. Masyarakat dapat turut serta menggagas kegiatan-kegiatan berbasis budaya lokal yang melibatkan anak-anak, seperti pentas seni, lomba dongeng Jawa, atau pagelaran wayang.

“Perlu dikembangkan berbagai program penggunaan bahasa Jawa atau Surabaya dalam berbagai platform dan media sosial, sehingga anak-anak muda tidak merasa malu lagi jika menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan atau bahasa sehari-hari,” pungkas Prof Tuti. (*)

Tombol Google News

Tags:

Universitas Airlangga Unair Kamis Mlipis Dispendik Surabaya Kamis menggunakan bahasa jawa FISIP Unair