KETIK, SURABAYA – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Pendidikan (Dispendik) berencana mewajibkan penggunaan bahasa Jawa di sekolah mulai dari jenjang TK hingga SMP. Aturan ini dibuat untuk menindak lanjuti Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2025.
Rencananya penggunaan bahasa Jawa akan diterapkan setiap hari Kamis, tujuannya merevitalisasi krama inggil di lingkungan sekolah, diperkuat dengan penetapan Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib.
Menyikapi hal tersebut, Mustofa, Ph.D selaku Dosen S2 Pendidikan Dasar Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) mengatakan jika aturan ini merupakan terobosan yang bagus dari Pemkot Surabaya untuk melestarikan bahasa Jawa, khususnya di Kota Pahlawan.
Dimana saat ini sudah jarang ditemui anak-anak yang dapat berbicara bahasa Jawa secara halus (krama inggil). Kebanyakan anak-anak Surabaya saat ini hanya bisa berbicara bahasa Jawa kasar (Ngoko).
"Saya rasa ini langkah yang bagus ya. Karena sekarang anak-anak berkomunikasi hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Jawa yang kasar atau ngoko," jelas Mustofa, Rabu 9 Juli 2025.
Dirinya menambahkan selain pendidikan bahasa asing, pendidikan bahasa daerah juga sangat penting. Bahasa asing dan bahasa daerah dapat diajarkan secara berdampingan, karena keduanya sangat penting untuk mendukung Indonesia menjadi bangsa yang maju.
"Untuk menjadi bangsa yang maju kita memang harus menguasai bahasa asing, tetapi tidak harus melupakan bahasa daerah. Keduanya dapat diajarkan secara berdampingan," tambahnya.
Mustofa menyebut Kota Surabaya identik dengan bahasa Jawa Arekan yang terkenal kasar, tetapi pendidikan bahasa Jawa Krama Inggil tetap diperlukan. Hal ini penting agar bahasa Jawa Krama Inggil bisa tetap lestari ditengah gempuran modernisasi.
"Kalau sekedar bahasa Jawa Suroboyo-an ini sudah secara otomatis tidak perlu diajarkan, karenakan anak-anak saat berbicara bersama temannya sudah menggunakan bahasa tersebut," paparnya.
"Akan tetapi jarang dari mereka bisa berbicara bahasa Jawa krama inggil. Hal ini yang menjadi atensi bagaimana melestarikan bahasa Jawa krama inggil," imbuhnya.
Terkait pelestarian bahasa Jawa tentu tidak bisa lepas dari huruf Jawa atau yang biasa dikenal sebagai Hanacaraka. Mengenai hal tersebut Mustofa memiliki pendapat tersendiri, terkait Hanacaraka lebih tepat jika tidak diberikan secara umum kepada para siswa, alangkah baiknya jika pelajaran terkait aksara Jawa diberikan melalui peminatan khusus.
"Jadi untuk Hanacaraka jangan diberi secara umum. Lenih baik dimasukkan dalam peminatan tersendiri, seperti ekstrakulikuler di sekolah. Atau untuk universitas seperti UKM," pungkasnya. (*)