KETIK, SURABAYA – KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam pada Selasa malam, 2 Juli 2025 sekitar pukul 23.35 WIB di perairan Selat Bali. Kapal mengangkut 53 penumpang, 12 anak buah kapal (ABK), serta 22 unit kendaraan.
Kapal dilaporkan mengalami kendala teknis dan cuaca buruk sebelum akhirnya tenggelam. Hingga Kamis pagi, data resmi dari Basarnas menunjukkan 15 orang tewas, 30 orang berhasil selamat, dan 20 orang lainnya masih hilang.
Pakar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Universitas Airlangga Neffrety Nilamsari SKM MKes blak-blakan mengenai beberapa penyebab tenggelamnya kapal di Selat Bali ini.
Menurutnya, tragedi ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam keselamatan transportasi laut di Indonesia.
“Aspek cuaca memang tidak bisa dikendalikan oleh manusia meskipun memiliki alat secanggih apapun. Tapi sistem keselamatan dan teknologi prediksi seharusnya mampu memberi peringatan dini. Kecelakaan ini terjadi karena sistem itu tidak berfungsi atau diabaikan,” ujarnya melalui keterangan tertulis pada Jumat 11 Juli 2025.
Pakar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Universitas Airlangga Neffrety Nilamsari SKM MKes. (Foto: Humas Unair)
Radar cuaca, sistem komunikasi, hingga early detection sebenarnya sudah menjadi standar di kapal penumpang. Namun seringkali sistem ini luput dari pengujian secara fungsi sebelum kapal berangkat.
“Ada kemungkinan kegagalan sistem sehingga tidak bisa memperlihatkan prediksi cuaca sebelum berangkat. Sehingga penerapan keselamatan untuk penumpang dan awak kapal itu menjadi minimal,” jelasnya.
Dampaknya, keselamatan penumpang dan awak kapal menjadi minim.
Penanganan darurat pun terhambat karena tidak semua kru memahami prosedur evakuasi dengan baik. Menurutnya, ini menunjukkan kurangnya pelatihan dan kedisiplinan operasional di lapangan.
Neffrety juga menyoroti kondisi fisik kapal yang disinyalir tidak layak berlayar.
“Korosi pada dinding atau dek kapal bisa membuat kapal mudah robek jika terseret jangkar. Pemeriksaan menyeluruh harus dilakukan, bukan hanya formalitas,” katanya.
Parahnya, banyak kapal tidak diperiksa oleh tenaga ahli bersertifikasi. Awak kapal ditugaskan menguji mesin, radar, hingga indikator angin, tugas yang seharusnya dilakukan teknisi profesional.
“Kesalahan teknis kecil bisa berujung bencana jika ditangani orang yang tidak kompeten,” tegasnya.
Jumlah penumpang yang melebihi kapasitas turut memperbesar risiko. Kapal kekurangan pelampung dan sekoci.
“Penumpang non-manifest sangat berbahaya dalam kondisi darurat. Evakuasi jadi kacau, dan identifikasi korban sulit dilakukan,” tambahnya.
Kesadaran publik juga perlu dibangun. “Kalau kapal penuh, jangan nekat. Keselamatan harus jadi prioritas, bukan sekadar tiba lebih cepat,” ujarnya menutup.
Sebagai penutup, ia menyerukan audit menyeluruh dan penerapan SOP ketat oleh perusahaan pelayaran.
“Jangan tunggu tragedi berikutnya. Disiplin keselamatan tidak boleh lagi dinegosiasikan,” pungkasnya. (*)