Rojali dan Rohana di Tengah Pelemahan dan Disrupsi Ekonomi

14 Agustus 2025 11:57 14 Agt 2025 11:57

Thumbnail Rojali dan Rohana di Tengah Pelemahan dan Disrupsi Ekonomi
Oleh: Muhammad Luthfi Hamdani*

Beberapa pekan terakhir, publik tengah ramai memperbincangkan fenomena Rojali dan Rohana. Keduanya tentu bukan nama tokoh terkenal dalam film, namun akronim dari “Rombongan Jarang Beli” dan “Rombongan Hanya Nanya-Nanya”.

Pada praktiknya, keduanya bisa diamati pada ramainya pengunjung pusat-pusat perbelanjaan (mall), namun transaksi pada tenant-tenant yang berjualan di sana justru sepi. Pengunjung mall kini didominasi oleh mereka yang hanya jalan-jalan, melihat-lihat koleksi produk tenant, menyaksikan pameran, atau sekadar pergi ke area food court.

Dampak paling besar tentu dirasakan oleh tenant yang menjual durable goods seperti mobil, motor, furniture, kemudian pakaian, barang mewah dan sejenisnya. Penjualan produk-produk dengan segmen kelas menengah atas tersebut tengah mengalami perlambatan. Hal ini sejalan dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari BPS Maret 2025, dimana kelompok menengah atas memang ada kecenderungan menahan konsumsinya.

Beberapa faktor ditengarai jadi penyebab kemunculan fenomena Rojali dan Rohana ini. Misalnya kehati-hatian kelas menengah dalam konsumsi sebab mengamati kondisi perekonomian nasional dan global yang tengah bergejolak, daya beli kelas menengah yang tengah turun, hingga event liburan Natal, tahun baru, dan Idul Fitri yang berdekatan menyebabkan terkurasnya dana masyarakat.

Pelemahan Kelas Menengah

Merujuk definisi Bank Dunia, kelas menengah ialah kelompok masyarakat dengan pengeluaran pada kisaran 3,5 s.d 17 kali di atas garis kemiskinan. Apabila dikalkulasi, maka siapapun yang punya pengeluarannya pada kisaran 1,9 juta sampai 9,3 juta per bulan adalah kelas menengah.

Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David Sumual menyebutkan bahwa kelompok kelas menengah ini menyumbang kontribusi terhadap konsumsi yang sangat signifikan yakni sebesar 70% (Risky et al, 2025). Sementara hingga saat ini konsumsi rumah tangga juga masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi nasional, mencapai 55% hingga 60% dari PDB.

Namun sejak akhir tahun 2024 lalu, banyak diskusi mengenai pelemahan dan menurunnya kelompok ekonomi kelas menengah Indonesia. Pekerjaan kelas menengah (middle class job) terus tergerus. Terutama di sektor manufaktur padat karya; misalnya beberapa pabrik tekstil dan alas kaki yang bangkrut atau melakukan PHK. Selain itu, ada kecenderungan investor yang beralih ke sektor Sumber Daya Alam (SDA) yang padat modal, sebab kalah oleh ekonomi berbiaya tinggi. (Basri, 2024).

Industri digital yang terwakili oleh perusahaan startup teknologi juga tidak baik-baik saja. Banyak yang melakukan efisiensi pegawai (PHK) atau bahkan telah bangkrut pula. Padahal beberapa tahun lalu, sektor ini menjadi primadona bagi kelas menengah. Pada akhirnya, banyak yang menjadi pengangguran atau beralih ke sektor informal dengan penghasilan, tunjangan, dan jaminan kerja yang tidak menentu.

Dampaknya tentu menekan daya beli kelompok ekonomi kelas menengah hingga saat ini. Mereka yang semula datang ke pusat perbelanjaan bisa membeli atau melakukan transaksi pada beragam produk, kini hanya meneruskan gaya hidup berkunjung ke mall tanpa mampu lagi membeli. 

Shoppertainment dan Belanja Online

Selain pelemahan daya beli kelas menengah, faktor lain yang perlu turut diamati dari fenomena Rojali dan Rohana adalah semakin ramainya praktik Shoppertainment dan belanja online. Banyak orang berkunjung ke mall hanya untuk melihat item produk yang mereka inginkan, kemudian mengecek, membandingkan dan melakukan pembelian di platform e-commerce.

Tahun lalu, perusahaan Tiktok merilis riset berjudul “Shoppertainment 2024: The Future of Consumer and Commerce”. Riset ini mengulas tren perubahan perilaku belanja yang pada intinya sekarang masyarakat doyan shopping sambil menikmati entertainment. Perkembangan perilaku belanja yang kini mementingkan aspek emosional. Perdagangan berbasis konten yang memberikan hiburan dan edukasi terlebih dulu sebelum terjadi transaksi.

Pada praktiknya, menyaksikan seller berjualan secara live di platform seperti Tiktok, Instagram, maupun Shopee sudah menjadi aktivitas mayoritas masyarakat. Sehingga ketika akan membeli sesuatu, mereka akan menonton video di platform e-commerce berisi penjelasan fitur, manfaat serta cara penggunaan produk. Perilaku inilah yang dinilai akan mewarnai masa depan e-commerce.

Apabila saat ini kita berkunjung ke pusat-pusat perbelanjaan atau toko ritel, sudah sangat jamak dijumpai pramuniaga atau shopkeeper-nya melakukan aktifitas live online selling melalui beragam platform e-commerce dan social commerce tersebut. Hal ini tentu menjadi bagian dari upaya meningkatkan jumlah penjualan dan beradaptasi dengan perkembangan perilaku konsumen.

Praktik ini didukung data dari lembaga riset Goodstats, di mana aktivitas belanja online di Indonesia tahun 2025 menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, dengan proyeksi nilai pasar e-commerce mencapai US$46,6 miliar (Rp785,5 triliun).

Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan akses internet dan penggunaan smartphone, serta adopsi dompet digital. Sementara data global menunjukkan Pada tahun 2025, diperkirakan 21% dari seluruh pembelian ritel akan dilakukan secara daring, yang merupakan angka tertinggi hingga saat ini.

Upaya Struktural dan Adaptasi Pelaku Usaha

Fenomena Rojali dan Rohana tentu menjadi indikator krusial bagi pemerintah agar tidak hanya berkonsentrasi pada pengurangan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan cara menjaga daya beli dan kestabilan ekonomi rumah tangga pada segmen kelas menengah. Menurunnya konsumsi kelas menengah dikhawatirkan akan menjadi awal turunnya pertumbuhan ekonomi nasional.

Menyelamatkan kelas menengah tentu jadi perhatian prioritas. Tekanan ekonomi dan ketidakstabilan industri bisa menyebabkan mereka rentan turun jadi kelompok Aspiring Middle Class (AMC) yang hanya bisa belanja 825.000 s.d 1,9 juta perbulan. Atau justru turun menjadi kelompok miskin, dengan pengeluaran 550.000 s.d 825.000 per bulan.

Potongan tarif listrik 50 persen untuk pelanggan di bawah 2.200 VA pada Januari-Februari 2025 lalu dan Bantuan Subsidi Upah (BSU) dari pemerintah perlu diapresiasi. Sejauh yang bisa diamati, program ini membantu banyak keluarga kelas menengah untuk memiliki kelonggaran dana dan meningkatkan daya belinya.

Namun, ke depan tentu tidak hanya mengandalkan insentif sejenis. Upaya praktis dan strategis memulihkan sektor industri manufaktur, menarik investor domestik maupun global (Foreign Direct Investment), menaikkan kelas UMKM menjadi sektor formal, dan mengupayakan perlindungan bagi pekerja informal (gig workers) adalah jalan yang wajib ditempuh. Tanpa ini semua, golongan Rojali dan Rohana akan semakin turun daya belinya, bahkan untuk kebutuhan pokok mereka.

Pelaku usaha khususnya tenant-tenant di pusat perbelanjaan juga sudah “zamannya” melakukan aktifitas Shoppertainment dan Online Selling. Pilihan yang tampaknya menjadi satu-satunya opsi untuk menjaga omset dan keterjangkauan produk mereka di masyarakat. Tanpa perlu lagi membatasi diri sebab status “brand besar” atau “brand kelas atas”.

Selain itu, menyemarakkan pusat perbelanjaan dengan beragam event masih menjadi jurus jitu bagi pengelolanya untuk mendatangkan pengunjung. Meskipun masuk kategori Rojali dan Rohana, namun promo, diskon harga dan benefit lain bisa menjadi stimulus bagi mereka untuk secara impulsif melakukan pembelian produk-produk yang dijual oleh tenant pusat perbelanjaan.

*) Muhammad Luthfi Hamdani merupakan Dosen Bisnis Digital dan Editor di Penerbit Indonesia Imaji

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

Rojali Rohana FENOMENA opini Muhammad Luthfi Hamdani