Rawan Megatrust-Tsunami, Seberapa Siap Pacitan Hadapi Gelombang Besar?

19 Desember 2025 08:25 19 Des 2025 08:25

Thumbnail Rawan Megatrust-Tsunami, Seberapa Siap Pacitan Hadapi Gelombang Besar?
Papan informasi kawasan rawan bencana tsunami di wilayah pesisir Pacitan yang memuat panduan evakuasi dan prinsip 20:20:20 bagi masyarakat saat terjadi gempa berpotensi tsunami, Jumat, 19 Desember 2025. (Foto: Al Ahmadi/Ketik)

KETIK, PACITAN – Ancaman gempa megatrust sampai tsunami masih membayangi wilayah pesisir selatan Kabupaten Pacitan.

Dengan garis pantai sepanjang sekitar 70 mil dan 47 desa pesisir yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia, kesiapsiagaan menjadi faktor penting demi keselamatan warga.

Lantas, seberapa siap Pacitan menghadapi ancaman gelombang besar?

Di tengah potensi ancaman tersebut, ternyata jumlah sistem peringatan dini tsunami di Pacitan dinilai masih belum ideal.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pacitan mencatat, hingga saat ini baru terdapat delapan unit Sistem Peringatan Dini atau Early Warning System (EWS) yang terpasang di kawasan pesisir.

“Saat ini ada delapan EWS yang tersebar di beberapa wilayah pesisir Pacitan. Aktif semuanya,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Pacitan, Yagus Tri Arso, Jumat, 19 Desember 2025.

Tetapi menurut Yagus, jumlah tersebut belum sebanding dengan panjang garis pantai Pacitan yang mencapai 70 mil.

Idealnya, setiap desa pesisir memiliki satu unit EWS agar peringatan dini tsunami dapat diterima warga secara merata dan cepat.

“Pacitan memiliki 47 desa pesisir. Baiknya setiap pesisir itu ada EWS-nya,” ungkap Yagus.

Alhasil, keterbatasan jumlah EWS membuat sebagian wilayah pesisir masih mengandalkan jangkauan suara sirene dari wilayah lain.

“Jangkauan suara sirene EWS berkisar antara 3 sampai 5 kilometer,” ungkap Yagus.

Saat disinggung terkait penambahan alat, Yagus menyebut keterbatasan anggaran menjadi kendala utama dalam penguatan sistem peringatan dini.

Pengadaan satu unit EWS membutuhkan biaya yang tak murah, itu belum termasuk biaya perawatan rutin.

“Pengadaan satu unit EWS mencapai Rp400 juta. Perawatannya juga mahal. Belum lagi kebutuhan biaya operasional mitigasi bencana ke masyarakat,” jelasnya.

Yagus pun juga tak terlalu berharap. Sebab, ia mengakui bahwa sektor penanggulangan bencana belum sepenuhnya menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan daerah.

“Memang benar, isu bencana itu belum menjadi kebijakan yang populis,” katanya.

Meski begitu, Yagus mengatakan bahwa keberadaan EWS tidak bisa menjadi satu-satunya andalan dalam menghadapi ancaman tsunami.

Dia menyebut, kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat tetap menjadi kunci utama.

“Prinsip 20:20:20 terus kami sosialisasikan kepada warga pesisir dan masyarakat,” katanya.

Prinsip tersebut mengingatkan warga agar segera menjauh dari pantai apabila merasakan gempa lebih dari 20 detik, menuju tempat dengan ketinggian lebih dari 20 meter, dalam waktu maksimal 20 menit.

“20:20:20 itu adalah EWS bagi masyarakat itu sendiri,” ujarnya.

Yagus menjelaskan bahwa proses penyampaian informasi tsunami dari EWS maksimal memakan waktu sekitar lima menit.

Prosesnya, informasi dari BMKG Nganjuk atau Yogyakarta terkait gempa berpotensi tsunami akan masuk ke Pusdalops BPBD.

"Lalu petugas akan mengaktifkan sirene secara terpusat dari Kantor BPBD,” paparnya.

Sebagai upaya memastikan kesiapan alat sekaligus meningkatkan kewaspadaan masyarakat, BPBD Pacitan rutin melakukan uji coba sirene tsunami setiap tanggal 26 setiap bulan.(*)

Tombol Google News

Tags:

pacitan tsunami EWS BPBD Pacitan bencana alam kesiapsiagaan bencana pesisir Selatan