KETIK, BLITAR – Ratusan calon warga dari Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Cabang Kabupaten Blitar pimpinan Kang Mas Taufik, bahu-membahu menguruk pondasi Masjid Baitunnur Desa Karangsono, Kecamatan Kanigoro, Jumat, 4 Juli 2025.
Mereka bukan sedang berlatih jurus atau unjuk kekuatan, melainkan menjalankan ajaran luhur organisasi, menjadi manusia yang berguna bagi sesama.
Dengan mengenakan seragam hitam khas PSHT, para calon warga dan senior dari berbagai rayon kompak membersihkan lingkungan masjid, merapikan area tempat wudhu, hingga mengangkat adukan untuk pembangunan pondasi.
Mereka datang tidak hanya dengan tenaga, tetapi juga membawa semangat kebersamaan yang menjadi napas dalam setiap ajaran PSHT.
“Kegiatan ini bukan sekadar kerja bakti, tapi bagian dari perjalanan batin dan pembentukan karakter,” tutur Tugas Nanggalo Yudo Dili Prasetiono, Ketua Pengurus Cabang PSHT Kabupaten Blitar, yang akrab disapa Bagas Karangsono.
“Ini bentuk pengamalan nilai-nilai PSHT, bahwa silat bukan soal pamer otot atau keahlian bertarung, melainkan tentang bagaimana kita bermanfaat untuk masyarakat.” sambungnya.
Bagas menekankan, kegiatan bhakti sosial seperti ini adalah tradisi yang sudah melekat di tubuh PSHT. Terutama menjelang pengesahan ratusan calon warga baru tahun 2025 ini, kegiatan semacam ini menjadi semacam ‘ritus sosial’ yang memperkuat rasa tanggung jawab dan kepedulian calon pesilat terhadap lingkungannya.
“Kami ingin generasi PSHT memahami bahwa menjadi warga bukan sekadar gelar. Itu adalah komitmen moral. Karena itu, kami larang keras konvoi ugal-ugalan. Energi kita seharusnya disalurkan untuk hal-hal positif seperti ini,” tegas Bagas.
Tak hanya keluarga besar PSHT yang merasakan dampaknya. Warga sekitar dan pengurus takmir Masjid Baitunnur pun meresapi nilai kebersamaan yang tercipta malam itu.
Mohammad Badar, pengurus takmir masjid, mengaku terharu dan berterima kasih atas inisiatif para pesilat.
“Kehadiran mereka seperti membawa semangat baru. Pembangunan masjid ini sudah lama kami rencanakan, tapi tenaganya terbatas. Mereka datang tanpa diminta, dan langsung bekerja dengan tulus,” ujarnya dengan mata berbinar.
Baginya, kegiatan ini lebih dari sekadar pembangunan fisik. Ini adalah pembangunan nilai tentang bagaimana agama, budaya, dan organisasi bisa bersinergi menciptakan harmoni sosial.
Malam pun semakin larut. Satu demi satu karung pasir berpindah tangan, pondasi masjid mulai rata, dan peluh yang mengalir di wajah para pesilat menjadi bukti nyata bahwa semangat gotong royong masih hidup dijaga dan diwariskan dalam diam oleh generasi muda pencinta silat dan nilai-nilai luhur.
Di tengah dunia yang makin individualistik, gerakan sunyi para pesilat PSHT di Blitar malam itu menjadi pengingat bahwa kekuatan sejati tak hanya terletak pada otot dan jurus, tapi juga pada hati yang rela melayani dan tangan yang mau berbagi.(*)